- Judul: Hari Kedua Puluh Sembilan di Bulan April – Kumpulan Puisi
- Penulis: Ida Ayu Wayan Sugiantari
- ISBN: 978-623-7220-43-5
- Penerbit Mahima Institute Indonesia
- Cetakan Peratama: Maret 2020
Apa sesungguhnya puisi dan mengapa sampai detik ini kita tak pernah benar-benar selesai membahasnya, menulisnya, mengungkapnya, atau bahkan menyudahinya. Puisi seperti terus lahir setiap detik, setiap menit, setiap langkah dalam jutaan kepala manusia, dalam setiap yang terungkapkan dan yang tak terungkapkan. Sepahit dan sesulit apapun, puisi tetap ada. Serumit dan sekacau apapun, puisi harus tetap ada. Selega atau sebahagia apapun, puisi tetap ada. Puisi ada karena kita adalah manusia. Dengan kata lain, kita bukan meja. Bukan kursi. Bukan besi tua.
Dalam film Dead Poets Society (1989) yang ditulis naskahnya oleh Tom Schulman dan diadaptasi ke novel oleh N.H Kleinbaum, disebutkan:
“We don’t read and write poetry because it’s cute. We read and write poetry because we are members of the human race. And the human race is filled with passion.“ (N.H Kleinbaum in Dead Poet Society)
Terjemahannya:
Kita tidak membaca dan menulis puisi karena itu manis. Kita membaca dan menulis puisi karena kita adalah anggota dari ras manusia. Dan ras manusia diisi dengan gairah.
Demikianlah puisi menjelma menjadi apa saja. Dia bisa menjelma kisah tentang apa saja; rambut, kuku, darah, anjing, cinta, sunyi, putus asa, kematian, harapan, atau apapun. Yang belum atau tak pernah terungkapkan. Puisi hadir di mana-mana, kapanpun, dan dalam situasi apapun. Puisi mengepung kita tanpa ampun. Seperti udara, seperti virus.
Puisi hadir sebagai latar, sebagai tujuan, sebagai luapan, ungkapan, atau media. Puisi ada karena jika ia tidak dituliskan, maka sejarah manusia akan kehilangan makna. Maka bukti bahwa manusia pernah ada, tak ada.
Mengapa. Sebab puisi adalah catatan paling jujur. Puisi adalah jurnal. Memoar. Monumen. Ingatan. Masa lalu. Masa kini dan nanti. Masa di sela-sela itu semua!
Puisi-puisi Ida Ayu Wayan Sugiantari, atau biasa dipanggil Dayu Sugiantari, melukiskan itu semua. Sebagai puisi, ia adalah ungkapan makna yang mewakili peristiwa, ia adalah jurnal ingatan, jurnal perasaan, jurnal perjalanan batin, jurnal kebangkitan. Tentang yang belum terungkapkan. Yang belum sempat ditawarkan atau dikemukakan.
Dayu bukan hanya mengumpulkan metafora, namun menguasai metafora untuk menghasilkan daya ungkap perjalanan hidupnya. Sebab jika bukan dia, siapa lagi yang mengungkap kisahnya.
Puisi tidak hanya hadir sebagai tumpukan kata-kata namun mewakili peristiwa yang menandai perjalanan Dayu sebagai seorang ibu, istri, perempuan, pendidik, dan penyair.
Dia tidak terjebak pada metafora, namun menggunakan metafora untuk daya ungkap idenya. Perjalanan puisi yang ia mulai sejak SMP, SMA lalu mati suri lalu bangkit lagi membuat dia cukup matang sebagai penyair.
Ia merindukan semua puisi ini tumbuh lagi dengan subur. Namun ia ragu pada kemampuannya menyuburkannya.
Seperti pada cuplikan puisi ini
Aku menanam tiga potong puisi
di kebun belakang rumahmu
tak pandai menakar cuaca
satu puisiku mati di dua hari pertama
Di akhir musim,
puisiku tumbuh diam-diam di tubuhmu
Kita dapat merasakan seperti apa rasanya menanam puisi dengan hati lalu ia mati, atau menanam puisi di kebun, tapi tumbuh di tubuh. Kebun dan tubuh, kedua-duanya bisa tumbuh, bisa luruh. Dimanapun puisi bisa menjadi atau mati.
Kita bisa merasakan betapa asingnya rasa ini.
Kita seperti tak perlu menanam apa apa jika tak pandai menakar cuaca. Apa yang kita tanam bisa jadi berbuah di tempat yang salah. Atau berbuah tapi tak memiliki arah. Semacam sia-sia yang abadi.
Begitulah puisi tercipta. Kita mengabadikan apa yang tak abadi. Seperti membuat monumen yang kelak kita hancurkan sendiri. Atau hancur di kepala yang membacanya.
Seperti judul puisinya “Apakah Engkau Memang Mudah Dilemahkan oleh Puisi?”
Kita tidak sedang bicara soal kalah menang. Kita bicara soal manusia yang berkali kali kalah namun merasa menang.
Barangkali. Kita hanya setumpuk puisi yang akan musnah oleh waktu sekejap. Tapi jika tak ada puisi, siapa yang mengingat kekalahan kita. Apakah kekalahan tidak boleh tercatat?
“Bukan Kamu, Ternyata Aku yang Dilemahkan oleh Puisi”
Adalah jawaban atas pertanyaan yang dia ajukan sendiri.
Jadi perang ini antara siapa?
Tidak ada jawabnya. Tapi paling tidak, kita sudah menyumbang puisi. Seperti yang dikatakan Walt Whitman dalam puisinya “O Me O Life” sebagai berikut.
That you are here – that life exists and identity,
That the powerful play goes on, and you may contribute a verse.
Bahwa kamu disini, ada dan berarti. Drama yang hebat terus berjalan, dan kamu bisa menyumbang sebuah puisi.
Sebuah puisi… [T]
Singaraja, 4 Maret 2020
Pukul 00:43