A.A. Ngurah A. Windara — Desa Serongga, Gianyar
Jam sepuluh pagi, tanah basah, ada sedikit genangan di sana-sini, beberapa bagian berlumpur. Baru saja kampung ini di guyur hujan. Angin bertiup dingin. Daun-daun sandat berguguran, melayang lalu menghujam bumi, seolah menyadarkan dari diam, diam termangu, di tengah-tengah situasi dan kondisi social distancing, sebuah upaya memutus mata rantai Virus Covid 19, berharap diikuti oleh semua khalayak. Kondisi inilah yang menempatkan badan ini masih tepekur di sini, di bawah pohon sandat, yang biasanya sudah di kantor, atau ketemu klien.
Hari ke-3 libur ‘bertapa di rumah’, bikin hati agak parno. Sebuah situasi yang memang harus diterima, tidak bisa lagi bebas kongkow-kongkow, reuni, nonton konser, nonton bola. Dalam kaitannya dengan rangkaian ritual Nyepi juga banyak batasananya. Tidak ada lagi acara rame-rame Melasti ke pantai, tidak ada lagi keriaan dalam pawai ogoh-ogoh. Saya pun mengalami sedikit rasa kecewa, rencana sewa emperan toko di dekat Pantai Lebih menyambut ribuan peserta melasti juga sudah dibatalkan, walau sudah bayar DP. Ibu pemilik toko mengembalikan uang sewa. “Tidak apa-apa Pak, kita harus saling dukung. Kondisi ini semoga cepat berlalu”, senyumnya manis, ikhlas !
Apa yang harus dilakukan, ketika harus memilih untuk di rumah saja? Harus ada! Sesuatu sesuatu yang tetap produktif, tidak membosankan dan tentu harus mampu membahagiakan hati. Akan lebih banyak melakukan aktifitas di teba, itulah pilihan saya. Sebuah aktifitas yang sesungguhnya cukup mulia, paling tidak itu menurut saya saat ini, lebih mendekatkan diri pada alam, ibu pertiwi. Di sisi lain, adalah berkah untuk membangun relasi yang lebih intim dengan keluarga.
Empat meter ke arah utara dari pohon sandat, berdekatan dengan Sedahan Gamang, berdiri para-para bambu ukuran 3 X 5 X 1.80 Meter. Para-para ini dibangun sekitar 3 bulan yang lalu, untuk merambatkan tanaman butternut squash, sejenis tanaman labu-labuan, rasanya lebih manis, lebih padat dan lebih gurih. Mata saya tertuju pada tanaman tersebut. “ Ahai… ada 10 buah yang bergelantungan”, tiba-tiba meluncur kata setengah berbisik. Buah sudah mulai matang, warnanya merah tembaga dengan bentuk buah yang eksotis, ada lekukan di bagian pinggang buahnya.
Awalnya hanya iseng menanam. Bermula dari sang cucu yang masih balita sering dibuatkan bubur labu ini oleh bundanya. Kata bundanya, dia beli di salah satu supermarket di kawasan Ubud. Ketika daging buahnya dibelah, beberapa biji saya ambil, dicuci, dikeringkan, lalu disemai. Dari sinilah kisah bergulir. Tiga bulan lalu saya memulainya dengan menanam 4 bibit saja, ditanam secara organik, tidak disangka semuanya tumbuh sempurna, berbunga dan disusul buah-buah yang menggemaskan.
Sejak seminggu yang lalu, ketika malam tergantikan pagi, galang tanah, saya mulai mencangkul, di sebelah para-para tadi. Tekad bulat menambah jumlah tanaman labu. Tunas-tunas mulai tumbuh, hijau dan subur. Tidak tanggung-tanggung ada 50 tunas menjelma cantik.
“Gila bener, semangat amat, ini baru jam 6 pagi!” Terdengar suara yang tidak asing di telinga saya cukup mengagetkan. Putra Ravamsa, Si Sulung dari dua bersaudara laki-laki buah hati saya tiba-tiba sudah berdiri di samping. Walau baru bangun tidur, matanya masih tetap berbinar bening, ada ada 2 gelas teh seduhan bunga rosella di atas nampan yang dia bawa. Anak ini cukup rajin, suka bantu saya ngurusin kebun di teba. Baru kelas dua SMK yang kebetulan juga dapat program ‘belajar di rumah’.
Berbekal sukses menanam 4 tanaman butternut, pagi ini kami berdua memang sudah janji untuk menanan semua bibit tanaman butternut. Bedengan yang telah ditutup plastik mulsa juga sudah terbentang dengan lubang-lubang berjejer berjarak 1 meter. Hari-hari ke depan hati kami sudah pasti akan selalu menggebu, merawat butternut. Bermain bersama tanah, pupuk organik, cangkul, selang air. Teba kami cukup luas, sekitar 60 are. Burung Sawang Ujan, Tekukur, Cerukcuk adalah teman setia kami, di sini.
Sebulan lagi, kami akan disibukkan dengan ‘ritual’ mengawinkan bunga jantan dan betina, walau sebenarnya bisa terjadi secara alami, dilakukan lebah dan kupu-kupu. Kegiatan menanam butternut ibarat menanam harapan. Bila alam merestui, sembilan puluh hari ke depan nanti harapan yang ditanam sudah bisa dituai. Seandainya setiap tanaman bisa tumbuh 3 buah saja, kami akan memiliki 150 buah butternut.
Langit cerah, sekumpulan awan melayang pelan, kami istirahat sejenak. Segelas teh rosella tandas kami minum, segar…!!! [T]
A.A. Ngurah A. Windara
- Pernah menulis di Majalah KANAKA (FakSas UNUD) th. 1987-1990
- Penulis Lepas di ‘SAHABAT PENA’ (terbitan POS & GIRO) Th. 1985
- Menulis ‘apa saja’ pada blog pribadi ‘MATA ANGIN’ : gungwin.blogspot.com (sampai saat ini)
- Script Writer di ELKOGA Radio Bali untuk berbagai program & iklan (sampai saat ini)