Oleh: I Wayan Artika – Batungsel, Pupuan, Tabanan
Jadi, kalau demikian adanya, apa makna rumah selama ini? Mengapa berdiam di rumah seakan penjara? Semua orang ingin memiliki rumah jika dimaknai hanya sebagai belenggu kebebasan, untuk apa? Rumah yang mahal didapat dengan berbagai kredit, menggunakan hampir semua penghasilan untuk membangunnya, namun pada akhirnya hanya tempat singgah dari hari-hari bermigrasi suatu keluarga.
Revolusi hijau di desa mengubah pemahaman masyarakat terhadap rumah. Transformasi pemahaman semakin kuat ketika Orde Baru mengembangkan pembangunan desa, seperti “listrik masuk desa”, “ABRI masuk desa”, “koran masuk desa”. Berwujud nyata pada perubahan pembangunan rumah sehat dengan ideologi pembangunan bahwa rumah-rumah yang telah ada ratusan tahun di desa, harus dirobohkan dan diganti dengan rumah baru berbahan semen dengan tiang beton. Banyak rumah tradisional yang indah dan kuat dirobohkan dan berdiri rumah baru bergaya kantor.
Hal ini mengubah pandangan masyarakat terhadap rumah. Dekade-dekade awal ORBA di desaku ditandai dengan pembangunan rumah dengan material baru, yang sebelumnya rumah sangat sederhana, dari bambu atau kayu yang dibudidayakan sendiri di kebun kopi. Rumah bagi petani bukanlah pusat aktivitas ekonomi. Rumah murni sebagai tempat istirahat pada malam hari. Sepanjang siang semuanya pergi ke kebun dan subak karena di sinilah kehidupan desa yang sebenarnya berputar. Di kebun atau di subak tersedia berbagai sumber hidup yang melimpah, air yang bersih, sayuran, jamur, koloni lebah, ikan-ikan, umbi-umbian, atau hewan seperti landak, musang, terenggiling, bukal dll.
Pembangunan desa ORBA mengubah wajah desa, dengan menghadirkan rumah-rumah bata lengkap dengan pembagian kamar atau fungsi yang spesifik, seperti kamar tamu, teras, dapur, kamar mandi, dan kamar tidur. Natahluas yang dimiliki setiap rumah pun beralih fungsi untuk pembangunan rumah sehat ala ORBA. Maka desa semakin sumpek!
Sebelum era rumah sehat satu keluarga yang terdiri atas beberapa KK tinggal di satu rumah hidup rukun dan ramai. Tak ada kamar-kamar pribadi. Dalam satu rumah yang hanya ada satu ruangan dengan 4-5 tempat tidur kayu berkelambu atau terbuka, dapur dan segala perlengkapannya. Di rumah inilah kehidupan berlangsung!
Bagi petani, rumah tidak penting karena pusat hidup ekonomi sepanjang tahun adalah kebun kopi dan subak. Semua waktu habis di kedua tempat itu. Sedikit lebih lama di rumah ketika ada peristiwa suka duka. Sepanjang hari desa memang sepi, hanya dihuni para orang tua, sebagaimana ditulis dalam novel Inses.
Karena sekolah SMP di Tabanan, harus indekos, harus tinggal bertahun-tahun terpisah dari rumah di desa. Kamar pribadi yang disewa di Tabanan mengubah persepsi terhadap rumah di desa, yang masih bergaya lama karena orang tua belum memiliki uang untuk mengganti dengan yang baru.
Terbersit keinginan yang kuat, memiliki rumah dengan kamar-kamar pribadi, sehingga jika ada teman-teman sekolah ingin main ke desa, tidak malu. Tapi semua keinginan ini tersimpan karena orang tua menggunakan semua daya ekonomi untuk biaya sekolah. Setiap ada teman yang ingin ikut ke desa, selalu ditolak. Malu, tidak ada kamar!
Pembangunan rumah sehat ala ORBA baru bisa dilaksanakan kelak ketika sudah jadi dosen. Biasa, untuk memenuhi “PNS dream” membeli tanah dengan luas dua are di pinggiran kota Singaraja. Dengan bantuan orang tua, rumah berdiri, walau belum rampung benar, yang penting bisa dtempati, sebelum nikah. Ini juga satu target, nikah setelah rumah.
Pergaulan dengan suami istri Belanda, membangun rumah di atas lahan 35 are di tepi pantai, selayaknya villa atau hotel, dan mengetahui bahwa mengapa rumah orang asing di Bali sangat luas, bersih, dan rimbun, menyadarkan bahwa mereka semua menikmati keindahan alam tanah Bali. Tapi, mengapa tidak demikian bagi orang Bali sendiri?
Dengan tanah kebun kopi seluas 17 are yang dibeli secara mencicil, akan semakin dekat dengan pendirian rumah seperti konsep orang Belanda tadi, menikmati keindahan alam desa sendiri. Tanah ini berbatasan jurang dengan aliran sungai di dasar, sawah membentang, pohon-pohon liar, semak, rumpun bamboo, dibangun rumah sederhana. Tiga unit bangunan yang total luasnya tiga are, dibangun di bawah pepohonan, semak, di tepi jurang dan sawah dengan telabah subak yang mengalirkan air sepanjang musim.
Jalan masuk selebar tiga meter, parkir untuk 10 kendaraan, halaman dengan rumput hijau, pandangan luas dari dapur atau kamar tidur menuju kaki Gunung Batukaru, perbatasan kebun kopi dan kayu alas tutupan, didedikasikan bagi pengembangan konsep bahwa rumah tidak hanya berfungsi sosiologis tetapi edukatif dan literat.
Rumah ini berbeda dengan pada umumnya rumah di desa, yang sempit atau berdesak-desakan, ada kesan kurang terawat, yang mana mengubur keindahan alam desa ini.
Maka tinggal di rumah adalah aktivitas ekspresif, petualangan, kontemplasi, kreativitas, mencercap keindahan alam, bermain dengan tanah dan lumput, menjaga halaman dari sekeping plastik, dan seterusnya.