“You may live in an unknown small village, but if you have big ideas, the world will find you” (Anda boleh saja tinggal di sebuah kampung kecil yang tak dikenal, tetapi jika Anda memiliki ide-ide besar, dunia akan menemukan Anda) — Mehmet Murat Ildan.
Melalui pesan WhatsApp, di awal bulan April, sedikit lewat tengai tepet (tengah hari), saya menerima permintaan memberi kata pengantar untuk buku yang saat ini sedang anda baca. Saya sungguh girang. Sebab pengirim pesan WhatsApp itu adalah Nano – begitu panggilan akrab kami di kampung untuk Dr. I Nengah Suarmanayasa, S.E., M.Si, penulis buku ini. Banyak alasan mengapa saya merasa “wajib” girang. Pertama, karena Nano sekampung dengan saya. Saya rasa ini adalah kegirangan yang alamiah meski agak berbau primordial. Kedua, karena substansi bukunya menggugah saya secara batiniah melakukan semacam “ziarah singkat ke masa lalu,” a glimpse of journey to the past, ke suasana kampung halaman saya empat puluh tahun yang lalu. Ketiga, kata pengantar ini adalah ekspresi angayu bagya (suka cita) saya sebagai salah seorang yang mendorong Nano untuk menulis – dan karena itu, dari perspektif penulisnya, buku ini adalah bentuk pemenuhan janjinya kepada saya sekian tahun yang lalu, janji untuk menulis. Keempat, anjuran “stay at home,” sebagai dampak teror COVID-19,memberi cukup waktu ekstra sehingga memungkinkan saya untuk mengerjakan kata pengantar ini tanpa perasaan dikejar “garis mati” (deadline) seusai melaksanakan kewajiban mengajar secara daring.
Pembaca yang terhormat, judul buku ini, Orang Desa Bicara Desa, memprovokasi saya untuk menempatkan pernyataan Mehmet Murat Ildan, sastrawan berkebangsaan Turki, sebagai mukadimah. Mengapa demikian? Anda akan menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan itu melalui perkelanaan imajinatif berikut ini.
Kampung saya dan Nano bernama Banjar (sekaligus Desa Adat) Selatnyuhan. Hingga saat saya menyelesaikan pendidikan menengah atas (1981) tak banyak yang mengenal banjar kami dan itu sama sekali bukan sesuatu yang ganjil. Sebab, dari aspek apa pun, memang tak ada hal penting yang perlu dicatat dari kampung kecil yang lokasinya menyempil di barat Kabupaten Bangli dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Gianyar tersebut. Dari aspek mata pencaharian atau profesi, kala itu, di banjar kami hanya ada segelintir orang yang berprofesi non-petani. Saya masih hafal di luar kepala: dua orang bintara TNI-AD, satu orang pegawai kantor kecamatan, lima orang guru sekolah dasar negeri, satu orang guru sekolah menengah pertama negeri. Selesai. Sisanya adalah petani. Itu pun sebagian hanya petani penggarap alias petani tak bertanah, bukan petani macam si Marhaen yang digambarkan Bung Karno dan konon menjadi inspirasi bagi nama ideologi yang melandasi perjuangannya di kemudian hari, Marhaenisme. Karena itu, sejak awal paruh kedua abad ke-20, kampung kami adalah termasuk “pemasok” pertama transmigran, khususnya ke Pulau Sumatera (Lampung dan Sumatera Selatan) dan ke Pulau Sumbawa (Nusa Tenggara Barat, terutama ke Kabupaten Dompu).
Bagaimana dengan tingkat pendidikan? Sampai awal 1980-an itu, banjar kami tak memiliki satu pun sarjana. Jika saya tidak keliru, sesungguhnya ada seorang warga yang hingga saat itu berstatus pernah kuliah di IKIP Singaraja (sekarang Undiksha) tetapi seingat saya yang bersangkutan tidak menyelesaikan kuliahnya. Karena itu, saya menganggap jenjang pendidikan tertinggi warga banjar kami saat itu adalah lulusan PGSLP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), yang berada di tangan penduduk bernama Bapak I Wayan Murca – alumni PGSLP Negeri Malang. Beliau tidak lain adalah ayahanda dari Dr. I Nengah Suarmanayasa, S.E., M.Si. Jenjang pendidikan tertinggi di bawahnya, yang jumlahnya tak sampai menghabiskan hitungan kedua jari tangan, adalah kombinasi yang terdiri atas lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) atau yang disetarakan, Pendidikan Guru Agama (PGA), dan Sekolah Menengah Atas.
Infrastruktur jalan masih berupa jalan tanah. Memang telah ada jalan beraspal tipis namun hanya diperuntukkan buat jalan utama yang menghubungkan Desa Bitera (Gianyar) dan Banjar Seribatu (Bangli) yang melintasi pinggiran desa kami. Itu pun belum berapa lama hadir di sana dan sama sekali tidak “mampir” ke jalan tempat sebagian besar penduduk banjar kami bermukim. Listrik? Baru masuk kira-kira sepuluh tahun kemudian (1990-an). Rumah-rumah penduduk rata-rata masih berupa bangunan tradisional dengan tembok polpolan (yang dibuat dari adonan tanah liat) dan beratapkan alang-alang. Dengan deskripsi semacam itu saya dapat memperkirakan imajinasi seperti apa yang menari-nari di benak anda untuk melukiskan state of the art kampung kami ketika itu.
Tetapi, suatu hari, masih di paruh awal tahun 1980-an itu, orang-orang se-Bali – bahkan mungkin se-Indonesia – jadi mengetahui, setidak-tidaknya mendengar, kampung kami. Banyak orang jadi kepo terhadap kampung kami “hanya” karena prestasi satu orang warganya. Namanya I Ketut Sutantra. Siapa dia? Beliau inilah warga yang saya sebutkan sempat kuliah di IKIP Singaraja tadi. Apa yang terjadi? I Ketut Sutantra adalah inisiator sekaligus manager Koperasi Unit Desa (KUD) Sulahan – kala itu, banjar kami adalah bagian dari Desa Sulahan. Ibarat mendapat “sentuhan tangan midas,” KUD Sulahan berkembang pesat, melesat bak meteor, di bawah manajemen laki-laki pekerja keras ini. Berkali-kali dan berturut-turut dinobatkan sebagai juara nasional KUD se-Indonesia. Bahkan, karena bertahun-tahun tak terkalahkan, KUD Sulahan tidak diperbolehkan lagi ikut dalam penilaian “lomba” KUD di tingkat nasional. Banyak sekali ragam unit usaha dari KUD yang saat itu membuat kami bangga dan meyakini kalau koperasi memang seharusnya menjadi saka guru perekonomian bangsa, sebagaimana diyakini salah seorang pendiri bangsa ini, Bung Hatta. Sebagai tambahan catatan kaki: mungkin hanya KUD Sulahan yang memiliki unit usaha dealer mobil pada masa itu dan, jika saya tidak khilaf, jangan-jangan KUD Sulahan satu-satunya KUD di Indonesia yang pernah memperoleh kesempatan studi banding ke (sekaligus membagikan pengalamannya di) Korea Selatan dan beberapa negara lain.
Prestasi gemilang tersebut menyebabkan Gubernur Bali saat itu, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, dan Menteri Koperasi kala itu, Bustanil Arifin, sempat berkunjung ke desa kami. Kunjungan gubernur dan menteri itu mendapat liputan besar-besaran dari media massa. Bahkan TVRI, satu-satunya stasiun televisi ketika itu, sampai membuat liputan khusus – inilah sebabnya tadi saya berani mengatakan bahwa orang se-Indonesia jadi tahu tentang kampung kami. Mendapat liputan khusus TVRI sungguh merupakan peningkatan kebanggaan dan gengsi berlipat-lipat buat desa kami, bahkan juga buat Kabupaten Bangli. Belum lagi pujian menjulang, namun tulus dan objektif, dari Gubernur dan Menteri Koperasi terhadap prestasi Bapak I Ketut Sutantra – bahkan ada kabar burung yang beredar luas yang mengatakan kalau Bapak I Ketut Sutantra adalah anak kesayangan alias anak emas Menteri Koperasi Bustanil Arifin dan memperoleh perhatian tersendiri dari Presiden Soeharto. Saya adalah termasuk salah seorang yang percaya akan kabar burung itu.
Sayang, Tuhan hanya menganugerahi umur yang sangat pendek kepada Bapak I Ketut Sutantra. Beliau berpulang di usia yang belum jauh melampaui angka 30 – dan pada saat itu sebentar lagi akan menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Kami sungguh kehilangan. Bagi kami, warga desa adat Selatnyuhan, kehadiran kembali Gubernur Prof. Dr. Ida Bagus Mantra di upacara pengabenan Bapak I Ketut Sutantra bukan sekadar pengakuan akan kiprah dan prestasi almarhum melainkan sekaligus pertanda bahwa pihak-pihak yang berduka dan merasa kehilangan oleh kepergian almarhum bukan hanya telah melampaui batas-batas teritorial desa kami melainkan juga menjangkau berbagai strata sosial. Tragisnya, setelah ditinggal oleh manajernya yang cerdas bin trengginas itu, KUD Sulahan justru terus merosot dan akhirnya benar-benar “tutup buku,” seakan-akan menegaskan bahwa nyawa KUD Sulahan menyatu dengan nyawa sang manajer yang konon lahir di bawah “zodiak” Lintang Bade dalam penanggalan Bali – lintang (zodiak) yang menurut keyakinan berbau mitos dari masyarakat di kampung kami dipercaya sebagai pemberi kesuksesan yang cepat tetapi sekaligus usia pendek bagi orang-orang yang lahir di bawah naungannya.
Pembaca yang budiman, saya mohon maaf telah memaksa anda ikut melakukan perjalanan kilas balik ke kampung halaman kami beserta nuansa obituari di dalamnya. Namun, melalui kilas balik itu, sekarang anda paham mengapa saya menempatkan kata-kata Mehmet Murat Ildan sebagai pernyataan pembuka kata pengantar ini. Pada saat yang sama, bagi anda yang sempat mengidap sindrom rendah diri karena lahir di desa, apalagi di desa terpencil, semoga kisah tadi (dan kisah yang ditulis di buku ini) membuat anda bersyukur bahwa dengan dilahirkan di desa anda sesungguhnya lahir di tempat fondasi masa depan negeri ini diletakkan – demikian saya menangkap secara implisit pesan dan optimisme yang hendak dikobarkan oleh buku ini. Penulis buku ini sangat yakin bahwa “wajah” yang sesungguhnya dari negeri ini, setidak-tidaknya wajah Bali, harus kita cari di desa. Karena itu, jika ingin wajah bangsa ini cantik, rawatlah kecantikan desa. Begitu kira-kira “tesis utama” yang menopang seluruh pemikiran dan atau catatan yang diutarakan dalam buku ini. Coba simak, bagaimana Nano dengan meyakinkan mengutip ucapan Bung Hatta, “Indonesia tidak akan bercahaya karena obor besar di Jakarta, Indonesia baru akan bercahaya karena lilin-lilin kecil di desa” – kutipan yang menjadi sangat kontekstual dengan semangat buku ini terlepas dari soal bahwa ucapan Bung Hatta itu, konon, awalnya adalah dimaksudkan sebagai ekspresi ketidaksetujuan Bung Hatta terhadap gagasan Bung Karno untuk membangun Monas (Monumen Nasional) yang icon-nya berupa obor emas itu.
Membaca buku ini kita diajak untuk sungguh-sungguh memahami obsesi penulisnya yang jika disederhanakan maka narasinya kira-kira adalah begini: penulis buku ini yakin bahwa apabila desa-desa berdaya maka Indonesia akan berjaya. Kunci dari semua itu adalah pendidikan. Desa akan berdaya apabila seluruh warganya terdidik dan terbangun keyakinannya bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh untuk mencapai masa depan. Tidak ada jalan lain. Tidak ada jalan pintas.
Saya seratus persen setuju dengan Nano dalam soal ini. Empat puluh lima tahun yang lalu, di kampung kami mungkin hanya almarhum ayah saya yang memiliki keyakinan demikian sehingga tega “membuang” saya yang baru berumur 13 tahun merantau sendirian di Denpasar “hanya” untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama dengan pesan: kamu harus sekolah setinggi-tingginya sebab hanya dengan cara itu kita bisa maju. Ayah saya hanya lulusan sekolah dasar. Tetapi nasihat dan keyakinannya, sekarang, mengingatkan saya kepada pesan Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling dahsyat yang dapat anda gunakan untuk mengubah dunia” (Education is the most powerful weapon you can use to change the world), demikian ucapan pahlawan penghapusan politik apartheid yang kemudian menjadi Presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan itu. Keyakinan Nano dan nasihat ayah itu juga membuat saya jadi teringat kata-kata Shimon Peres, mantan Perdana Menteri dan Presiden Israel yang juga sahabat Presiden keempat Indonesia, mendiang Abdurrachman “Gus Dur” Wahid. Di harian The Jakarta Post (6 Januari 2012), Shimon Peres pernah menulis sebuah artikel yang berjudul “A Future Without Precedent” (Sebuah Masa Depan Tanpa Ada Contoh Sebelumnya). Di situ Peres menggambarkan betapa pentingnya pendidikan dalam mengarungi masa depan yang tak bisa diprediksi, sementara masa lalu sama sekali tidak bisa dijadikan acuan sebab semua telah menjadi tidak relevan. Tatkala menggambarkan “corak” abad ini dan kaitannya dengan pendidikan, lewat artikel itu Peres antara lain menulis, “Di sebuah era di mana hari kemarin telah hampir sepenuhnya menjadi tidak relevan dan kita sangat sulit untuk meramalkan hari esok maka peran pendidikan harus memungkinkan seluruh anak untuk dapat mencapai kemampuan tertinggi mereka” (In an era where yesterday have become almost irrelevant and we can hardly predict tomorrow, the role of education must allow all children to reach their highest potential). Masalahnya adalah tingginya biaya pendidikan yang berbanding terbalik dengan kemampuan desa-desa (di Bali pada umumnya) yang mayoritas miskin. Artinya, kalau ingin penduduk desa terdidik, kemampuan desa secara ekonomi mesti dibereskan dulu.
Saya pikir karena “tesis” itulah Nano mengkonsentrasikan hampir 50% pemikirannya di buku ini dalam wujud tulisan-tulisan perihal dan seputar LPD (Lembaga Perkreditan Desa). Sebagai satu dari hanya dua lembaga perkreditan yang dibentuk berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro – satunya lagi adalah Lumbung Pitih Nagari di Sumatera Barat, namun konon tidak terlalu berkembang –LPD, jika dikelola secara benar dan prudent, diyakini akan mampu berperan besar bukan hanya menjadi motor penggerak perekonomian desa tetapi juga sebagai jangkar utama penopang pendidikan warga desa. Nano menunjuk perkembangan pesat dan kedigjayaan LPD-LPD di berbagai desa di Bali sebagai bukti empirik keyakinannya. Nano juga menggunakan pengalaman pribadinya sebagai contoh. “Tanpa bantuan LPD, mungkin saya tidak bisa membuat tulisan ini sekarang. Saat kuliah jenjang Diploma 3, Bapak saya pinjam uang di LPD untuk modal kuliah. Begitu pula saat lanjut S1 dan S2, Bapak masih menjadikan LPD sebagai sahabatnya di kala kesusahan. LPD penyelamat hidup saya. Sampai sekarang LPD masih menjadi mitra strategis keluarga dalam mengejar cita dan cinta,” demikian antara lain kesaksiannya yang bernuansa puitis yang dapat anda baca di bagian awal buku ini.
Pada bagian lain kesaksiannya, Nano dengan haru campur bangga memaparkan bagaimana LPD Desa Adat Selatnyuhan yang didirikan tahun 2002 hanya dengan modal awal Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), sekarang telah memiliki aset senilai Rp 18.723.896.512,00 (delapan belas miliar tujuh ratus dua puluh tiga juta delapan ratus sembilan puluh enam ribu lima ratus dua belas rupiah) dan berhasil membukukan laba (sampai awal 2020) sebesar Rp 557.123.754,00 (lima ratus lima puluh tujuh juta seratus dua puluh tiga ribu tujuh ratus lima puluh empat rupiah). Sesuai dengan amanat Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2017, LPD wajib mengalokasikan labanya sebesar 20% untuk pembangunan Desa Adat. Karena itu, tahun 2020, Desa Adat Selatnyuhan menerima sebesar Rp 111.424.751 (seratus sebelas juta empat ratus dua puluh empat ribu tujuh ratus lima puluh satu rupiah) dari total laba yang dibukukan di atas. Selain itu, adanya 5% dana sosial, yaitu sebesar Rp 27.856.188,00 (dua puluh tujuh juta delapan ratus lima puluh enam ribu seratus delapan puluh delapan rupiah) telah menjadikan Desa Adat Selatnyuhan menerima total dana sebesar Rp 139.280.929,00 (seratus tiga puluh sembilan juta dua ratus delapan puluh ribu sembilan ratus dua pulu sembilan rupiah). Jumlah itu sangat berarti bagi penopang kegiatan-kegiatan desa adat. Sebab, jika tak ada LPD, kegiatan-kegiatan itu sepenuhnya akan menjadi beban finansial krama (warga) desa adat untuk memikulnya.
Kesaksian itu seakan-akan menegaskan pernyataan yang pernah dibuat oleh H. Seibel, peneliti berkebangsaan Jerman yang menaruh perhatian besar kepada LPD. Seibel mengatakan bahwa LPD telah memberi kekuatan baru kepada Desa Adat “and has provided inclusive access to financial services for everyone in the customary village” (dan telah menyediakan akses inklusif dalam bidang jasa-jasa keuangan kepada setiap orang di desa adat). Anda yang penasaran dengan pernyataan Seibel ini, silakan baca lebih jauh “Desa Pakraman and Lembaga Perkreditan Desa in Bali”, GIZ-Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit GmbH, 2008, yang dapat dibaca di laman http://www.findevgateway.org/library/desa-pakraman-and-lembaga-perkreditan-desa-bali.
Pernyataan Seibel tadi tidak berlebihan. Dalam kasus kampung kami, Banjar Selatnyuhan, perubahan yang dibawa oleh adanya LPD luar biasa. Struktur perekonomian banjar kami yang sebelumnya hampir seratus persen bertumpu pada aktivitas pertanian kini sudah sangat terdiversifikasi. Pertanian tidak ditinggalkan tetapi ia tidak lagi dominan. Relatif tingginya kesadaran warga akan pentingnya pendidikan ditambah dengan dinamisnya mobilitas penduduk karena ditopang oleh infrastruktur yang baik telah menjadikan banyak warga kini bekerja di sektor formal, jasa, maupun sektor informal. Banjar Selatnyuhan yang empat puluh tahun lalu masih jadi bagian dari dunia antah-berantah dan sulit ditemukan di peta, kini dengan bangga saya sampaikan bahwa dari 209 KK penduduknya, jumlah warga yang berpendidikan Sarjana (S1) tak kurang dari 26 orang, Magister (S2) 7 orang, dan Doktor (S3) 4 orang. Karena ditulis berdasarkan ingatan, data yang berkenaan dengan tingkat pendidikan itu, khususnya untuk warga yang mencapai jenjang pendidikan sarjana (S1), sangat mungkin berubah – misalnya karena warga perempuan kami yang kawin ke luar desa tak diikutsertakan dalam hitungan itu. LPD, sebagaimana kesaksian Nano, berperan besar dalam perubahan itu kendatipun tidak seratus persen.
Tetapi buku yang ditulis Nano ini bukan buku tentang LPD dan karenanya bukan hanya bercerita soal LPD. Kalaulah LPD mendapat porsi terbesar dalam kumpulan tulisan ini, menurut hemat saya, hal itu tampaknya semata-mata dimaksudkan guna memberi keyakinan kepada pembacanya bahwa ada “energi yang luar biasa” dalam LPD jika kita sungguh-sungguh hendak membuat desa bercahaya, bukan semata-mata secara ekonomi tetapi juga secara intelektual. Dengan judul Orang Desa Bicara Desa, seluruh kumpulan tulisan yang membentuk buku ini sesungguhnya mewakili seruan yang hendak dikumandangkan oleh penulisnya yaitu Bali harus menjadi contoh sekaligus pionir untuk membuktikan kebenaran tesis bahwa Indonesia yang gemilang akan tercapai jika desa-desa di negeri ini gemilang. Dengan kata lain, seakan hendak membalik logika umum di mana anak-anak muda desa merasa harus ke kota untuk “menemukan dirinya” dan “membuktikan pencapaiannya,” buku ini justru menganjurkan sebaliknya: semua itu dapat ditemukan dan dibuktikan di desa. Syaratnya satu: yang berpendidikan mumpuni mau memikirkan desa, lebih-lebih benar-benar berkiprah di desa. Pesan ini sangat jelas terbaca, antara lain (tetapi bukan hanya), pada tulisan yang diberi judul “Saatnya Anak Muda Jadi Kepala Desa” dan “Jangan Sampai Kita Menjadi Turis Pembangunan Desa.” Tetapi, ada banyak soal yang mesti dibereskan untuk menuju ke sana, terutama persoalan mentalitas – yang bertali-temali dengan dua persoalan besar lainnya, yaitu pengangguran dan kemiskinan. Kedua hal yang disebut terakhir ini juga mendapat perhatian tersendiri dalam kegelisahan Nano.
Pada akhirnya, membaca buku ini saya merasa sedang membaca sebuah karya tulis yang diracik dari formula campuran antara kegelisahan seorang anak muda idealis, pengalaman empirik, kecintaan terhadap natah palekadan, desa tempat kelahiran, dan sekaligus ajakan untuk bergandengan tangan membangun desa. Ada pepatah latin yang berbunyi, “Vox audita perit, littera scripta manet” yang bermakna bahwa sesuatu yang terdengar itu akan hilang tetapi kalimat yang tertulis akan tetap tinggal. Maka, siapa yang tidak turut angayu bagya, bersuka-cita, ketika menemukan seorang anak muda datang membawa gagasan perihal desa bukan hanya dengan bicara tetapi sekaligus menuliskannya dengan formula seperti itu?
Selamat membaca. Semoga segala hal baik datang dari segala penjuru.
Selatnyuhan, April 2020.