Sudah jadi rahasia umum bekerja di kapal pesiar mendapatkan gaji lebih besar ketimbang bekerja jadi karyawan (bidang pariwisata) di Indonesia. Dengan pendapatan sedemikian rupa mereka mampu dengan cepat membangun ataupun membeli rumah, membeli mobil, membeli segala jenis kebutuhan rumah tangga.
Dari situlah, maka para orang tua menginginkan anaknya bekerja di kapal pesiar. Harapannya tentu agar anaknya mendapatkan penghasilan lebih besar dan mampu mengisi kehidupannya lebih baik dari orang tuanya.
Namun di sisi lain, ketika sudah berpenghasilan lebih dari cukup, di situlah keinginan-keinginan muncul untuk tampil lebih baik dari teman sejawat maupun para tentangga di sekitar. Kadang ada perasaan malu sekaligus marah ketika orang-orang mempergunjingkan kehidupan para pekerja kapal pesiar.
“Kerja di kapal pesiar kok tidak mampu membangun rumah? Kalah sama yang lain. Tetangga sebelah yang kerjanya cuma pegawai kontrak saja sudah punya mobil, mengapa dia belum bisa ya? Padahal kerja di kapal pesiar.”
Banyak lagi omongan-omongan yang kadang menyakitkan hati jika dibawa perasaan.
Begitulah pandangan orang kadang menyesakkan. Kerja di kapal pesiar sudah terlanjur “macolek pamor” dianggap orang kaya. Padahal tidak semua dari mereka itu kaya. Mereka memiliki kebutuhan dan masalah yang berbeda.
Ada yang berpenghasilan tinggi hingga mampu membeli tanah bahkan rumah di kawasan elit Nusa Dua juga Canggu. Mobil mewahpun terbeli. Lain halnya bagi pekerja kelas bawah yang gajinya tidak terlalu besar. Mereka harus benar-benar mempergunakan penghasilannya dengan sebaik-baiknya.
Bagi yang masih bujang sih tidak masalah. Segala macam barang ber-merk luar negeri diborong. Baik arloji, parfum, t-shirt hingga minumah alkohol tidak jadi beban. Tapi bagi yang sudah berkeluarga, kebutuhan rumah tangga merupakan prioritas. Ditambah istri tidak bekerja dan hanya fokus mengurusi anak, mutlak gaji suami satu-satunya sumber dana bagi keluarga.
Kebutuhan rumah tangga yang sedemikian komplek perlu mendapatkan perhatian lebih berupa uang untuk memenuhinya. Jika masih ada sisa itulah yang dipergunakan untuk membangun rumah dan lain-lain. Meskipun tidak langsung jadi , perlahan tapi pasti jika tidak ada halangan pasti tercapai. Harus tahan banting dan belajar cuek menghadapi ocehan-ocehan yang tidak penting.
Para pelaut tidak akan selamanya bekerja di kapal pesiar. Perasaan waswas itu selalu ada. Setiap tindak tanduk harus selalu safetydan tidak menganggu atau merugikan orang lain. Salah sedikit bisa berakibat fatal hingga yang terparah bisa difire alias dipulangkan. Banyak aturan-aturan yang harus ditaati, dan banyak hal-hal kecil yang dianggap remeh bisa menjadi besar.
Ditambah lagi, seperti sekarang ini, ada wabah virus corona menyebabkan perekonomian melemah, termasuk para pekerja kapal pesiar.
Bekerja setiap hari tanpa day off, mengakibatkan kelelahan dan kebosanan tingkat tinggi. Dengan bersyukur dan mencari hiburan untuk mengisi kekosongan nampaknya akan meringankan rasa lelah seusai bekerja. Yang tersulit tentu menahan kerinduan akan hangatnya suasana rumah berbalut tawa canda keluarga. Di sinilah seharusnya orang-orang menaruh respect terhadap para pelaut yang bekerja jauh dari rumah demi keluarga mereka.
Salam dari samudra. [T]