“Lagi apa, Ted? Pasti lagi baca buku ya?”
Sesaat saya teringat percakapan dengan ayah saya via telepon beberapa hari yang lalu. Saat itu ayah mencoba menebak-nebak apa yang sedang saya lakukan. Dan hebatnya, tebakan ayah saya benar. Saat itu kebetulan saya sedang membaca sebuah buku yang sudah cukup lama saya baca. Setelah percakapan via telepon itu, saya jadi teringat dengan topik yang setahun lalu cukup sering dibahas dimana pun saya berada yaitu, memprihatinkannya minat baca di kalangan anak muda Indonesia. Apakah benar minat baca kalangan anak muda di Indonesia benar-benar sangat rendah?
Saya ingat pernah membaca bahwa UNESCO pernah melakukan survey terkait minat dalam membaca buku di Indonesia. Menurut survey itu, diketahui bahwa sebanyak 99% masyarakat di Indonesia tidak suka membaca dan hanya 1% yang memiliki kesukaan dalam membaca. Itu artinya dari 1000 orang yang disurvey, hanya 10 orang saja yang suka membaca buku. Bukankah itu adalah sebuah ironi?
Di saat banyaknya toko buku megah berdiri di setiap kota yang ada di Indonesia, tetapi masyarakatnya tidak menaruh perhatian lebih terhadap dunia membaca khususnya terhadap buku. Selain survey yang dilakukan oleh UNESCO, ada lagi riset yang dilakukan oleh sastrawan Taufik Ismail tentang kewajiban membaca buku sastra di beberapa negara di kalangan pelajar SMU selama tiga tahun masa studi mereka. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa negara Jerman mewajibkan pelajarnya untuk membaca buku sastra sebanyak 32 buku, Belanda mewajibkan 30 buku, Jepang 12 buku, Singapura sebanyak 12 buku, dan Malaysia 6 buku sastra.
Indonesia berapa? Jawabannya adalah NOL. Tentu sebuah tragedi. Indonesia yang memiliki berbagai sejarah di segala bidang yang disajikan lewat sastra seperti, Ramayana dan Mahabaratha. Jika masyarakatnya tak suka membaca buku sastra, bagaimana masyarakat tahu akan kebenaran sejarah yang dituangkan melalui sastra? Apalagi budaya mendongeng di kalangan masyarakat belakangan ini sudah memudar digantikan dengan berbagai platform audio visual yang lebih menarik.
Dari dua hasil riset di atas saya sudah mendapatkan sedikit gambaran bahwa memang di kalangan masyarakat kini memang kebanyakan tak terlalu suka dengan yang namanya membaca buku. Tapi bukan berarti mereka sama sekali tak membaca buku. Jika hasil riset tadi berbicara soal Indonesia secara umum, maka bagaimana dengan minat baca buku di Bali yang notabene adalah tempat dimana saya bergaul?
Sejak saya mulai belajar mencintai dunia literasi yang di dalamnya terdapat aktivitas membaca, saya mulai banyak bergaul dengan orang-orang yang memang sudah terbiasa dengan kebiasaan literasi seperti, membaca, menulis dan berdiskusi. Tak sedikit dari mereka juga yang mengaktualisasikan dirinya dengan cara demonstrasi setelah banyak berbagai macam bacaan yang berkaitan dengan demonstrasi. Perlu diketahui juga bahwa genre dari bacaan berbeda-beda, sehingga walaupun sama-sama suka membaca belum tentu akan menemukan kecocokan saat ngobrol. Itulah uniknya buku, kadang bisa menyatukan kadang pula tidak. Kembali lagi kepada minat, dan yang harus digaris bawahi memang adalah minat orangnya.
Sepanjang saya bergaul dengan teman-teman saya dari yang suka dan tidak suka membaca, saya mendapatkan satu gambaran bahwa sesungguhnya setiap orang memiliki minatnya masing-masing. Dari minat yang dimilikinya akan mengantarkan mereka kepada bahan bacaan yang berkaitan dengan minat mereka. Contohnya saja saya, belakangan ini saya sangat berminat mengetahui tentang Bali, maka saya akan mencari referensi bacaan yang akan memberikan saya wawasan baru tentang Bali. Jadi bisa saya katakan bahwa setiap orang yang ada di sekitar saya memiliki minat baca. Sekecil apa pun itu. Lalu, apa masalahnya? Kan masyarakat sudah punya minat baca?
Permasalahan yang saya lihat adalah dari aspek “kesungguhan” mereka untuk menggali minat mereka. Tak semua yang mau repot-repot mencari referensi yang dapat membantu mereka dalam memuaskan rasa ingin tahu mereka melalui buku atau bacaan lain. Padahal jika bicara soal membaca, belakangan ini di tengah pandemi Covid-19 saya yakin banyak masyarakat yang hari-harinya dipenuhi dengan aktivitas membaca perihal perkembangan pandemi di Indonesia ini, baik membaca lewat koran harian atau media online. Yang penting kan membaca dulu.
“Kesungguhan” ini perlu diselami oleh masing-masing masyarakat yang sudah menemukan minatnya dimana dan tentang apa. Apalagi kebanyakan malah lebih suka mendengar cerita dari temannya atau membaca sepintas dari headline berita tanpa membaca isinya lebih dulu. Mubazir juga jadinya minat yang sudah dimiliki itu dong. Maka dari itu, penting minat itu diimbangi dengan kesungguhan dalam menggali informasi melalui berbagai referensi bacaan. Tak harus buku, tetapi masalahnya hanya buku yang menyediakan informasi komplit tentang suatu topik. Sedangkan tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai platform kebanyakan adalah kutipan-kutipan saja yang sudah pasti tidak menyediakan informasi secara utuh.
Masalah selanjutnya yang saya lihat adalah keengganan masyarakat mengeluarkan uangnya untuk membeli buku. Sederhana sih, hanya saja sangat vital untuk era sekarang. Perpustakaan sudah jarang bisa kita temui, walaupun ada tapi sepi pengunjung. Kebanyakan anak muda sekarang ini lebih banyak mengunjungi angkringan atau warkop agar bisa update di sosial media mereka masing-masing. Agar terlihat up to date dan tidak ketinggalan zaman. Kalau perpustakaan yang sudah tersedia hari ini sepi pengunjung yang notabene kita dapat membaca secara gratis dan bisa membaca di rumah dalam jangka waktu yang sudah ditentukan saja sepi, tentu menurut saya harapan besarnya adalah anak muda zaman sekarang mau mengeluarkan uangnya untuk membeli buku yang mereka inginkan. Tapi nyatanya tidak seperti itu.
Minat baca yang sudah ada dalam diri anak muda di Bali sekarang ini harus selalu dijaga agar tetap menyala dan tak mati dikemudian hari. Minat sangatlah penting, agar aktivitas membaca menjadi aktivitas yang menyenangkan dan tidak sekadar sebuah aktivitas formal. Saya pun berandai-andai setiap orang bepergian kemana pun selalu membawa sebuah buku untuk dijadikan teman saat sedang mengisi waktu luangnya di sela-sela aktivitas. Ada lagi khayalan saya, bisa tidak ya masyarakat lebih antusias menghabiskan uangnya untuk membeli buku ketimbang untuk membeli sepatu? Berharap boleh dong. [T]
Denpasar, 29 April 2020