Beberapa hari setelah pengumuman penutupan tempat saya bekerja untuk sementara waktu, salah satu kolega – emak-emak rempong beranak empat curhat bahwa betapa ia sangat khawatir dengan perkembangan dunia akhir-akhir ini yang disebabkan semakin meluasnya wabah virus Corona. Bahkan, Badan Kesehatan Dunia, WHO memutuskan kejadian ini sebagai pandemi global, yang artinya membutuhkan perhatian dan penanganan serius negara-negara di seluruh dunia untuk ikut serta memerangi penyebaran virus.
Dengan bahasa yang agak serius namun tetap dibumbui melodrama khas emak-emak ketika akan gibah orang, yang bersangkutan mengakui dirinya tidak bisa tidur nyenyak seperti biasanya lantaran memikirkan tentang apa yang akan terjadi pada keluarganya kelak jika wabah ini benar-benar melumpuhkan sendi kehidupan sehingga lockdown bisa jadi pilihan rasional pemerintah sebagaimana yang sudah diberlakukan di Prancis dan Italia. Ia berbicara seakan mentari tidak bersinar lagi esok. Untuk mencairkan ketegangan, dengan nada sedikit bercanda, saya katakan “mami, kalau keadaan makin gawat, saya bersedia kok menjadi relawan, mumpung jomblo, dan tidak ada yang diajak tidur”. Namun. lacur, gatot alias gagal total. Candaan saya tidak sedikitpun membuatnya bergeming, alih-alih tertawa. Pandangannya nanar dan kosong. Tubuhnya mungkin di sini, tetapi raganya mengembara entah kemana.
Tulisan ini merupakan refleksi sosial berdasarkan amatan terhadap perkembangan masyarakat, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Selain itu, tulisan ini diinisiasi dari hasil obrolan saya dengan teman sekantor di atas. Ia merupakan salah satu prototipe dari sekian banyak emak-emak di mana rasa kediriannya lebih banyak dibentuk oleh budaya tontonan cum konsumsi pemberitaan negatif dari sosial media. Sebagian dari kita atau lebih banyak lagi, mungkin saja suka membaca berita tentang orang yang terinfeksi yang jumlahnya terus meningkat tiap waktu akibat penyebarannya yang sangat eksplosif, lalu meninggal dengan atau tanpa karantina ketimbang jumlah orang yang terinfeksi namun berhasil sembuh. Atau mungkin saja lebih suka membaca komentar-komentar pesimistik warganet ketimbang pemberitaan positif yang menguatkan seperti upaya-upaya pemerintah dan dunia untuk mengurangi dampak wabah.
Konsumsi berita-berita negatif di atas pada kenyataannya cenderung membuat hati kita tidak pernah merasa damai, selalu resah, gelisah, takut dan ingin lari dari masalah. Akan menjadi sangat berbahaya bila kemudian berita negatif itu tidak sesuai dengan kenyataan lapangan. Budiman Sudjatmiko, Rocky Gerung dan Rhenald Kasali misalnya dalam beberapa kesempatan debat yang saya sempat tonton di TV One berujar bahwa berita bohong atau hoaks adalah industri pikiran yang menggiurkan di era Revolusi 4.0. Ia digerakkan oleh algoritma yang tidak memiliki hati dan jiwa. Semua golongan, kaum dungu bahkan intelek sekalipun tidak luput dari sergapannya. Menurut Rocky dan Budiman, semua berakar dari kemampuan hoaks sebagai sebuah industri pikiran telah mampu memetakan otak reptil manusia.
Namun yang lebih menakutkan, hoaks sebagai dusta sosial telah berbasis data saintifik yang akurat, yang memiliki preferensi di dalam otak reptil manusia. Otak reptil manusia itu kecenderungan menyukai kebohongan, sensasi, intrik, kebencian, rasa jijik, dan nikmat terhadap rasa takut kepada yang berbeda. Bak gayung bersambut, algoritmatisasi yang bekerja pada kecerdasan buatan yang diciptakan manusia mampu mendiseminasikan kebutuhan otak jenis ini secara presisi, sehingga sadar atau tidak, kita telah berada pada sebuah ruang yang disebut Umberto Eco, novelis sekaligus filsuf kenamaan Italia sebagai The Art of Decimation (seni penyusutan). Untuk menurunkan kadar reptilian di dalam otak manusia, maka digit kecerdasan perlu ditingkatkan melalui budaya literasi yang baik. Sampai pada tahap ini, saya mengambil kesimpulan sementara bahwa penyakit mematikan yang membunuh masyarakat secara perlahan itu bukan Covid-19, melainkan virus ketakutan yang diframing secara megalomania oleh media sosial.
Keriuhan terhadap pandemi global saat ini telah mampu dimanfaatkan dengan sangat baik oleh media sosial. One Clickbait yang lahir dari rahim seni penyusutan telah menghasilkan banyak uang. Ia lalu dipadu dengan judul-judul bombastis yang mampu membius dan menjamah rasa ketakutan kita. Apalagi jika itu berkaitan dengan masa depan yang tidak pasti. Di tengah situasi yang gawat, ada baiknya setiap informasi yang dibaca, kita saring agar tidak meracuni pikiran.
Virus ketakutan, yang telah meracuni pikiran sebagian besar orang di tengah pandemi global, saya lihat begitu agresif membagikan tulisan-tulisan intimidatif di media sosial. Merekalah yang aktif memprovokasi warganet lainnya untuk mendukung anjuran kepada pemerintah agar segera memberlakukan lockdown, sebagaimana yang telah dilakukan Cina terhadap Wuhan, Italia, Prancis, dan terbaru Malaysia. Mereka secara berantai membagikan konten-konten yang mengandung anjuran dan ajakan kepada masyarakat Indonesia bahwa jika tidak segera dilakukan lockdown, negara ini akan menuju kehancuran yang lebih parah. Istilah outbreak kadangdigunakan untuk menggambarkan situasi yag berkembang saat ini.
Bukan hanya itu, daripada mengikuti anjuran pemerintah untuk social distancing sehingga mampu mereaktualisasi hubungan dengan penghuni rumah lain, jemari mereka dengan atau tanpa sadar menyebarkan persoalan-persoalan yang justru menambah kepanikan lain seperti nilai tukar rupiah anjlok, pemerintah kurang sigap dan hanya mementingkan investasi. Khusus konten anjloknya nilai tukar rupiah yang saat tulisan ini dibuat sudah mendekati 16 ribuan per Dollar Amerika, beberapa narasi mengaitkan dengan kondisi sosial ketika tumbangnya Orde Baru, yang salah satu sebabnya krisis ekonomi. Amatan saya terhadap pihak-pihak yang menganjurkan lockdown itu, sampai pada kesimpulan bahwa mereka adalah golongan kelas menengah di mana sense of self (rasa kedirian) nya pada momen ini dibentuk oleh rezim medis politis, lalu diframing dengan virus ketakutan melalui clickbait media sosial.
Rezim medis yang saya maksud merujuk kepada pemikiran Michele Foucault tentang relasi kuasa di dalam dunia medis melalui salah satu karyanya The Birth of Clinic : An Archeology of Medical Perception (1963). Foucault, begitu dia disapa mendedah bahwa medis tidak bisa lepas dari relasi kekuasaan. Ia tidak sepenuhnya mengabdi kepada kemanusian, melainkan kecenderungan pada kekuasaan. Ketika itu terjadi, kebenaran dari medis tidak ditentukan dari kompetensi. Artinya sesuatu dikatakan benar jika ia berkuasa.
Kasus ini bisa kita temukan pada peristiwa misalnya anjloknya harga kopra Indonesia yang pernah mendunia di tahun 1920-an. Oleh karena peneliti Amerika menyatakan minyak kelapa (lengis tandusan) yang dihasilkan kopra Indonesia adalah sumber penyakit jantung dan beberapa penyakit degeneratif lainnya, masyarakat dunia dihimbau menjauhinyaa dan beralih mengkonsumsi minyak jagung yang ternyata diproduksi Barat sendiri. Selain produk kopra Indonesia yang mereka jatuhkan melalui rezim medis, ada juga produk kretek sebagai rokok khas Indonesia mengalami nasib yang sama. Akibatnya produk rokok yang mendominasi pasar dunia dan bahkan Indonesia bukan rokok kretek sebagai produk lokal, melainkan rokok Barat.
Radikalisasi teori Foucault di atas kadang digunakan pula oleh penganut teori konspirasi untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa global. Misalnya, pandemi virus yang berskala global seperti MERS, SARS dan terbaru CoV-19, akan dengan mudah disimpulkan bahwa kehadiran mereka adalah noctural bukan natural. Maksudnya, ada campur tangan manusia di dalamnya. Oleh karenanya, virus adalah bisnis yang menggiurkan, yang memberi keuntungan berlimpah bagi industri farmasi yang didominasi oleh negara-negara maju. Melalui jalan inilah mereka mampu menghadirkan hegemoni di hadapan negara-negara miskin dan berkembang. Wacana yang terjadi terhadap kehadiran virus, berlaku pula pada agenda perang. Perang Dunia Pertama dan Kedua, bahkan mungkin nanti yang Ketiga misalnya bukanlah terjadi secara kebetulan melainkan ada actor intelektual yang disebut oleh Adam Smith sebagai the invisible hands yang bekerja. Dengan demikian, kehadiran perang akan sangat menguntungkan bagi keberlanjutan industri senjata.
Pertanyaan berikutnya, siapakah golongan kelas menengah yang saya sebut di atas? Terlepas dari pembelahan ideologis pasca pilpres. Weber dalam magnus opumnya yang termashur “Ethic Protestant and The Spirit of Europe Capitalism” mengkategorisasi golongan kelas menengah ini sebagai bangsawan, bankir, pedagang kaya sekelas taoke atau taipan. Jika di-Indonesiakan, merekalah yang disebut Geertz sebagai priyayi lokal. Di era kontemporer seperti saat ini, mereka mewujud dalam diri OKB (orang kaya baru). Gramsci meradikalisasi pandangan Weber dengan istilah baru yang bernuansa kebudayaan sebagai intelektual organik. Pemuka agama, ASN, dosen, guru, dokter, perawat, dan birokrat adalah sebagian kecil dari kategorisasi yang disebut Gramsci barusan.
Sebagai wabah, penyebaran virus ini harus diakui sangat cepat. Bahkan saat dihitung dengan rumus eksponensial didapati hasil bahwa satu orang positif virus bisa menulari ribuan lainnya dalam waktu yang cepat. Kondisi ini juga didorong oleh dimensi sosial manusia yang suka berinteraksi dengan manusia lainnya.. saling bertemu, saling menyapa yang merupakan salah satu medium penularan virus. Orang yang tertular, biasanya disebut carrier yang menularkan wabah ke orang lain. Yang menjadi masalah adalah, ciri-ciri orang terkena virus ini bukan lagi yang sepertinya terlihat sakit dengan cirri-ciri yang telah viral di sosial media, bahkan yang nampak sehat setelah di tes bisa jadi positif.
Tetapi kita tidak perlu bersikap panik berlebihan. Faktanya, secara statistik, ketika pertama kali virus ini viral di Wuhan Cina, dari 11 juta penduduk Wuhan hanya 85 ribu yang terpapar atau 0,7 persen. Dari 0,7 persen yang terpapar, fatality rate nya mencapai 2,7 persen. Artinya jumlah yang sembuh lebih banyak dari jumlah yang meninggal. Kondisi yang paling serius melanda warga berusia di atas 60 tahun yang rentan terinfeksi sekaligus berpotensi mengalami kematian.
Dengan melihat kondisi di atas, daripada bersikap panik berlebihan, tetapi bukan berarti menganggap remeh, saya menganjurkan untuk berdamai dengan keadaan. Saya pikir, ini adalah pilihan yag paling rasional yang bisa dilakukan di samping juga untuk membantu pemerintah yang telah mengeluarkan anjuran dan himbauan social distancing. Hal yang bisa kita lakukan ketika berdamai dengan diri sendiri itu adalah menjaga diri jangan sampai tertular, menjaga kesehatan, terpenting mengurangi interaksi dengan melakukan self lockdown. Usaha berdamai dengan diri ini menjadi sangat penting, mengingat sebelum ditemukan vaksin yang memerlukan penelitian dan produksi massal dalam jangka waktu lama, obat yang paling mujarab yang kita miliki saat ini adalah sistem imun. Faktanya, orang yang positif Covid19 lalu dikarantina dan sembuh, bukan disebabkan oleh pengobatan khusus, melainkan karena daya tahan tubuhnya yang terus meningkat. [T]