Ini masih dalam suasana halu masa lalu. Maaf jika saya harus menyebut kata pantat. Pantat ini memang seksi dan membuat saya teringat masa-masa sewaktu Sekolah Dasar alias SD dulu. Itulah sebabnya, pengalaman tentang pantat sewaktu SD ini mesti saya tulis. Tapi tak usahlah kita membahas tentang pengertian pantat di sini. Langsung saja ke intinya.
Sewaktu kelas V SD, dan tepatnya saat mendapat mata pelajaran agama, dan lebih tepatnya materi tentang Dewata Nawa Sanga, kami mendapat tugas menghafal nama dewa, warna, arah, senjata dan uripnya. Kata guru agama, pada pertemuan berikutnya akan dipanggil satu persatu ke depan kelas untuk menghafalkannya.
Maka pada pertemuan berikutnya guru agama pun meminta kami untuk menghafalkannya di depan kelas. Sembilan orang sekaligus dipanggil secara acak untuk maju ke depan kelas. Kesembilan orang itu, termasuk teman dekat saya, disuruh membuat lingkaran, di mana satu orang berada di tengah-tengah lingkaran sebagaimana arah pada Dewata Nawa Sanga. Ditunjuklah kembali sembilan siswa itu secara acak. Misal, jika siswa itu berdiri di arah timur, maka ia harus menyebutkan nama dewa yang berstana di arah timur lengkap dengan warna, senjata, hingga uripnya.
Beberapa siswa sudah ditunjuk dan mereka berhasil walaupun agak terbata-bata. Dan tibalah giliran teman dekat saya yang ditunjuk. Saya lupa di arah mana persisnya teman dekat saya ini berdiri, namun yang pasti ia salah menyebutkan apa yang disuruh guru. Guru kami beranjak dari tempat duduknya, mendekatinya, dan memintanya untuk mengulang lagi. Ia masih tetap saja salah.
Tanpa perkiraan kami semua, tiba-tiba guru agama kami menendang pantat teman dekat saya itu. Ia yang bertubuh paling kecil di kelas—kini sudah lumayan berisi—terlonjak dan bergeser dari posisinya semula. Seisi kelas pun dipenuhi gelak tawa melihat kejadian itu. Sementara teman dekat saya diam saja.
Namun, saat itu jelas ia tak berani mengadukan tendangan pada pantat itu pada orang tuanya di rumah. Jika bernai mengadu ke orang tuanya, bukannya gurunya yang dicari ke sekolah dan dibawakan sabit, namun dia sendirilah yang kena semprot di rumahnya dan bisa-bisa dihukum tak diijinkan bermain ke luar rumah.
Itu baru cerita pertama. Ada lagi cerita kedua. Ini pengalaman saya sendiri.
Setiap pagi sewaktu SD usai melantunkan Puja Tri Sandya, akan dilanjutkan dengan Senam Kesegaran Jasmani (SKJ). Musiknya asik. Pada suatu ketika—saya lupa kelas berapa saat itu—saat masih dalam suasana senam, tiba-tiba di atas sekolah kami ada helikopter terbang rendah. Suaranya keras bahkan nyaris mengalahkan suara musik SKJ. Hampir semua dari kami pun lebih tertarik mendongak ke atas melihat helikopter ketimbang mengikuti alunan musik senam.
Saat sedang asik melihat helikopter, tiba-tiba ada kaki mendarat ke pantat saya. Saya terkejut dan menoleh, eh, ternyata guru agama yang menendang pantat teman dekat saya. Cepat-cepat saya ikuti kembali alunan musik senam itu. Tak hanya saya, beberapa teman di sekitar saya pun kena tendangan pada pantat karena telat menyadari kehadiran guru itu. Konyol memang.
Masih ada satu cerita lagi tentang pantat. Dulu saya adalah anak nakal—sekarang sudah tobat dan menjadi lelaki baik-baik—dan suka melawan jika diperingatkan dengan kata-kata. Maka jika kesabaran orang tua saya habis, dikejarlah saya dengan membawa sapu lidi, atau kadang pelepah pisang, dan kadang juga tangkai daun kelapa.
Jika tak terkejar, saya bisa bernafas lega, dan kadang mengolok-olok dengan menjulurkan lidah. Namun jika apes, pantat saya pun jadi sasarannya. Pantat saya dipukul dengan sapu lidi atau pelepah pisang atau tangkai daun kelapa. Saya pun menangis dan untuk hari itu kapok.
Kini, mengingat pantat memang membuat saya senyum-senyum sendiri. Tapi kadang juga konyol dan malu. Kadang juga ingin tertawa lepas. Ah pantat, kau membuat hidupku terasa kayak nano nano.
Itulah cerita saya tentang pantat, apa kamu punya cerita lain tentang pantat? [T]