‘[…] Namaku dikenal di seluruh dusun itu, dan nama dia ialah Ranjana. Jalan yang berkelok ke rumah mereka mewangi di musim semi dengan bunga-bunga pohon mangga. Jika benih rami mereka telah masak untuk dituai ganja pun berbunga di ladang kami[…]’
Ganja Di Mata Rabindranath Tagore
‘Ganja pun berbunga di ladang kami’. Seorang mahaguru, penyair, pelukis, peraih Nobel kesusastraan, Rabindranath Tagore menceritakan kisah tentang ladang yang ditanami benih rami dan ganja. Rami [Boehmeria nivea (L.)] adalah tumbuhan yang bisa digunakan sebagai bahan baku tekstil. Rami juga nama lain dari tumbuhan sejenis ganja. Sedangkan ganja adalah tumbuhan yang bisa dibuat jadi rokok untuk dihisap. Tanaman ini resmi dicatat dengan nama ilmiah Cannabis sativaoleh Carolus Linnaeus pada tahun 1753. Konon orang yang menghisapnya akan mengalami euphoria.
Tim Lingkar Ganja Nusantara [2019] mencatat dalam Hikayat Pohon Ganja bahwa tanaman ini terdiri dari tiga spesies yakni sativa [dinamai oleh Carolus Linnaeus, 1753], indica [dinamai oleh Jean-Baptiste Lamarck, 1758], dan ruderalis [dinamai oleh Dmitry Janischevsky]. Ketiga spesies ini merupakan genus Cannabis. Di antara ketiga jenis itu, Cannabis sativa yang paling luas persebarannya. Meskipun demikian, spesies ganja sesungguhnya masih diperdebatkan antara monotypic atau polytypic. Jenis ganja manakah yang dikenal oleh Tagore?
Pada salah satu bagian dari sajak Tukang Kebun [nomor 17] di atas, Tagore tanpa ragu-ragu menyebut tanaman ganja yang berbunga di sebuah ladang di dusun Khanjana. Sajak nomor 17 ini bercerita tentang segala milik ‘mereka’ dan milik ‘kami’. Contoh milik ‘mereka’ adalah pohon rami, sedangkan milik ‘kami’ adalah ganja. Contoh lainya, milik ‘mereka’ adalah domba, sedangkan milik ‘kami’ adalah pohon-pohon. Antara ‘mereka’ dan ‘kami’ dalam pandangan Rabindranath Tagore, hanya dipisahkan sebidang padang. Padang dalam hal ini mungkin sabana. Bayangkan saja ada dua ladang yang dipisah padang, meski begitu kedua ladang masih bisa saling bertukar sesuatu. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Apakah pohon rami dan bunga ganja bisa saling dipertukarkan di lingkungan hidup Rabindranath Tagore? Siapakah ‘mereka’ dan ‘kami’ dalam sajak itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti memahami pikiran Rabindranath Tagore dari berbagai sudut.
IBM Dharma Palguna [2002] menyebut ‘dunia’ dan watak karya-karya Tagore dibentuk oleh jiwa Upanisad. Hal itu dilatarbelakangi oleh ajaran ayahnya [Maharsi Devendranath] yang mengajarkan semangat Upanisad dan mengajak Tagore kecil mengembara memasuki hutan-hutan di pegunungan Himalaya. Menurut Palguna, suatu terra incognita telah terjadi pada diri Tagore pada usia dini. Jika melihat bagaimana karya-karya Tagore diapresiasi oleh para pemujanya yang dengan tidak kebetulan berkenalan dengan karya-karyanya, terra incognita yang terjadi pada Tagore justru menjadi mare incognitum pada diri pembacanya. Artinya, daratan yang tak dikenal Tagore, menenggelamkan pembacanya pada lautan yang tak dikenal pula. Semangat ajaran Upanisad yang diajarkan oleh sang ayah, boleh jadi berupa semangat filsafat. Ada banyak manusia di penjuru negeri ini yang paham, kalau filsafat adalah moyang dari pengetahuan. Itu karena filsafat lahir dari otak yang tidak malas berpikir. Dengan berpikir dan berfilsafat, orang sedang mengoptimalkan sebagian kecil dari kemampuan otak yang dimilikinya. Ganja yang disebutkan Tagore dalam Tukang Kebun, bisa disebut hasil berpikir ala filsafat selain memang Tagore sangat mungkin melihat sendiri pemandangan itu. Melihat dulu lalu berfilsafat, demikian cara kerjanya. Karena dunia Rabindrath Tagore dibentuk oleh jiwa Upanisad, mari kita lihat salah satu bait dari Isa Upanisad sebagi berikut.
iśāvāsyam idaṃ sarvaṃ,
yat kiñca jagat yāṃ jagat,
tena tyaktena bhuñjīthā,
mā gṛdhaḥ kasya svid dhanam [IU.I]
Bait itu diterjemahkan oleh A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada [1972] seorang Founder Acharya International Society untuk Krishna Consciousness menjadi: Everything animate or inanimate that is within the universe is controlled and owned by the Lord. One should therefore accept only those things necessary for himself, which are set aside as his quota, and one must not accept other things, knowing well to Whom they belong [1972: 14].
Segala sesuatu yang bergerak atau tidak bergerak di dunia, dikendalikan dan dimiliki oleh Tuhan. Demikian disebutkan dalam mantra pertama Isa Upanisad. Isa[Tuhan] yang mengendalikan [vasyam] segalanya [sarvam]. Dengan berpandangan bahwa Rabindranath Tagore dipengaruhi secara mendalam oleh Upanisad, mantra pertama Isa Upanisad tersebut bisa dijadikan salah satu gerbang untuk masuk ke dalam dunianya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa bagi Tagore dunia ini dikendalikan oleh Tuhan, termasuk di dalamnya tumbuhan ganja dan rami. Ini sebuah kenyataan yang bisa didapat dengan membaca karya Tagore, dan hal-hal yang melatarbelakangi kelahiran karya-karya itu. Tagore dengan sadar menggunakan ganja sebagai bagian dari sajaknya. Artinya Tagore mengatakan bahwa ganja, yang dikendalikan oleh Tuhan itu, dijadikan miliknya. Kenapa? Mungkin karena Tagore paham ‘iśāvāsyam’, Tuhan mengendalikan segalanya. Termasuk di dalamnya adalah tanaman rami, ganja, padang, dan dirinya. Meski seluruh semesta ini dikendalikan oleh Tuhan, seseorang mesti menerima dan memilih sesuatu yang diperlukannya [dhanam]. Tagore memilih rami dan ganja, karena diperlukan oleh dirinya untuk karyanya.
Ganja: Kemabukan, Kesehatan, Kebebasan
Di Indonesia, ganja ilegal. Penanaman ganja tanpa hak menanam jelas dilarang. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1980 Tentang Ketentuan Penanaman Papaver, Koka, dan Ganja[1]. Tapi, pada bagian Bab III pasal 6, disebutkan “Kecuali untuk tujuan Ilmu Pengetahuan, Lembaga dilarang menggunakan atau memelihara tanaman Papaver, Koka dan Ganja”. Maksudnya, penggunaan atau pemeliharaan ganja dilarang kecuali untuk Ilmu Pengetahuan.
Di dalam pikiran Rabindranath Tagore, ganja adalah hasil kerja. Setelah bekerja di ladang ganja, hasilnya berupa tumbuhan ganja yang sudah berbunga. Sayangnya, Tagore tidak menjelaskan dengan detail digunakan untuk apa seladang ganja itu. Pastinya, Tagore mengatakan bahwa bunga ganja itu adalah hasil kerja. I Wayan Westa [2002] saat menyebut Tagore sebagai Fajar Dari Timur menerangkan keyakinan Tagore pada kerja sebagai wujud cinta pada kehidupan. Menurut Westa, kerja proses kreatif bagi Tagore menjadi jalan pembebasan untuk bersatu dengan kemahaindahan. Dengan mengutip sajak Tukang Kebun berbunyi: Ingin kupuja kau dengan kerja. Telah kulihat wajahmu lembut, dan aku cinta pada debumu pilu, Ibu Bumi, Westa menegaskan sekali lagi tentang kerja berarti lebih dari mencintai Ibu Bumi, tapi kerja adalah pemujaan, yakni ‘memujanya dengan semangat seorang hamba’. Kerja adalah pemujaan, pekerja adalah seorang pemuja. Hasil dari pemujaan sebagai hamba untuk menyatu dengan kemahaindahan salah satunya adalah ganja. Setidaknya, demikian yang bisa disimpulkan dari sajak Tagore dan pernyataan Westa.
Pramoedya Ananta Toer dalam satu wawancara mengutip pernyataan ibunya tentang kerja, ‘semua orang yang bekerja adalah mulia, yang tidak bekerja itu tidak punya kemuliaan’ [Pramoedya Ananta Toer – Ikon 1992]. Hal itu dikatakan karena Pram merasa malu saat bertemu dengan anak-anak seusianya yang sekolah di sekolah-sekolah Gubernemen, sedangkan Pram tiap sore mengambil carik-carik daun untuk makanan kambing. Itu kenyataan timpang bagi Pram muda yang berlindung di atas tanah yang sama dengan anak-anak sekolahan itu. Ketimpangan yang masih diwariskan sampai sekarang. Pram dan Ibunya adalah beberapa contoh orang yang menghargai kerja sebagai kemuliaan, sebagaimana Tagore memuliakan kerja sebagai pemujaan. Orang yang bekerja di ladang ganja pun punya kemuliaan, sebab Tagore, seorang Gurudev pemilik ladang itu. Barangkali bagi Tagore, di dalam pohon ganja kemahaindahan bersemayam dengan sangat halus. Saking halusnya, hanya mata sekelas Tagore yang sanggup melihatnya.
Ganja mengandung zat psikoaktif THC [Tetrahydrocannabinol]. Selain itu, ganja juga menghasilkan cannabinoid, yang fungsinya sama dengan endocannabinoid yang dihasilkan oleh otak manusia sebagaimana dinyatakan oleh Nicoll dan Alger [2004] dalam The Brain’s Own Marijuana”. Zat ini berfungsi dalam hampir semua proses fisiologis manusia. Berangkat dari kenyataan inilah, LGN berpendapat untuk menentang penyalahgunaan ganja dengan mengupayakan pembenargunaan ganja. LGN juga mencatat manfaat medis ganja dan beberapa penyakit yang bisa ditanggulangi dengan ganja, di antaranya: Alzheimer, Amyotrophic Lateral Sclerosis, Fibromyalgia, Glaukoma, HIV/ AIDS, Gangguan Saluran Pencernaan, Radang Sendi, Asma, Depresi, Insomnia, Antibiotik, Kanker dan Leukemia, Diabetes, Distonia, Epilepsi, Sakit Kepala dan Migrain, Sklerosis Ganda, Perlindungan Sel Saraf, Pertumbuhan Sel Saraf, Osteoporosis, Kardiovaskular, Pruritus, Sindrom Tourette, Tuberkolosis. Manfaat medis ini memang dijelaskan dalam Hikayat Pohon Ganja oleh LGN, namun pengawasan dari dokter terhadap pemakaiannya masih sangat diperlukan. Untuk itu, diperlukan juga studi yang terbuka terhadap ganja sebagai bahan pengobatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Francis Young [1988] bahwa dalam pengertian medis yang terukur, maruyuana jauh lebih aman dari kebanyakan makanan yang kita konsumsi [LGN, 2019: 211].
Manfaat ganja bagi kesehatan yang dicatat oleh LGN, mungkin juga diketahui oleh Rabindranath Tagore. Jika bagi Tagore, ganja tidak ada manfaatnya, untuk apa dia menulisnya dan menjadikannya milik? Apakah ganja bagi Tagore adalah simbol segala macam kekotoran seperti mala, papa, pataka? Karena itu Tagore menggunakannya sebagai metafora diri yang serba kotor? Jelas tidak, sebab Atharwa Weda Samhita [XI.6.15] menyebutkan: pañca rājyāni vīrudhāṃ somaśreṣṭhāni brūmaḥ, darbho bhaṅgo yavaḥ saha te no muñcantv aṃhasaḥ [lima kerajaan tumbuh-tumbuhan yang Soma pimpin sebagai Tuan. Darbha, Ganja, Jelai, dan Saha, semoga membebaskan kita dari duka]. Di dalam Weda, ganja adalah salah satu dari lima tumbuhan yang dianggap suci dan diharapkan membebaskan dari duka sengsara. Jika Tagore memang dibentuk oleh tradisi Upanisad yang dengan sendirinya adalah tradisi Weda, alasan ini sudah cukup menguatkan mengapa sang Fajar Dari Timur mencerahkan kegelapan pengetahuan tentang ganja.
Tagore tidak hanya menjadi pencerah, tapi juga menjadi penghubung Timur dan Barat. Vittorino Veronese, Direktur Jenderal UNESCO pada tahun 1961 menyampaikan pesan yang disampaikan pada peringatan seratus tahun kelahiran Tagore yang dilakukan di Bombay pada bulan Januari. Pesan itu berbunyi ‘Tagore was in truth a living link between East and West. And so he willed it. His entire life he fought against narrow distrust of foreign cultures. He had faith in the fruitfulness of cultural intercourse and friendship. With this message he was and remains a Guru to Unesco, and it is both fitting and imperative that Unesco’s homage to Tagore should join that of the rest of mankind’. Jika seorang yang dipuji sebagai living link antara Timur dan Barat, seorang Guru bagi UNESCO memikirkan hakikat ganja, barangkali perlu juga cara ini diikuti oleh setiap umat manusia. Sebab, jika seorang Gurudev memikirkan sesuatu, artinya ada hal penting yang tersembunyi di dalam sesuatu yang ia pikirkan.
Dengan cara berpikir demikian, sangatlah mungkin untuk mendapatkan isi pikiran Rabindranath. Isi pikiran itulah yang bisa digali dari karya-karya Tagore. Sebab, ‘membicarakan karya-karya Rabindranath Tagore, sama penting dan sama menariknya dengan membicarakan riwayat kehidupan serta pemikirannya’. Demikian kata Palguna dalam sebuah tulisan berjudul Rabindranath Tagore Tukang Kebun Dari Taman Keindahan Ilahi. Dengan kata lain, melalui pembacaan yang serius yakni membolak-balikkan kata-kata Tagore dalam karyanya, kita dapat memperoleh sari-sari permenungannya. Membolak-balik kata sama dengan kerja petani yang membalik tanah. Hanya pada tanah subur yang diolah dengan kerja, sari pati Bumi bisa didapat. Hanya pada kata-kata yang terus direnungkan, kemahaindahan sebagai sari pati pikiran bisa direguk.
Saripati pikiran inilah yang dicari-cari oleh para pemikir pejuang. Saripati pikiran berupa kebijaksanaan yang tercerahkan. Berangkat dari keadaan gelap [avidya] menuju keadaan yang cerah [vidya]. Yeats saat memberikan pengantar dalam Gitanjali [Song Offerings], mengutip perkataan seorang Doktor dalam bidang kesehatan dari Bengali yang ia kenal. Doktor itu berkata ‘I read Rabindranath every day, to read one line of his is to forget all the troubles of the world’. Perkataan itu diungkapkan, setelah Yeats menyatakan bahwa ‘[…] though these prose translations from Rabindranath Tagore have stirred my blood as nothing has for years […]’. Karya-karya Tagore dirasai telah meruwat segala masalah di dunia berupa kekotoran batin. Karya Tagore meruwat atau menyucikan batin-batin yang sebelumnya masih diliputi oleh kegelapan pikiran sendiri. Pandangan ini juga dianut oleh IBG Agastia yang menekankan pentingnya membaca dan memahami pertanyaan Tagore dalam eseinyaSpiritual Union. Agastia mengungkapkan, bahwa konsep advaitamperlu dipahami terlebih dahulu sebelum membaca karya-karya Tagore. Advaitam bagi Agastia adalah Ananda. Ananda adalah Rasa, yakni yang Tak Terbatas sendiri: raso vai sah.
Anandam atau kebahagiaan yang tidak berbalik pada ketidakbahagiaan itu, hanya mungkin didapat jika seseorang mau melepas kulit-kulitnya. Kulit inilah lapisan demi lapisan yang mengurung kesadaran. Ada lima lapisan yang mengurung kesadaran tersebut. Usaha untuk mendapatkan anandam, sama artinya dengan usaha melepaskan diri dari ikatan ini. Kelima ikatan ini adalah lapisan tubuh yang tercipta dari makanan [ana], nafas [prana], pikiran [mano], budhi [wijñana], kebahagiaan [anandam]. Anandam sendiri merupakan lapisan yang turut mengurung kesadaran. Sampai disana, disediakan pilihan antara melewati kebahagiaan atau berdiam sampai di batas itu.
Aji Sangkya yang ditulis oleh Ida Ketut Djelantik, menegaskan bahwa kebahagiaan ini dibagi menjadi dua yakni wahya tusti dandhyatmika tusti. Wahya tusti terdiri dari lima kebahagiaan yakni adnyana [kebahagiaan yang didapat karena telah mendapatkan harta, karena itu ia lupa mengejar pengetahuan]. Raksana, bahagia karena merasakan diri telah berhasil menjaga segala milik yang didapat dengan susah payah. Ksaya, bahagia karena telah terlepas dari rasa sakit atau tidak terkena penyakit. Sangga, kebahagiaan yang dicapai karena telah berhasil berkumpul dengan keluarga, pasangan juga anak. Ahingsa, bahagia karena membunuh hewan yang akan digunakan untuk memenuhi kerakusannya. Dhyatmika tusti terdiri dari: Abagia yakni bahagia meski dalam keadaan miskin, sebab sadar itu semua hasil perbuatan terdahulu. Karena itu, menyerah pada hidup dan tidak berusaha menjadi lebih baik dalam kehidupan sekarang. Akala, merasa bahagia meski segala yang dicari belum ditemukan dan menyadari itu semua adalah kehendak Tuhan. Akibatnya tidak sadar kalau hidup sekarang bisa digunakan untuk berjuang demi mendapat segala yang dicari. Anatma, bahagia meski belum terbukti. Hal ini biasanya dialami oleh seorang murid yang percaya begitu saja dengan ajaran gurunya. Atau terlampau yakin dengan ajaran sastra, singkatnya hanya karena segala ajaran sastra berhasil dipecahkannya ia sudah merasa sangat bahagia. Karena itu, tidak lagi berusaha meraih hasil ajaran dengan usaha sendiri.
Kebahagiaan yang demikian menurut teks Tantri Kamandaka, mesti dilewati. Pernyataan ini tidak secara eksplisit, tapi dapat dipahami saat pengenalan Dyah Tantri sebagai seorang wanita cerdas yang berhasil menguasai sastra. Tidak hanya menguasai, tapi melewati. Di dalam teks tersebut dinyatakan: Ya hetunirākon umundange atmajanira sang mangaran Dyah Tantri, sang kanyakādi surupa, nguniweh kaprajñanira wagiswarīwa, tulya Hyang Saraswati prajñanira. Tatan hana kapinggingnira, sampun putus sire sarwa śāstra, mwang ring sarwa tantra, tattwāgama, tattwa jñāna, nguni n pamutus ning sarwa tattwa, tasak sira ring sawopadesa, mwang hasta kosala [Itulah sebabnya beliau memanggil putrinya yang bernama Dyah Tantri, seorang gadis cantik, terlebih lagi sangat pandai, sungguh bagaikan Dewi Saraswati kepandaian dan kebijaksanaannya. Tidak ada yang tidak diketahuinya, beliau memahami segala śāstra, serta memahami semua ajaran tantra, tattwa agama, tattwa jñāna, memahami hakikat tattwa, paham pada semua upadesa dan ajaran hasta kośala] [Agastia, 1987:36]. Semua ajaran yang disebutkan telah berhasil dikuasai oleh Dyah Tantri. Salah satu ajaran yang dikuasainya adalah Tantra. Karena ia menguasai Tantra, ia dikenal dengan nama Tantri.
Demikianlah kebahagiaan itu dinikmati dan dilewati. Tidak terkecuali kebahagiaan yang dinikmati oleh para kawi. Para kawi menikmati kebahagiaan ketika berhasil menyatu dengan keindahan [angawaki langö]. Kawi-kawi itu dimabuk oleh keindahan yang tidak terperikan. Kebahagiaan ini dijelaskan dengan kata kalangwan. Untuk mencapai titik itu, seorang kawi melakukan pengembaraan untuk mendapatkan keindahan [alanglang kalangwan]. Ada banyak kakawin yang menceritakan tentang perjalanan seorang kawi yang mengembara untuk mendapatkan sari-sari keindahan itu. Pengarang Wrӗtasañcaya mengatakan ia harus meninggalkan kekasihnya untuk memenuhi hasratnya demi mendapat keindahan [sakari harӗpku lalita nggurit langö]. Mpu Dharmaja mengatakan, ia sangat ingin ingin melihat wujud Dewa Smara yang sesungguhnya tidak bertubuh. Bahkan Mpu Dharmaja mengatakan dirinya dilupakan oleh istrinya, karena sangat lama telah ia tinggalkan. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan keindahan, para kawi mengorbankan hal-hal yang sangat berharga dalam hidupnya, termasuk hidupnya yang berharga.
Dalam melakukan pencatatan atas pengalaman estetik yang telah dialami oleh para kawi, tidak sedikit yang menulisnya dengan gaya yang absurd. Adegan-adegan erotis, dijabarkan sedetail mungkin. Oleh karena itu, berkaitan dengan ungkapan Rabindranath Tagore, tidak aneh jika ada kata ganja pada sekumpulan sajak Tukang Kebun. Tidak hanya selembar daun ganja, tapi seladang. Ganja itu masih tabu, tapi Tagore menyebutnya. Tidak hanya menyebut, tapi menjadikan kata itu tidak tabu. Justru indah. Di tingkat itulah penyair menjadi pencipta, kawi. Seorang kawi yang melahirkan dan dilahirkan oleh karyanya, memerlukan pengalaman nyata untuk memindahkan apa yang sudah ada di dunia ini ke dalam karya sastra yang tahan zaman. Hanya karya sastra yang menyajikan kebenaran universal yang mampu bertahan dari perubahan zaman itu. Setidaknya hal ini disadari betul oleh Teeuw ketika menyatakan bahwa sastra memang berurusan dengan universal truth. Apakah yang dimaksudkan dengan universal truth?
Kebenaran yang bisa diyakini oleh seluruh dunia. Penemuan atas dasar keyakinan ini bisa jadi dengan menyebut Tuhan, bisa juga tanpa Tuhan. Tuhan yang konon mengendalikan semua yang ada di dunia ini. Atau dunia ini bergerak karena sudah hukum alam [Rta]. Keduanya konsep belaka yang tidak untuk dihinakan, karena ia tidak dapat dihina. Jangankan dihina, bahkan wujud paling halus yang dimiliki manusia tidak bisa menggambarkannya. Karena itu ia disebut acintya. Lalu apa yang dilihat oleh kebanyakan orang yang mengaku telah melihatnya?
Barangkali hanya mata yang sudah terlatih melihat bisa memandangnya dengan khusuk. Barangkali mata yang demikian dimiliki oleh mereka yang bersedia mempersembahkan hidupnya demi kebahagiaan seluruh dunia. Tagore adalah salah satu yang meyakini bahwa hidup adalah persembahan. Tagore dalam sajak nomor 17 di atas, juga mengajarkan sesuatu tentang ladang rami dan ganja miliknya. Apa yang sudah diajarkan Tagore, tidak semestinya disia-siakan begitu saja. Mungkinkah bagi Rabindranath Tagore, Tuhan tidak hanya mengendalikan segalanya, tapi juga berada di dalam segalanya? Masalahnya, bisakah kita melihat wajah Tuhan pada sebatang pohon ganja?
Rujukan
Agastia, IBG. 1987. Sagara Giri, Kumpulan Esei Sastra Jawa Kuna. Denpasar: Wyāsa Sanggraha.
Agastia, IBG. 2002. “Rabindranath Tagore: Keindahan Tak Terbatas”. Dalam Rabindranath Tagore Puisi Sepanjang Masa. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Djelantik, Ida Ktoet. 2008. Aji Sangkya, Suntingan Teks, Terjemahan, dan Analisis Isi oleh I Wayan Sukayasa dan Ida Bagus Jelantik. Denpasar: Widya Dharma.
Palguna, IBM. 2002. “Rabindranath Tagore Tukang Kebun Dari Taman Keindahan Ilahi”. Dalam Rabindranath Tagore Puisi Sepanjang Masa. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Prabhupada, A.C. Bhaktivedanta Swami. 1972. Śrī Īśopanisad. Los Angeles: ISKCON
Books.
[1] https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/66522/pp-no-1-tahun-1980