Bhuta-Kala dan Dewa diciptakan bersamaan oleh Hyang Widhi. Ada kalanya Bhuta-Kala lewat “nyelang margi” (pinjam jalan), maka kita yang menepi dan mabratamengurung diri. Artinya juga kita diminta melakukan brata (menarik diri dari keramaian, puasa dan mawas diri). Kalau sudah selesai “pamargin bhuta-kala” (jalan sang kala) kita bisa keluar sebagai mana mestinya.
Di Bali, dari berabad-abad ketika Gunung Agung meletus disebut begini: “Ida makarya tur mamargi” (Beliau bekerja dan berjalan). Kalau kekuatan alam sedang bergerak, kita yang nalar dan eling yang minggir dan menepi.
Ini soal penggunaan nalar yang disebut dalam Hindu sebagai wiweka (kemampuan menimbang dengan dasar logika dan hati secara jernih).
Pada musim ombak besar, nelayan menepi. Bukan soal berani atau takut. Bukan soal kutukan Bhatara Baruna penguasa laut. Bukan karena Beliau benci nelayan, tapi beliau kasih pada nelayan agar istirahat sejenak, di rumah bersama keluarga, menepi menimbang hidup secara mendalam. Ketika ombak telah berhenti mengamuk, musim ombak telah reda, kembalilah bekerja sekuat tenaga. Ketika telah reda musim gěring (sakit) atau wabah, kembalilah keluar rumah dan menjalani hidup segigih mungkin.
Dalam teologi Hindu, tidak ada kebencian Hyang Widhi. Tidak ada kutuk. Yang ada adalah siklus. Siklus musim, siklus berbunga sampai berbuah, siklus yang membuat kehidupan dan semesta bergerak. Hyang Widhi mengatur semua siklus dan tatanan kosmik lewat kecerdasan di balik gerak alam semesta ini, disebut dengan rta. Rta adalah “kesadaran maha tinggi” yang mengatur detak jantung semesta, tarikan nafas manusia, hewan, fotosintesa tumbuhan, sampai munculnya virus dan segala jenis kuman yang hadir sebagai bagian dari kelengkapan alam semesta raya.
Covid-19 bukan kutuk. Bukan pula berkah. Ia seperti angin puting beliung yang datang tiba-tiba, ia seperti gempa yang meretak di kerak bumi. Semuanya bagian dari “keselarasan kosmik” yang diselaras dengan kekuatan rta.
Bhuta Kala atau Dewa berjalan dalam siklus. Kalender ritual Hindu mengajari siklus itu datang dan diajarkan agar pemeluk Hindu melakukan puja dan ritual sesuai siklus hidup dan siklus semesta. Dari lahir sampai kematian ada ritual untuk siklus pertumbuhan manusia, sampai akhir menutup mata ada ritualnya. Jika musim penyakit ada ritual nangluk mrana (menghalau penyakit), jika musim kemarau panjang ada doa dan pujian ke alam untuk meminta hujan. Ini bukan klenik. Ini bukan magik. Ini adalah bagaimana usaha manusia berkomunikasi dengan alam raya. Tubuh kita adalah bagian dari alam raya, Panca Mahabhuta: Tanah, Air, Api, Angin, Angkasa. Ketika kita berdoa variable zat alam dan elemen alam semesta itu bekerja meresonansi alam agar diberkati dan diselaraskan dengan resonansi doa yang kita panjatkan.
Ada hari dimana secara teologi Hindu adalah hari kurang tepat untuk menanam, berlayar, dan menikah. Semua ada logikanya karena ajaran itu hadir dari kesadaran manusia kuno atas siklus alam semesta, kesadaran akan adanya masa tanam, masa istirahat, dan masa brata menepi untuk mengkarantina diri.
Jenis brata(tarik diri, puasa dan introspeksi diri) dalam Hindu adalah satunya tan alalungayan (tidak bepergian). Artinya orang harus berdiam diri, mengkarantina diri. Ini bagian dari monabrata (puasa diam tidak bicara), total diam dan hening, memasuki diri dan memasuki jagra (awas-mawas penuh). Spirit jagra (menjaga kesadaran penuh) ini menjadi benteng diri dalam situasi kebencanaan dan dalam berbagai situasi kemanusiaan yang membutuhkan nalar dan kejernihan.
Covid-19 adalah ombak dan badai yang bergolak dan kencang bergerak. Mari menepi. Mari berhenti sejenak. Masuki diri sendiri. Tidak berhubungan dengan orang lain di masa ini. Jagradan monobrata spiritnya bisa kita pakai agar pikiran baik datang dan bisa mentransformasi situasi wabah sebagai momentum spiritual dan pendewasaan kemanusiaan kita.
Menurut Hindu jagathita(jagat damai) bukan dunia suci-hama atau dunia disinfektan yang tidak ada kuman dan nyamuk, bukan dunia yang tanpa flu atau batuk; jagathita adalah dunia nalar yang jernih dan geraknya digerakkan oleh hati yang penuh kesadaran bahwa Hyang Widhi adalah kasih yang hadir di hati kita. VASUDHAIVA KUTUMBAKAM – kita semua bersaudara, bahkan Covid-19 sekalipun dilihat sebagai “saudara” yang juga hadir di dunia sebagai bagian pelengkap kehidupan. Ketika saudara satu ini hadir, numpang lewat, mari kita minggir menepi.
Karena Covid-19 telah mewabah, apakah semua menepi?
Jika ada saudara susah terpapar Covid-19, mari ajak pula menepi, mari masukkan energi kasih pelayanan dan doa terbaik kita untuk kesembuhannya. Ini bukan kutuk. Ini bagian dari siklus hidup.
Dalam menghadapinya, secara Hindu, ada bernama vira atau wira (semangat dan keberanian menghadapi kehidupan) dan dharma (kewajiban untuk melakukan usaha menyangga kehidupan). Spirit viradan dharma inilah yang menjadi pedoman dalam menghadapi mara bahaya dan tantangan kehidupan. Termasuk ketika Covid-19 telah mewabah.
Pemimpin desa, kota, pulau, dan dunia, beserta paramedik, tentara dan polisi, semua para pelayan masyarakat dan dukungan masyarakat umum, diharapkan memegang prinsip vira dan dharma. Berani, teguh, pantang menyerah dalam menyangga kelangsungan kehidupan.
Berani menjaga hidup, menyembuhkan yang sakit, dengan ketulusan dan keberanian, dengan segala kejernihan nalar yang maksimal atau wiweka sehingga semua mara bahaya bisa segera berlalu minim korban. Inilah dharma panggilan kemanusiaan kita yang utama. [T]