Pada setiap 30 Maret merupakan hari ulang tahun Kota Singaraja. Sehubungan dengan hal itu, apa saja yang bisa disimak tentang arsitektur kota ini. Jika diamati, akan ditemukan adanya beberapa peninggalan arsitektur tempo doeloe, yang lazim dikenal dengan arsitektur kolonial Belanda. Arsitektur yang “diwariskan” ini ada yang berupa kantor sekolah, rumah tinggal, gereja dll.
Singaraja,ibukota kabupaten Buleleng, Bali, selain dijuluki sebagai kota “panas”, berlambang patung Singa Ambararaja, dan sebagai cikal bakal ibukota “Sunda kecil” waktu dulu, ternyata menyimpan “kekayaan” arsitektur kolonial Belanda, yang jarang dijumpai pada kota-kota kabupaten lain di Bali. Arsitektur kolonial ini bisa dijumpai di lingkungan Sukasada,Liligundi, di Jl. Ngurah Rai, Jl. Gajah Mada, pelabuhan Buleleng, Jl. Surapati dll. Beberapa peninggalan arsitektur kolonial ini masih nampak bertahan dan utuh, namun tak sedikit yang sudah mengalami perubahan bentuk, atau menggunakan material berbeda dari keadaannya semula.
Mengamati kenyataan ini, mungkin perlu diupayakan suatu konservasi arsitektur kotanya. Tentu lebih bijak sekiranya masyarakat turut berperan, memahami, menjaga dan menghargai keberadaan arsitektur peninggalan bersejarah, yang selain masih bisa digunakan secara fungsional, juga kental dengan makna dan nilai historis.
Konservasi – dalam segmen arsitektur – itu sendiri dapat dikatakan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat/objek arsitektur agar makna arsitektural yang dikandungnya terpelihara secara baik. Perihal ini meliputi segenap kegiatan pemeliharaan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat, yang di dalamnya mencakup preservasi, restorasi/rehabilitasi, rekonstruksi, dan adaptasi/revitalisasi.
Segala pelaksanaan pembangunan dan pelestarian arsitektur kotanya hendaknya menyangkut cultural heritage. Mengingat “konservasi warisan” arsitektur Kota Singaraja bukan hanya menyentuh dan melibatkan wujud arsitekturalnya semata-mata, namun juga elemen-elemen sosial lainnya, termasuk mendengarkan aspirasi yang berkembang secara dinamis di tengah masyarakat.
Upaya Pelestarian
Pelestarian arsitektur Kota Singaraja merupakan suatu upaya menjaga warisan sejarah dan citra visual kotanya, sehingga kemudian kelak bisa memperkuat identitas dan ciri khas kota. Maka guna lebih mendekatkan realisasi upaya konservasi tersebut, perlu diupayakan langkah-langkah pemecahan yang holistik, komprehensif dan implementatif.
Ada sejumlah kriteria dalam upaya menata dan mengatur pelestarian arsitektur Kota Singaraja. Salah satu di antaranya, sebagaimana ditulis dalam buku “Historic Preservation, on Introduction to Urban Planning” karya Wayne O. Attoe (1979), ada faktor-faktor (1) kesejarahan bagi bangunan/arsitektur yang dapat memberikan arti simbolis atau tertentu bagi peristiwa kota di masa lalu, (2) keistimewaan bangunan/arsitektur seperti bangunan tertua, pertama, terbesar, hingga terkecil, (3) kelangkaan karena terbatasnya peninggalan yang masih tersisa, (4) kejamakan/tipikal, dimana bangunan tersebut dapat diwakili atau sebagai contoh jenis bangunan tertentu, dan (5) estetika, seperti menunjukkan langgam/gaya, struktur dan konstruksi, tampilan visual tertentu dan aksentuasi untuk memperkuat/menonjolkan arsitektur atau lingkungan sekitarnya.
Guna penetapan kawasan / lingkungan yang hendak dilestarikan, perlu digunakan beberapa acuan yang berupa standar dan kriteria pelestarian, klasifikasi dan jenis pelestarian, sebagai implementasi langkah-langkah pelestarian arsitektur Kota Singaraja. Begitu pula perlu dilakukan inventarisasi terhadap arsitektur-arsitektur peninggalan bersejarah yang ada di Singaraja, untuk kemudian dikompilasikan dalam bentuk daftar yang nantinya merupakan daftar aset-aset yang harus dilestarikan sebagai lampiran dari peraturan daerah setempat.
Makalah bertajuk “The Meaning of Preservation in Town Planning” pada seminar “Change and Heritage in Indonesian Cities” (1988) tulisan M. Danisworo, IAI, IAP, mungkin bisa dipakai sebagai acuan dalam upaya mengklasifikasi serta cara pelestarian sebagai langkah implementasi pelestarian arsitektur Kota Singaraja. Perihal tersebut antara lain meliputi (a) konservasi, (b) gentrifikasi, (c) rehabilitasi, (d) renovasi, (e) restorasi, dan (f) rekonstruksi.
Upaya pelestarian warisan (arsitektur) kota tentu berimplikasi pula terhadap nilai historis, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Kesadaran akan makna visi dan misi dari eksistensi warisan arsitektur Kota Singaraja perlu dibangun di tengah-tengah masyarakat, yakni partisipasinya di dalam upaya pelestarian. Termasuk menjamin keseimbangan lingkungan serta keberlanjutan kehidupannya.
Sebagai salah satu wujud praktik partisipasi di dalam penataan ruang, selain upaya pelestarian dan partisipasi masyarakat, perlu dilakukan pendokumentasian warisan arsitektur Kota Singaraja. Penataan ruang itu sendiri bermakna sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam hal ini penekanannya diprioritaskan pada citra arsitektur historic core atau inti sejarah Kota Singaraja, yang axis-nya memanjang dari selatan (kawasan pasar Liligundi, puri, Pura Desa, deretan peninggalan arsitektur kolonial/kuno) sampai ke utara (kawasan pertokoan lama/tua, Pura Segara dan pelabuhan Buleleng).
Senyatanya, tata ruang kota bersifat dinamis. Karenanya, kegiatan dalam konteks penataan ruang, termasuk di dalamnya pelestarian dan pendokumentasian arsitektur Kota Singaraja maupun aset-aset non fisik lainnya, perlu senantiasa diupayakan agar responsif terhadap situasi tata ruang yang berkelanjutan
Makna Historis
Kontektualisasi pelestarian arsitektur Kota Singaraja perlu disertai dengan pemahaman terhadap makna historisnya. Hal itu bisa dimengerti dengan melihat dan membaca bukti-bukti sejarah yang dimiliki Kota Singaraja khususnya, dan Kabupaten Buleleng umumnya.
Arsitektur kotanya dapat dipahami sebagai akulturasi dari beberapa etnis dan bangsa-bangsa lain. Sebut saja seperti pengaruh India/Siwa Budha (arsitektur peribadatan), Belanda (arsitektur peninggalan kolonial, jembatan, sampai pelabuhan Pabean), Cina (bangunan Kelenteng/Kong Tjo), eksistensi kerajaan Buleleng (peninggalan arsitektur puri), bahkan juga Islam (adanya perkampungan Bugis). Makna historis ini juga menjiwai tampilan ragam hias dalam arsitekturnya, yang pada asal mulanya memiliki ciri ornamen khas Buleleng.
Makna tersebut kiranya perlu dibangkitkan dan dipahami sebagai suatu hal yang tak kasat mata yang menjiwai wujud fisik yang nyata atau kasat mata tata ruang maupun arsitektur Kota Singaraja, selain memiliki ekspresi yang khas.
Kekhasan yang dimiliki Kota Singaraja itu tak menutup kemungkinan untuk dieksplorasi makna rekreatifnya sehingga bisa mendukung program kunjungan wisatawan. Misalnya, dengan merestorasi kawasan pasar tradisionalnya, penataan dan pengembangan kawasan di sekitarnya. Begitu pula kawasan wisata baharinya, dengan merestorasi kawasan pasar tradisionalnya, penataan dan pengembangan kawasan di sekitarnya.
Begitu pula kawasan wisata baharinya, dengan merestorasi dan mereservasi bangunan-bangunan di kawasan itu. Juga dengan melakukan proteksi terhadap kawasan pura yang ada di kota Singaraja, disertai penataan lansekapnya. Kandungan “roh” Kota Singaraja inilah yang perlu dihidupkan dan dibasngkitkan dalam dimensi pelestarian.
Di antara pembangunan gedung-gedung baru di kota ini, seyogyanya masyarakat tetap menjaga, memelihara, dan melestarikan arsitektur bersejarah di kota ini. Sekaligus pula guna meningkatkan kualitas lingkungan dan arsitektur yang memiliki nilai seni, arsitektonis dan historis. Konservasi dan pembangunan bisa diibaratkan sebagai dua sisi dari keping uang yang sama. Keduanya merupakan satu kesatuan utuh, yang sama-sama dibutuhkan untuk mewujudkan arsitektur dan lingkungan kota yang berpribadi dan berjati diri. [T]