Tahun 2020 ini, usia kemerdekaan Indonesia mendekati 75 tahun. Banyak pencapaian dan prestasi yang sudah diraih oleh Indonesia. Ini membuat Indonesia diperhitungkan oleh banyak negara termasuk Amerika, sebuah negara adi kuasa. Prestasi terakhir dan yang mengejutkan publik, oleh Amerika, Indonesia diakui sebagai negara maju.
Apapun tujuan peningkatan status itu, paling tidak Indonesia sudah dianggap sejajar dan diperhitungkan oleh negara-negara lain di dunia. Dibalik raihan keberhasilan tersebut, sebenarnya Indonesia masih memiliki banyak PR dan persoalan bangsa. Kadangkala secara makro, sebuah capaian sudah dikatakan baik dan berhasil tetapi dalam tatanan mikro kondisinya bisa jauh berbeda.
Sebagai contoh, kehidupan di banyak daerah terutama perkotaan semua hal sudah bergeser ke arah otomatis sistem. Memasak nasi menggunakan rice cooker, naik tangga menggunakan escalator, atau lift, colokan handphone ada dimana-mana, sampai buang air kecil pun hanya dengan menekan tombol dan air pun mengalir. Aktivitas-aktivitas tersebut mencirikan kehidupan yang sudah maju, modern dan menunjukkan bangsa yang sudah naik kelas. Semua serba otomatis, artinya semua menggunakan tenaga listrik dalam menjalankan aktivitas itu.
Listrik adalah sebuah kebutuhan untuk membantu kelancaran aktivitas orang kota. Listrik beralih fungsi dari sekadar menerangi kegelapan menjadi alat untuk membantu ibu membuat adonan kue di dapur. Lagi-lagi listrik adalah hal yang sudah biasa bagi kehidupan kaum urban. Secara makro, Indonesia sudah biasa dan terbiasa menggunakan tenaga listrik dalam kehidupan sehari-hari. Coba sesekali menengok ke daerah pinggiran, ternyata ada fakta yang berbeda. Budi Arie Setiadi, Wakil Menteri Desa mengatakan bahwa sampai Maret 2020, masih terdapat 433 desa yang belum menikmati aliran listrik. Sebarannya adalah, 325 desa terdapat di Provinsi Papua, 102 desa di papua barat, 5 desa di NTT dan 1 desa terdapat di Maluku. Inilah potret suram 70-an tahun Indonesia merdeka.
Saya ingin mengajak melihat kondisi lain yang serupa. Seperti diketahui, menteri pendidikan yang sekarang, Mas Menteri Nadiem sedang gencar untuk membuat perubahan. Ini sebagai respon atas era revolusi industri 4.0 dan dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Pengembangan kelas virtual, pembelajaran daring menggunakan elearning adalah sebuah keharusan dan keniscayaan di era sekarang. Demikian wacana yang disebarluaskan ke publik.
Banyak pihak merespon ide ini dengan antusias. Banyak kalangan melihat ini adalah lompatan besar yang membuat Indonesia akan mencapai keemasan pada tahun 2045. Kalangan yang antusias dengan ide ini dapat di duga, mereka yang lahir, hidup dan meninggal pun direncanakan di kota. Bagaimana respon warga pinggiran yang biasanya tinggal di desa. tentu responnya bisa berbeda jauh.
Sampai hari ini, masih ada pemberitaan di TV maupun di koran bahwa ada anak-anak SMA yang tidak diijinkan untuk mengikuti ujian sekolah karena belum membayar uang SPP. Masih ada pemberitaan bahwa agar sampai di sekolah, seorang anak harus berjalan kaki selama 1 jam. Ada siswa berangkat dengan menggelantung di sebuah jembatan yang hampir putus untuk bisa sampai ke sekolah. Juga masih ada berita tentang sekolah yang hampir ambrol atau belajar tanpa atap. Masih ada anak SMP dan SMA di desa yang belum memiliki laptop. Ini adalah realita kehidupan di daerah pinggiran bukan dongeng di negeri antah berantah.
Begitulah sekelumit cerita saat berbicara tentang desa. Desa selalu bersinggungan dengan rakyat miskin, putus sekolah, kumuh, pertanian dan sejenisnya. Akhirnya, Pak Jokowi sebagai orang yang pernah merasakan hidup di pinggiran hadir merespon keadaan tersebut dengan program nawa cita. Salah satu programnya adalah membangun Indonesia dari pinggiran dan desa. Sekaligus penegasan komitmen bahwa negara hadir untuk seluruh rakyat Indonesia. Indonesia mulai bangkit dengan semangat gotong royong. Semangat ini merupakan nilai-nilai yang berasal dari kehidupan dan tradisi berdesa.
Desa mulai berbenah. Wajah desa yang sekarang sudah jauh berbeda dibandingkan wajah desa beberapa tahun yang lalu. Kantor desa kian ramai oleh banyaknya jumlah dan aktivitas perangkat desa. Banyak orang yang mendadak ingin mengabdi menjadi kepala desa. Bahkan saat pemilihan kepala desa, susananya mirip pemilihan presiden. Ramai, gemuruh dan kadangkala penuh dengan intrik.
Sekarang banyak dijumpai baliho yang memuat APBDes di setiap sudut desa. Bangunan yang berisi spanduk nama Bumdesa hadir di semua desa. TK desa banyak di bangun dan beroperasi di sebelah kantor desa. Perubahan itu sebagai implikasi adanya undang-undang desa. UU desa mewajibkan negara hadir untuk desa. Kehadiran negara diwujudkan dalam bentuk dana desa. Dana desa dengan besaran rata-rata 1M mengalir deras ke seluruh desa. Dana inilah yang menyulap desa menjadi sumber harapan baru. Harapan untuk peningkatan kesejahteraan.
Melihat dukungan dana yang besar, maka desa menjadi magnet baru dalam perekonomian. Desa adalah sumber kemajuan dan kesejahteraan Indonesia. Sekjen kementerian desa, Bapak Anwar Sanusi dalam setiap kesempatan, selalu mengajak anak muda untuk turut serta dalam membangun desa. Anak muda memiliki 3 potensi untuk membantu kemajuan desa. Anak muda sangat enerjik, memiliki intelektualitas dan inovatif. Sedangkan wakil menteri desa menegaskan bahwa ada dua ciri sebuah desa akan maju. Pertama, harus ada anak muda.
Pemerintah desa harus melibatkan anak muda dalam setiap kegiatan desa, karena anak muda memiliki ide kreatif dan inovatif serta cenderung memiliki pemikiran yang out of the box. Kedua, desa harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang unggul, sesuai dengan visi Indonesia maju. Ini adalah dua ciri yang nantinya membuat wajah desa akan berubah menjadi maju. Ketika desa-desa maju maka Indonesia akan maju. Mengingat penduduk Indonesia lebih banyak yang tinggal di desa dibandingkan dengan tinggal di kota.
Saya tidak pernah malu mengakui diri sebagai orang desa. Saya bangga menjadi orang desa. Saya selalu antusias bicara tentang desa. Oleh karena itu, lewat tulisan ini, saya mengajak anak muda yang sarjana untuk pulang kampung membangun desa. Para sarjana harus berbuat untuk desa kelahiran serta wajib menjadi pahlawan baru untuk kemajuan desa. Mari memulai dengan menghadiri/berpartisipasi saat acara musyawarah desa (musdes).
Mari memulai dengan menjadi pengurus Bumdesa, menjadi pengurus LPD, atau menjadi perangkat desa. Akan lebih bagus lagi jika memulai dengan menjadi kepala desa. Sudah ada beberapa anak muda yang masih berstatus lajang menjadi kepala desa. Wajah desa akan penuh optimisme dan penuh gairah jika banyak anak mudanya terlibat dalam proses pembangunan. Saatnya membumikan teori-teori yang didapat di bangku sekolah maupun di bangku kuliah.
Desa adalah ladang pengabdian sekaligus tempat memulai harapan baru. Desa membangun Indonesia memberi makna bahwa sesungguhnya pusat pembangunan dan sumber kemajuan Indonesia ada di desa. Anak muda yang sarjana harus terlibat untuk memastikan bahwa mimpi besar itu terwujud dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.[T]