Jayaprana adalah kisah cinta. Kisah cinta yang bernuansa elegis. Kisah cinta pedih dan tragis. Kisah cinta yang membuat air mata bercucuran dari pelupuk mata. Karena dalam kisah cinta ini diceritakan dua insan memadu kasih. Tetapi, kasih yang berpadu dalam tasik dua hati hancur luluh karena direnggut. Direnggut dengan cara direbut. Direbut oleh tangan penguasa. Direbut dengan tipu daya yang dirancang dengan matang. Sehingga tak kelihatan sebagai gerakan merebut dari tangan sang pemilik cinta yang bernama Jayaprana. Sehingga tidak tampak sebagai taktik licik yang lahir dari hati keji. Sehingga tak terlihat sebagai strategi merenggut dengan meniadakan Jayaprana.
Tipu daya yang dirancang dengan matang ini, diupayakan agar menimbulkan kesan: Jayaprana gugur di medan laga. Jayaprana gugur sebagai kusuma bangsa. Cinta yang dimiliki Jayaprana yang bernama Layonsari, sangat pantas dipinang sang penguasa setelah Jayaprana pergi ke Sorga loka. Kesan ini, pastilah berimplikasi pada opini yang tercipta di masyarakat. Opini dimaksud: Sang penguasa meminang Layonsari pastilah ingin menjamin keberlangsungan hidup Layonsari. Dan ini minat mulia yang lahir dari hati yang suci. Bukankah Jayaprana disayang sang penguasa?
Tipu daya ini, adalah gambaran konkrit. Sejak dulu, penguasa yang ada di singgasana kekuasaan, menghalalkan segala cara bila ingin mendapat sesuatu. Penghalalan segala cara ini dilakukan dengan wajah dingin dan mengabaikan yang namanya dosa. Dosa, sebagai konsekuensi dari perbuatan tak bermoral dianggap tak pernah ada tertera di kamus hati nuraninya.
Penghalalan segala cara ini, menunjukkan tangan penguasa yang bertahta di singgasana kekuasaan, adalah tentakel dahsyat yang bisa merenggut apa pun, kapan pun dan di mana pun. Merenggut tanpa ampun. Tanpa pandang bulu. Tanpa tebang pilih. Tidak pandang kawan, sahabat atau keluarga.
Penghalalan segala cara ini, menunjukkan tangan penguasa yang bertahta di tahta kekuasaan adalah kekuatan mutlak dan absolut. Tidak bisa dihalangi begitu bergerak merenggut segala yang diinginkan pemiliknya. Apa pun, siapa pun tidak berani berdiri menghalangi. Sebab, selain kematian, tak ada akibat lain yang diterima.
Pada kisah Jayaprana ini kita mendapat contoh nyata: sejak dulu sudah ada penguasa yang duduk di singgasana kekuasaan bermental rakus. Tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki. Karena tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimiliki, milik orang lain pun ingin dimiliki. Dimiliki dengan cara tak wajar tetapi dilakukan dengan tindakan seolah tampak wajar.
Pada kisah Jayaprana ini kita diingatkan, agar senantiasa waspada pada penguasa yang bertahta di singgasana kekuasaan. Senyumnya yang menawan, sikapnya yang santun, bisa saja menyimpan taktik tersembunyi. Tanpa diketahui, tiba-tiba menikam dari belakang. Kata-katanya yang manis, tidak mustahil penuh racun mematikan, yang suatu waktu bisa disemburkan dan dibentuk menjadi rancangan untuk membunuh dengan cara halus dan tidak kasat mata serta tak terlihat dengan nyata.
Pada kisah Jayaprana ini, kita diingatkan agar tidak percaya penuh pada penampilan sang penguasa yang bertahta di singgasana kekuasaan. Penampilannya yang mempesona, bisa saja merupakan akting pencitraan diri yang melenakkan. Tetapi, tidak muskil, tiba-tiba menghantam dengan godam.
Walau demikian, Jayaprana bukan kisah yang secara tersurat atau tersirat mengamanatkan: agar kita pobi atau membenci semua penguasa yang bertahta di tahta kekuasaan. Agar menjauhi penguasa yang bertahta di singgasana kekuasaan. Agar beranggapan penguasa yang bertahta di singgasana kekuasaan adalah pengidap megalomania yang parah. Pun agar menganggap, penguasa yang bertahta di singgasana kekuasaan manusia berwatak raksasa yang culas dan keji serta licik.
Jayaprana bukan kisah yang terkategori memunculkan kebencian. Kebencian yang memunculkan minat meniadakan. Tetapi kisah yang menyadarkan kita, agar selalu ingat dan waspada. Agar tidak percaya pada penampilan luar. Sebab, penampilan, bisa saja selaku pembungkus nafsu negatif yang diperam. Yang bila saatnya tiba, diletuskan menjadi sarana penghancur.
Sekaligus kisah yang menyadarkan, bahwa kedekatan, belum menjamin keberlangsungan persahabatan atau persaudaraan langgeng. Belum menjamin pula melangkah seiring sejalan kekal abadi. Bisa saja, tanpa diduga minat jahat timbul di hati salah satu pihak. Dan, tanpa diduga, diejawantahkan menjadi tindakan amoral yang brutal dengan mengenyampingkan resiko yang muncul sebagai ganjaran dari apa yang dilakukan. [T]