Oleh: Kadek Dwitya Maharani — SMA PGRI 1 Amlapura
Virus Covid-19 atau yang lebih dikenal dengan virus Corona mulai masuk ke Indonesia. Berbagai macam berita telah muncul di internet. Salah satu yang saya baca “Pengumuman Jokowi resmi menetapkan 2 WNI positif Corona” melihat berita tersebut saya mulai diam dan berimajinasi bahwa ini cara alam mengurangi populasi manusia, siang itu bukan hanya di satu kota namun seluruh Indonesia digegerkan dengan datangnya virus tersebut. Covid-19 benar-benar membuat sengsara.
Beberapa hari kemudian, virus ini semakin merajalela, semakin menyebar dan penyebarannya sangat mudah. Melihat keadaan tersebut, pemerintah dengan sigap mengambil kebijakan menghentikan proses pembelajaran tatap muka. Sebagai gantinya, pembelajaran dilakukan jarak jauh atau dengan sistem daring. Penerapan pembelajaran daring ini menuntut kesiapan bagi kedua belah pihak, baik dari guru ataupun dari murid. Pihak sekolah pun membuat kebijakan belajar dari rumah dengan memanfaatkan teknologi.
Pembelajaran daring pun dimulai. Saya pikir belajar di rumah itu enak bisa santai-santai, bisa nyambi nyapu, nyuci, bantu orang tua, bahkan sambilan nonton film Korea. Belajar di rumah dalam pikiran saya adalah belajar dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di rumah, misalnya saya adalah anak tertua, memiliki seorang adik. Tugas-tugasnya nanti semacam membuat membuat teks narasi tentu aktivitas saya dan lain-lain. Tugas-tugas itu dikumpulkan saat pembelajaran di sekolah. Saya mengira belajar di rumah adalah sebuah persiapan sementara selama wabah corona merebak. Intinya saat sekolah nanti, kita sudah tahu dasar materinya dan dikembinangbinakan di sekolah.
Namun, kenyataannya jauh dari ekpektasi saya. Pada saat pembelajaran saya dan teman-teman saya diberikan berbagai macam tugas oleh guru-guru. Awalnya saya bersemangat untuk belajar dan mengerjakan tugas dari guru. Tugas-tugas itu diberikan sesuai dengan jadwal mata pelajaran yang ada. Saya sudah memegang HP mulai jam 07.00 Wita, mengecek HP dan mengerjakannya, lalu mengumpulkan sesuai dengan waktu jam pelajaran. Hanya saja, lama-kelamaan itu menjadi beban. Tugas yang diberikan setiap hari sangat banyak dan harus dikumpulkan tepat waktu. Belum lagi, saya harus menelusuri materi di google sebab tidak semua materi atau tugas yang diberikan benar-benar bisa saya pahami. Mau bertanya dan diskusi dengan guru—sungkan, masa tugas ditanya balik. Apalagi misalnya ada tugas berupa laporan praktikum, waduh apa maksudnya coba. Mau praktikum di mana? Wong keluar saja susah.
Ternyata, hal yang sama juga dialami oleh rekan-rekan saya di sekolah lain. Bahkan, tugasnya lebih berjubel. Bagi siswa dengan latar belakang ekonomi dan sosial yang mapan tidak masalah. Proses belajar dalam jaringan ini membutuhkan paket internet. Dalam seminggu, menurut penuturan beberapa teman, paketan yang seharusnya habis sebulan—sudah habis. Cerita teman lain, malahan kehidupannya semakin ruwet. Bagaimana tidak ruwet sebab di rumah mereka harus bekerja dengan orang tua. Ada orang tua yang beranggapan bahwa belajar ya di sekolah, bukan di rumah. Jadi, sepanjang anaknya ada di rumah ya dianggap tidak belajar sehingga semua kebutuhannya (baca: paket internet) tidak wajub untuk dipenuhi.
Namun, menurut cerita, ada sisi positif yang bisa teman-teman rasakan hikmah di balik belajar di rumah ini, yaitu soliditas teman. Ya, teman yang sebelumnya pelit di kelas, jarang membantu, tertutup soal pelajaran, menjadi lebih terbuka. Tidak jarang tugas-tugasnya dishare di grup kelas. Kami menconteknya rame-rame. Beberapa soal, oleh beberapa siswa, memang jarang dibaca saksama sebab tidak bisa dipahami. Permasalahan kemudian muncul sebab jawaban yang di-sharing disalin mentah oleh beberapa siswa. Guru menugaskan membuat ulang. Sharing jadi pusing. Oleh karena itulah, teman-teman mengusulkan agar kembali ke sekolah saja. Belajar di rumah malah bertambah ribet. Kebanyakan dari kami menganggap bahwa kami tak benar-benar belajar sebab pikiran terpenjara. Lebih dari itu, ekonomi siswa juga lockdown—pendapatan utama dari bekal terputu distribusinya.
Namun, kemudian kami bersyukur sebab ada imbauan pemerintah agar pembelajaran dalam jaringan (di rumah) tidak memberatkan siswa, apalagi memberatkan orang tua yang kehidupannya sudah berat. Perubahan pola pembelajaran di sekolah saya, misalnya, ada batasan jumlah tugas, ada kelonggaran penyerahan tugas, hingga perubahan materi tugas yang lebih mengedepankan sisi aplikatif dibandingkan teoretis. Misalnya, tugas pelajaran Olahraga yang cukup dilakukan dengan berolahraga di pagi hari atau pelajaran Bahasa Indonesia yang cukup menonton video Puja Astawa tentang penangan corona. Tugas kali ini semakin manusiawi.
Namun, bagi saya, upaya apapun yang dilakukan oleh guru, itu adalah niat baik guru yang harus kita sambut positif. Dalam pandangan saya, tidak ada seorang pun guru yang akan mengarahkan siswanya menuju jurang kehancuran. Saya siap menghadapinya, walaupun ngeluh-ngeluh sedikit takapa kan? [T]
___
Ni Kadek Dwitya Maharani, kelas XI MIPA 2 SMA PGRI 1 Amlapura. Pernah meraih Harapan I Lomba Menulis Esai Pendidikan Usia Dini Undiksha 2018, Meraih Juara I Lomba Teater KPU Karangasem 2019, Juara II Gebyar Literasi Bulan Kunjung Perpustakaan Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Karangasem 2019. Tergabung pada Komunitas Teater Lantang SMA PGRI 1 Amlapura, Ekstrakurikuler Sastra Jurnalistik SMA PGRI 1 Amlapura dan Forum Teater Amlapura.