15 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Raja Buduh (Gila) di Bali, Jangan Anggap Enteng…

Sugi LanusbySugi Lanus
March 5, 2020
inEsai
Raja Buduh (Gila) di Bali, Jangan Anggap Enteng…

Ilustrasi: Nana S Partha

1.7k
SHARES

Panggung akan kosong, adem-ayem, kalau tidak ada raja buduh (raja gila). Pementasan drama gong tidak akan bisa berjalan tanpa raja buduh.

Raja Buduh disoraki sekaligus diam-diam ditunggu. Bahkan pukau dan tepukan penonton akan lebih bergema ketika raja buduh masuk panggung, ketika tingkah polah pongah dimulai di atas panggung. Penonton dibuat geregetan, sekaligus, jika raja buduh dicoret dari panggung, pasti ditunggu dan dirindu.

Raja Buduh adalah peran antara: Ia hadir diantara kevakuman panggung yang menunggu hadirnya Raja Bagus (Raja Sejati).

Persoalannya: Bagaimana jika tiada kunjung tampil si raja sejati? Mungkin sakit perut, atau demam kebanyakan makan lawar dan urutan? Atau hang over kebanyakan arak dan tuak lau? Mungkin nervous dan ketug tidak bisa tampil, tidak siap melihat panggung, atau demam mendadak diserang Coronavirus?

Raja buduh hadir mengisi ruang jeda, sebagai pemenuhan harapan diam-diam di hati penonton, di dalam situasi ketidakpastian atau situasi chaos.

Chaos, jika kita simak teorinya, adalah keadaan sistem dinamik yang situasinya terganggu, penyimpangannya yang acak seringkali diatur oleh hukum deterministik, terkait kondisi awal. Chaosadalah dimana situasi dalam situasi acak, atau keacakan, acak-acakan, situasi nyata dari sistem yang kacau, ada semacam pola yang mendasari, situasi yang penuh saling keterkaitan, ada keadaan umpan balik konstan, semacam ada pengorganisasian diri sendiri di baliknya.

Jika panggung vakum atau acak, atau perlu makin dibuat acak, agar situasi ada yang mengisi sebelum muncul ketenangan, agar tidak melempem dan jenuh, sang sutradara biasanya mengirim tokoh kontraversial yang di Bali kita kenal sebagai Raja Buduh.

Raja Buduh adalah maskot dalam situasi menunggu.

Sering terjadi situasi menunggu alias antara dalam pemanggunggan. Menunggu entah apa yang akan muncul. Menunggu entah apa yang jadi polah tingkahnya yang harus ditelan penonton.

Kesiapan apa yang diperlukan penonton ketika Raja Buduh masuk panggung?

Penonton harus siap mengusap dada. Penonton harus siap menggerutu kecewa. Penonton harus siap menerima tontonan panggung apa adanya, tanpa berdaya, tiada kuasa untuk melempar handuk tanda tidak setuju. Penonton harus siap berkompromi dengan Raja Buduh yang sedang memegang alur dan jalan cerita. Penonton harus siap menghadapi dilema dan tutup mata (dan tutup telinga) apakah yang dipidatokan Raja Buduh mengandung kebenaran atau sekedar busa-busa kata yang menggelumbung ke udara, lalu meletus tanpa jejak.

Penonton tidak punya hak menuntut pada Raja Buduh pada isi kebenaran omongan si Raja Buduh. Bahkan, maaf, jika Raja Buduh kentut di atas panggung, penonton harus siap menikmatinya sebagai bagian dari pementasan. Bisakah penonton melarang?

Atau…

Kalau terlalu bosan dengan polah raja buduh yang kelamaan berputar di panggung, dan raja sejati tidak muncul kelamaan di balik kelambu, bersolek mengulur waktu bagai ABG tidak berani keluar, penonton harus siap meninggalkan alun-alun. Dan atau? Memaksa raja sejati keluar. Pertanyaannya: Adakah Raja Bagus (raja sejati) dipaksa masuk panggung oleh penonton?

Paling celaka adalah ketika penonton tidak tahu kalau Raja Buduh sudah dikira raja sejati. Penonton kagetan atau penonton terlambat yang tidak kenal pemain drama gong bisa tertipu seperti ini. Penonton seperti ini bisa jadi penonton yang tidak tahu panggung pementasan apa yang sedang tampil di atas panggung.

Ada punya penonton yang suka ngantuk di alun-alun, tidak sadar kalau Raja Buduh dikira raja sejati di tengah pementasan, sampai ujung pementasan pun tidak tahu karena terkantuk ketiduran. Penonton seperti ini dianggannya terselip, sampai esoknya terbangun, bahwa Raja Buduh itulah ada raja sejati, sampai akhir pementasan, bahkan sampai seumur hidup tidak mendapat kejelasan tentang apa yang terjadi.

Bayangkan jika ada Raja Buduh yang lebih elegan dan mampu berteater melebihi raja sejati. Tutur katanya meyakinkan. Penampilan dan tongkrongannya lebih memukau dari raja darah biru paling biru selangit biru?

Bayangkan jika Raja Buduh naik joli yang lebih mewah dan penuh regalia tanda-tanda kebesaran raja yang tertata dan seremonialnya lebih raja dibandingkan raja-raja yang terlambat datang dan telat berdandan asal-asalan tampil di panggung dengan pakaian ketinggalan di rumah atau tidak dipakai memadai di atas panggung?

Bayangkan jika ada Raja Buduh lebih ganteng daripada raja yang konon sejati tapi kusam dan nervous, demam panggung berhadapan dengan sambutan penonton di alun-alun kerajaan?

Bayangkan jika ada Raja Buduh lebih mampu berdebat dan berorasi di depan publik penonton dibandingkan raja darah biru selangit biru yang hanya terdiam seribubasa di pojokan, modalnya hanya mengandalkan garis silsilah dan cicin pusaka serta keris leluhur yang telah kehilangan tuah?

“Paman patih, tidak ada yang perlu diragukan. Jika ada orang aneh bin cupu muncul di panggung mengaku raja, panggil dia. Ajak adu debat denganku. Ajak tarung pamor denganku: Siapa yang mampu mengumpulkan kerumunan lebih besar, maka ia raja yang sejati?”, demikian kira-kira tantangan yang diujarkan meyakinkan oleh Raja Buduh.

Bayangkan jika ada Raja Buduh yang kata-katanya dieja dengan fasih dan lincah. Wajahnya bersih dan tumitnya licin. Ia didampingi bukan oleh satu dua paman yang bertindak sebagai patih, tapi gerombolan pengawal muda ganteng yang bersih dan tegap, saudari-saudari terdidik berias molek dan jelita, dan dayang-dayang yang siap perintah paduka raja.

Sayangnya, belum ada sutradara drama gong yang nyetrik di Bali yang memenangkan Raja Buduh di atas raja sejati. Padahal, di dalam catatan sejarah masa silam, sebut saja Ken Arok, dia menumbangkan Akuwu Tumapel, dan mengangkat dirinya sebagai raja. Ken Arok yang masa lalunya sebagai pendosa alias bromocorah, yang meresahkan warga dengan kelihaiannya mencuri dan menguasai tipu sana tipu sini di kampung-kampung, dari garis darahnya yang samar-samar dan abu-abu bahkan diragukan kejelasannya ia anak siapa: Ia menyulap masa silamnya menjadi pendiri silsilah raja-raja Jawa.

Sayangnya, belum ada sutradara drama gong di Bali yang mampu membuka mata penonton bahwa bisa jadi Raja Buduh lebih efektif dikirim sebagai duta kerajaan dalam berdiplomasi karena jurus buduh-nya tidak bisa ditebak dalam diplomasi, yang umumnya standar dan mudah ditebak? Lagi pula, belum ada sutradara yang berani mengetengahkan di atas panggung Raja Buduh sepanjang pementasan, tanpa susah payah mencari raja sejati. Toh, penonton bisa jadi lebih menikmati jumpalitan dan maneuverpolitik Raja Buduh dibandingkan kehadiran raja-raja waras yang tidak bernyali dan hanya bisa menunjukkan cincin permata emas manik manikam sekalipun berkilau berkilo-kilo tersimpan di gedong berkilau prada.

Ken Arok adalah tokoh Raja Buduh yang dalam panggung sejarah Jawa telah membuktikan bahwa silsilah tidak lebih penting dari nyali. Ken Arok membuktikan bahwa nama besar orang tua, kejelasan babad dan silsilah, tidak menjadi persyaratan mutlak mendirikan dinasti.

Ken Arok membuktikan bahwa Raja Buduh bisa menformat ulang dan reset factory sebuah mekanisme lama yang hanya berurusan dengan darah, bukan berbasis kapasitas personal yang adaptif dan aktif menjawab tantangan zaman.

“Paman patih… Jika ada orang membawa cincin kuno datang dan mengaku dia berdarah biru, paling biru, lebih biru dari laut biru, apakah paman langsung percaya? Tidakkah ia harus adu nyali dan adu debat, adu pukau dan adu wibawa?”, demikian kira-kira tandangan siRaja Buduh.

Raja Buduh melanjutkan: “Jika aku yang dicintai di panggung ini, jika akulah yang ditunggu penonton di alun-alun ini, dan penonton tidak berharap menunggu kehadiran sosok lain yang pongah ngaku-ngaku berdarah biru, tidak mampu berucap apapun di hadapanku, lalu apa gunanya kehadirannya? Lihatlah, paman, penonton tidak sedang menunggu sosok siapa yang akan datang ke atas panggung. Penonton menikmati dan menunggu gerak-gerikku, penonton mengharapkan kejutan-kejutan besar dalam gerak dan cakapku. Mereka tidak menunggu sosok yang lain. Mereka telah puas dengan kehadiranku.”

Dalam sejarah seni Drama Gong di Bali ada sosok Raja Buduh yang sangat populer bahkan bisa dikatakan lebih populer dibandingkan dengan pemeran raja-raja waras atau raja bagus lainnya. Namanya: I Gede Yudana. Almarhum sangat dicintai penonton. Perannya bisa dikatakan paripurna. Dibenci dan dirindu. Disoraki dan ditawai. Dihujat dan dipuji. Ia adalah salah satu pemain drama gong terhitung paling tenar di zamannya. Ia adalah sosok favorit dalam kesenian yang paling digemari di masyarakat Bali pada masanya, di tahun semenjak akhir 1970-an sampai 1990-an. I Gede Yudana tumbuh bersama pemain-pemain drama gong lainnya seperti: Luh Mongkeg, Petruk, Dolar, Gangsar, Gingsir, Lodra (raja bagus/raja sejati), dkk.

Grup Drama Gong Bhara Budaya bisa dikatakan tidak bisa gerak tanpa kehadiran Gede Yudana. Setiap panggung menunggu celoteh dan keterampilannya dalam memenangkan hati penonton. Panggung-panggung penuh dan banyak yang harus loncat pagar atau naik pohon menunggu Gede Yudana beraksi di atas panggung. Kegilaannya telah membuatnya jadi idola.

Sebagai Raja Buduh, Gede Yudana bermain dalam ruang kejengkelan dan kejenakaan, dipadukan dengan taksunya yang membuat orang menyorakinya, tapi memujanya setinggi-tingginya pencapaian sosok seniman. Penonton terlena, dihipnotis dengan kehadirannya, diajak tertawa terpingkal-pingkal, mengejek penuh cibir, mangkel dan jengkel, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena kepiawaiannya membolak-balik perasaan penonton dengan kata-katanya yang ditembakkan ke udara seperti kembang api penuh warna.

Gede Yudana telah memberikan bukti bahwa peran paling terhormat di panggung drama gong bukanlah raja bagus atau raja sejati. Karena diperankan dengan taksu yang penuh pukau dan cerdik, sosok raja buduh yang diperankan Gede Yudana telah membuat raja buduh jadi sosok favorit yang dinanti-nanti. Seandainya Lodra (pemeran raja bagus atau raja sejati) dari Grup Drama Gong Bhara Budaya berhalangan hadir, rasanya panggung tetap akan penuh dikunjungi penonton dengan cukup kehadiran Gede Yudana; Raja Buduh mentas solo-run sendiri dari awal pementasan sampai ujung, tanpa raja sejati.

Di dunia seni Drama Gong di Bali,Raja Buduh yang ternama ini tidak tersaingi oleh sosok lain, pamornya bersinar sampai mengembuskan nafas terakhir, 16 Januari 2010 sekitar pukul 21.30 Wita, di RSUP Sanglah, berpulang karena sakit.

Setelah berpulang, ia amor tapi monumental, para penggemarnya tidak pernah melupakannya. Ia sosok legenda dalam sejarah (kesenian) Bali.

I Gede Yudana, sekali lagi, telah memberikan bukti terbalik bahwa tidak ada jaminan peran sentral dan paling terhormat di panggung drama gong adalah raja bagus (raja sejati). Raja Buduh jika diperankan dengan total akan berbalik menjadi pusat pementasan. Bayangkan jika tidak ada Lodra ketika itu…

Jangan pernah anggap enteng kemunculan Raja Buduh. Ia bisa tampil menjadi sosok legenda, sosok monumental yang dibenci sekaligus dirindu, yang dicibir habis tapi sekaligus tidak henti-henti digossipkan serasa tiada lengkap pertemuan dengan teman-teman tanpa mengossipkannya.

Jangan pernah anggap enteng kemunculan sosok Raja Buduh, karena: Kalau diperankan secara total ia akan mampu membolak-balik perasaan Anda. Ia akan membuat Anda hanya bisa mengeluh, mengusap dada, mangkel di tempat, sementara panggung dikuasainya sampai akhir pertunjukan. Dan Anda? Tidak mampu berbuat apa-apa. Paling hanya bisa mesem-mesem. [T]

Tags: drama gongPolitikrajaRaja BuduhRaja Gila
Previous Post

Laporan Pentas “The Seen and Unseen” dari Australia [4] – Pentas Terakhir Sebelum Pulang

Next Post

Puisi, Memoar, dan Kisah-Kisah yang Tak Terungkapkan

Sugi Lanus

Sugi Lanus

Pembaca manuskrip lontar Bali dan Kawi. IG @sugi.lanus

Next Post
Puisi, Memoar, dan Kisah-Kisah yang Tak Terungkapkan

Puisi, Memoar, dan Kisah-Kisah yang Tak Terungkapkan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

by Hartanto
May 14, 2025
0
‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris...

Read more

Menakar Kemelekan Informasi Suku Baduy

by Asep Kurnia
May 14, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

“Di era teknologi digital, siapa pun manusia yang lebih awal memiliki informasi maka dia akan jadi Raja dan siapa yang ...

Read more

Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 13, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co