Esai ini meraih Juara 1 dalam Lomba Esai Kategori SMA/SMK Menyongsong HUT ke-36 Peradah Indonesia dan HUT ke-816 Kota Bangli yang diseselenggarakan DPK Peradah Bangli, 2020
____
Bangli merupakan kabupaten yang terkenal dengan keanekaragaman tradisi dan budayanya yang sudah terkenal hingga ke mancanegara. Bangli ternyata mempunyai banyak keunikan tersendiri dibidang tradisinya, sebagai contoh penguburan jenazah di Desa Trunyan yang sudah berlangsung dari dulu hingga sekarang.
Desa Trunyan (Desa Bali Aga) adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Trunyan terletak di dekat Danau Batur. Desa ini konon penuh dengan kisah mistis dan diselimuti berbagai misteri. Lebih mengerikan lagi kita bias melihat jenazah tergeletak begitu saja di pemakaman desa ini.
Di areal pemakaman terdapat sebuah pohon yang mengeluarkan bau harum. Pohon tersebut adalah pohon Taru Menyan yang umurnya ditafsirkan sudah mencapai ratusan tahun. Dalam mitos masyarakat setempat di kisahkan, bau harum Taru Menyan memancing Ratu Gede Pancering Jagat mendatangi tempat tersebut. Di sekitar pohon-pohon Hutan Cemara Landung, beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit (Ratu Ayu Dalem Dasar).
Mereka kemudian menikah dan disaksikan oleh penduduk Desa Hutan Landung yang sedang berburu. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak penduduk Desa Cemara Landung untuk membuat desa yang bernama Taru Menyan dan lama kelamaan terkenal menjadi Trunyan, itulah asal kata Trunyan.
Populasi Desa Trunyan kira-kira 200 kepala keluarga. Desa Trunyan menganut perkawinan Patrilineal. Mereka adalah para penduduk asli turun temurun (bukan penduduk pendatang). Maksudnya, apabila ada perempuan menikah dengan orang luar, maka ia tidak lagi tinggal di desa itu dan menjadi orang luar. Apabila yang lelaki menikah dengan orang luar dan bersedia mengikuti adat istiadat desa setempat, maka ia dapat tingga di sana.
Ketika mendengar kata Trunyan, mungkin yang tersirat di dalam benak kita adalah sebuah desa yang berbau mistis. Hal ini dikarenakan oleh pengetahuan yang terpatri didalam pikiran adalah kebudayaan mengenai upacara kematian yang terdapat di desa tersebut. Peletakan jenazah yang terbaring di atas tanah (tanpa di kubur) membuat aroma mistis begitu kental.
Tetapi semua itu hanyalah bagian dari tradisi penduduk setempat yang dilaksanakan secara turun temurun dengan berlandaskan agama dan keyakinan. Upacara kematian di Desa Trunyan memang sedikit berbeda dengan daerah-daerah lain pada umumnya yang terdapat di Bali. Jenazah disemayamkan diatas tanah yang arealnya sudah dibatasi dan di areal tersebut terdapat sebuah pohon besar yang seakan-akan menyerap aroma jenazah agar tak menyentuh indra.
Pohon yang dimaksud adalah pohon Taru Menyan, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pohon itulah cikal bakal nama Desa Trunyan. Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan masyarakat Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang- orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
- Meletakkan jenazah di atas tanah terbuka yang disebut dengan istilah Mepasah. Jenazah yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada saat meninggalnya adalah orang-orang yang telah berumah tangga atau orang-orang yang masih bujangan serta anak kecil yang telah tanggal gigi susunya.
- Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat meninggal terdapat luka yang belum sembuh, seperti misalnya penderita penyakit cacar, lepra, dan sejenisnya.
Orang-orang yang meninggal dengan tidak wajar seperti, dibunuh atau bunuh diri, dan jenazah anak-anak yang gigi susunya belum tanggal.
Desa ini juga memiliki tiga cara unik dalam mengupacarai jenazah, yang maknanya setara dengan upacara pengabenan pada umumnya yang ada di Bali. Tata cara upacara jenazah tersebut adalah sebagai berikut:
- Jika yang meninggal adalah bayi, maka tempat pemakamannya akan berbeda dengan pemakaman jenazah pada umumnya. Tempat pemakamannya adalah “Sema Muda”, jaraknya diperkirakan 200 meter dari pemakaman umum. Jenazah bayi tidak diletakkan terbaring, akan tetapi dikubur. Tidak ada pemaparan khusus mengenai perbedaan perlakuan tersebut. Ini hanyalah tradisi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Trunyan.
- Untuk mereka yang meninggal karena sesuatu yang tidak wajar (salah pati) seperti kecelakaan, pembunuhan, dan sejenisnya, tempat penguburannya adalah di “Sema Bantas”, yang terletak diperbatasan Desa Trunyan dan Desa Abang yang letaknya cukup jauh dari pemakaman umum.
- Untuk mereka yang meninggal wajar (normal), dalam artian meninggal karena faktor usia, maka akan dikuburkan di pemakaman umum “Sema Wayah”. Jenazah akan ditutupi kain kasa (kain putih) kemudian diletakkan atau disemayamkan dibawah pohon Taru Menyan. Mayat akan disemayamkan di atas tanah dengan lubang yang sangat dangkal, berkisar 10 sampai 20 cm kemudian dipagari. Tujuan diletakkan pada lubang tidak lain agar jenazah tidak bergeser, mengingat keadaan tanah yang datar. Dipersyaratkan bahwa batasan jenazah yang disemayamkan di bawah pohon Taru Menyan hanyalah 11 (sebelas) jenazah. Masyarakat setempat mengatakan, jika jumlah jenazah melebihi sebelas maka jenazah akan relatif berbau (terkadang berbau dan terkadang tidak).
Ada sedikit cerita mistis atau bisa disebut aneh mengenai Trunyan. Pernah pada suatu ketika, seorang turis yang berasal dari Amerika mengambil kenang-kenangan berupa uang logam bolong “pis bolong” (biasanya dipakai di proses penguburan di Bali), kemudian dibawa ke Amerika, ia mempunyai sebuah losmen. Losmennya tiba-tiba berbau mayat hingga akhirnya sepi. Akhirnya turis tersebut mengembalikan uang bolong itu ke tempat asalnya. Hal ini membuktikan, percaya atau tidak Bangli pada umumnya, dan Desa Trunyan pada khususnya memiliki sisi mistis dan keunikan tersendiri.
Selain itu di Desa Trunyan terdapat Pura Kancing Bumi. Dan Pura Pancering Jagad, diperkirakan dibangun pada abad ke-9. Menurut riwayat, pada tahun Saka 813 (kira-kira 891 M), Raja Singhamandawa memberi ijin penduduk asli disana untuk mendirikan Pura Turun Hyang, tempat pemujaan Bhatara Da Tonta atau Hyang Pancering Jagad. Pura ini bertingkat tujuh (meru tumpang tujuh). Masyarakat Trunyan percaya Pura ini adalah Pura pertama yang dibangun di Pulau Dewata.
Orang suci yang berstana di situ bernama Ratu Pancering Jagat. Bentuk fisik duniawinya adalah batu yang tumbuh dari tanah (Batu Megalitik). Mengapa disebut tumbuh adalah karena batu itu makin besar dari pertama kali ada (kira-kira Zaman Majapahit). Saat ini ada empat batu Pancering Jagat. Yang tertua sepanjang kurang lebih 12 cm dan yang termuda 6 cm. Letaknya yang 8 cm paling kiri, kemudian berurutan yaitu 12 cm, 10 cm dan 6 cm.
Ada yang mengatakan bahwa itu adalah Patung Batu (Megalitikum). Piodalan pura ini dilakukan setiap Purnama (bulan penuh) Sasih Kapat dan hanya bisa dilakukan bila musim panas tidak terlalu panjang, tidak ada orang meninggal dunia dan tidak ada yang melahirkan anak kembar buncing (kembar lelaki dan perempuan). Jadi, jelas tidak dilakukan tiap enam bulan seperti pura-pura lain diseluruh Bali dan belum tentu terjadi tiap tahun.
Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral, Barong Berutuk dan tari Sanghyang Dedari. Barong Brutuk (semacam tarian topeng) ditarikan mulai dari pagi hingga menjelang matahari terbenam. Penduduk Desa Trunyan beramai-ramai berusaha merobek busana yang terbuat dari keraras (daun pisang kering), yang dikenakan para penari.
Para penari Barong Berutuk semuanya berjenis kelamin laki- laki dan harus berjumlah ganjil, maksimum 21 orang, mereka membawa cambuk, berusaha mengusir siapa saja hendak menyobek busananya. Konon, sobekan daun keraras dapat membuat Desa Trunyan yang tengah kekeringan (lama tidak turun hujan), maka begitu upacara selesai, hujan turun dengan deras.
Akibat adanya Ratu Pancering Jagat inilah maka masyarakat Trunyan percaya, bahwa desanya menjadi salah satu desa di dunia yang anti gempa. Ketika terjadi gempa di Seririt, Singaraja yang juga dirasakan oleh penduduk Kintamani, namun tidak dirasakan di Trunyan. Tanda adanya gempa disekitarnya dapat dilihat penduduk Trunyan melalui pancaran mata air yang keluar tidak lurus, namun bergoyang goyang. Isu ini memang belum dapat dikatakan benar, akan tetapi kenyataan yang ada membuat masyarakat Trunyan semakin percaya dengan hal tersebut.
Desa Trunyan sampai kapanpun akan menjadi aset bagi pulau Bali, dan Kabupaten Bangli pada khususnya. Walaupun tidak semua misterinya dapat dikupas, tetapi hal itulah yang menjadi daya tarik daerah ini. Keunikan yang dimilikinya mengharuskan kita untuk tetap menjaga dan melestarikan keutuhan kebudayaan dari suku Bali asli Trunyan. Tidak mengubah kebudayaan mereka secara signifikan menurut saya merupakan suatu penghargaan bagi daerah tersebut. Akan tetapi, mungkin ada baiknya suatu saat setiap keunikan dari Desa Trunyan ini dapat diajegkan dan dilestarikan oleh masyarakat luas. Sehingga Kabupaten Bangli akan semakin tersohor dengan tradisi dan budaya yang dimiliki. [T]