Hari Raya Nyepi makin dekat, persiapan perayaan Hari Raya Nyepi, terutama berkaitan dengan pangerupukan yang nanti disertai pengarakan/pawai ogoh-ogoh telah dilakukan sejak bulan Januari.
Diskusi, dan debatpun ramai dilakoni kalangan cerdik pandai. Makna Nyepi yang sepi jadi ramai oleh pendapat dan tulisan di media massa dan media sosial. Dalam sepi ternyata ada keramaian dan dalam keramaian tersisa rasa sepi. Karena konon dari sepi, akan terlahir pikiran-pikiran cerdas dan bermanfaat.
Seperti halnya sepi yang diciptakan seekor belalang [balang sumbah (bahasa bali)] untuk melepaskan dirinya dari cangkang, untuk memulai kehidupan baru. Mungkin kita bisa belajar dari seekor belalang agar benar-benar bisa memaknai Hari Raya Nyepi, sebagai hari baru dengan kehidupan baru.
Belalang dan perayaan Nyepi memang tak bisa dipisahkan. Dalam salah satu banten Tawur Kasanga dalam tradisi di Kesiman Denpasar, ada persembahan yang menggunakan belalang, keong sawah (kakul) dan lain-lain. Tradisi ini membuat saya mengenal belalang di masa kecil.
Ingatan saya pada belalang masih terbawa sampai remaja dan dewasa,, walaupun binatang ini sangat jarang saya temukan di perkotaan. Tapi kini, sejak halaman rumah saya dipenuhi berbagai tanaman, belalang jadi biasa saya lihat, bahkan banyak memberi pelajaran yang mencengangkan.
Bahwa belalang itu “makules” atau berganti kulit seperti halnya ular, baru saya tahu. Yang belakangan saya ketahui adalah bahwa berbeda dengan ular, maupun kupu-kupu yang meninggalkan kulit atau kepompongnya, beberapa belalang saya lihat ternyata memakan kulitnya, sehingga kulit dan tubuh barunya yang tadinya berwarna hijau muda dan agak lembek menjadi menua dan mengeras.
Kemampuan belalang dengan mulus berganti kulit bagi saya sungguh sesuatu yang mengagumkan, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab, tentang bagaimana melepaskan badan tanpa rasa sakit yang sangat, darimana proses itu bisa dimulai?
Mungkin lebih dari setahun pertanyaan itu tersimpan. Kini menjelang perayaan Nyepi seekor belalang seperti memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya. Di hadapan saya dia seperti memperagakan sebuah proses melepaskan diri dari ikatan cangkangnya. Kedua cangkang kakinya yang lurus mencengkram kuat ranting pohon, tubuhnya bergayut ke bawah.
Kedua tangan depannya dilepaskan, diputar ke ketiak, dicakupkan dan dipakai merobek cangkang punggungnya. Kepala dan seluruh bagiannya ditekuk, ditarik ke belakang dikeluarkan semuanya termasuk kedua antena yang panjang dan lentur. Padang saat semua bagian kepala sudah berada di luar, kemudian dalam sikap tenang seperti tanpa bernafas, tubuh belalang meluncur ke bawah melepaskan sayap dan badannya.
Hanya kaki yang bergayut, yang bisa ditekuk dan diluruskan yang dilepaskan terakhir satu persatu dengan pelan. Sehingga akhirnya terlepas semuanya. Waoo, sebuah pelajaran yang bermakna dan bermanfaat dalam usaha mendapatkan sepi di tengah hiruk pikuk kemelekatan.
Sebagai manusia mungkin kita tidak bisa berganti kulit atau cangkang seperti belalang, tapi kita mungkin bisa belajar dari belalang untuk mengganti atau melepaskan ikatan dalam kehidupan kita untuk meraih kehidupan baru.
Dan Hari Raya Nyepi adalah sebuah momentun yang telah disediakan oleh leluhur Bali untuk mengupayakan kehidupan baru. Belajar dari belalang itu, mungkin yang pertama harus kita lepaskan adalah mencari pijakan kaki yang kuat untuk bisa diam dan hening. Merobek bagian bawah leher kita atau ujung tulang belakang yang menopang keangkuhan kita. Mengeluarkan kepala dengan semua bagiannya termasuk pikiran, mata, telinga, hidung dan antena sebagai radar dan cara pandang.
Setelah itu yang kita perlukan hanya kepasrahan untuk bisa meluncur ke luar dari semua ikatan. Dan, kaki, langkah kaki yang menciptakan jejak juga harus kita lepaskan, agar bisa benar-benar terbang menjalani kehidupan baru, di hari yang baru. Rahajeng Hari Raya Nyepi. [T]