Esai ini meraih Juara 2 dalam Lomba Esai Kategori Umum Menyongsong HUT ke-36 Peradah Indonesia dan HUT ke-816 Kota Bangli yang diseselenggarakan DPK Peradah Bangli, 2020
Kalau boleh saya mengarang cerita tentang Bangli, maka kemungkinan saya akan meminjam ending dari seorang teman, bahwa sejarah Bangli berakhir dengan terpecah belah. Daerah terbagi menjadi bagian-bagian kecil lalu bergabung dengan kabupaten lain di sekitarnya. Dengan demikian, Kintamani akan masuk menjadi wilayah Buleleng dan beberapa kecamatan lain juga ikut menyusul sesuai dengan pilihannya. Agar dapat meyakinkan, akan dikarang perihal yang memungkinkan terjadinya peristiwa epik itu.
Barangkali ada hubungan antara kekuasaan suatu wilayah dan seberapa besar kekuatan ekonominya. Bahkan, banyak perang yang terjadi di dunia cikal bakalnya hanyalah soal rebutan dagangan. Tentu saja pusat kontrol kekuasaan selalu menjadi tempat idola bagi pedagang. Di mana ada keramaian, di situ ada peredaran. Pada era kerajaan, bangunan kerajaan akan bersebelahan dengan pasar. Selain sebagai tempat raja atau pangeran “mengintip” gadis jelita, lalu lintas keuangan di pasar adalah nadi titah-titah raja. Pasar menjadi lahan dan “kurir” segala informasi di samping sebagai sumber pendapatan upeti terbesar. Pasar adalah alat kendali.
Akan saya karang bahwa Bangli bukan opsi pertama orang desa menjual hasil buminya. Di bagian utara, banyak orang memlilih berjualan hanya di Pasar Kintamani dengan alasan jarak yang dekat. Namun untuk orang yang lebih serius, mereka akan pergi ke Pasar Banyuasri Buleleng atau Pasar Badung. Untuk menjual sapi, peternak harus ke Beringkit. Bagi pemilik lahan jeruk, lewat tengkulak, barang dagangan sudah bisa langsung dikirim ke luar Bali. Di bagian selatan dan barat mungkin berbeda. Bukan lagi perkara barang dagangan, mungkin masalah tempat sang istri tercinta bersalon atau menjarit kain kebaya. Bukan hanya persoalan hasil hewani dan nabati, dalam membeli alat elektronik berat seperti kulkas dan televisi, kota yang kecil itu bukanlah idola. Banyak orang lebih percaya kepada toko-toko yang ada di wilayah Singaraja atau Denpasar. Konon katanya, barang di dua daerah itu lebih berkualitas dan bervariasi – di samping harga yang lebih rasional. Memang, dari skala dunia, Bali itu juga kecil sehingga perjalanan ke Bangli atau Denpasar serasa tidaklah jauh beda.
Apabila gejala kritis itu terus berlanjut, makin dekatlah kota tersebut dengan canda satir kawan-kawan dari luar Bangli sebagai “Kota Sepi atau “Kota Mati”. Barangkali, orang seperti saya yang ke Kota Bangli hanya untuk mengurus hal-hal administrasi tidak merasakan romantika kesumringahan kota. Tidak mengetahui dengan baik kegembiraan peristiwa-peristiwa budaya indie di sana. Pun kalau ada diskusi sastra dan budaya, dukungan dari pihak berwajib setempat tidak deras. Hanya tetes-tetes atau malahan buntu.
Dalam strategi “perang”, mungkin, Bangli masih kalah. Melihat dari laku sebelumnya, kalau tidak salah sekitar Abad ke-17, pemerintah yang berkuasa di Bangli harus mengimport prajurit cina agar dapat mempertahankan wilayah bagian utara Bangli dari gencaran Kerajaan Bali Utara. Kalau tidak, mungkin Kintamani sudah menjadi bagian Buleleng sekarang. Maka, makin “keringlah” pesona Bangli. Sudah tidak punya laut ditambah pegunungan dan danau berserta jair–nya lagi. Lalu, siapakah kiranya juru selamat yang akan hadir pada abad ini? Seandainya saya dibolehkan mengarang, maka akan saya ciptakan juru selamat yang agung nan mulia itu.
Oke, mungkin, karangan dengan akhir seperti itu akan menimbulkan perpecahan. Mari, izinkan saya menciptakan endinglain. Bagaimana kalau Bangli berhasil menguasai daratan? Anggaplah peristiwa itu bersamaan dengan perpindahan Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Selagi investor berbondong-bondong ke sana – atau malahan sudah menunggu di sana –, Bangli pada saat yang sama sedang mempertajam taringnya.
Anggaplah akan ada megaproyek kereta cepat seperti Kereta Peluru Shinkansen di Jepang yang dapat mengantarkan orang dengan kecepatan 300km/jam. Seluruh titik temu kereta peluru itu anggaplah ada di Bangli dengan nama mentereng nan kinclong “Megastasiun Bangli”. Kita anggap pula rencana kereta ringan jurusan Bandara-Kuta yang masih tahap survei kelayakan tersebut di-upgrade lalu dikembangkan sehingga menjangkau pelosok Bali. Tentu, perjalanan dari Singaraja ke Bangli hanya akan membutuhkan waktu kurang dari 20 menit. Apalagi Jurusan Kintamani-Bangli, belum habis satu cerpen dibaca, penumpang jurusan itu sudah sampai di tujuan. Megastasiun itu akan menghubungkan seluruh kota di setiap kabupaten di Bali. Orang yang bepergian dari Jembrana ke Karangasem mesti singgah dulu di Bangli, begitu juga jurusan dari dari Singaraja ke Denpasar.
Bayangkan, Bangli menjadi pusat stasiun utama. Kota kecil tersebut akan memiliki kontrol penuh transportasi antarkabupaten di Bali – mungkin juga termasuk kendali ekonomi. Secara perlahan, pemerintah pusat tentu akan melirik Bangli sebagai posisi strategis dalam bisnis maupun poros kekuasaan provinsi. Bangli yang tidak memiliki laut akan menguasai kabupaten lain yang memiliki laut di Balidwipa.
Adanya stasiun untuk manusia, tentu pula ada stasiun barang. Prosedurnya sama dengan pengangkutan manusia. Barang yang dikirim ke Pelabuhan Gilimanuk dapat langsung ditransfer ke Megastasiun Bangli lalu disebarkan ke seluruh daerah layaknya sebuah pelabuhan. Dengan demikian, kargo yang dikirim ke Lombok wajib singgah di stasiun itu. Bagaimana, ambisius bukan?
Mungkin, impian kereta super cepat itu terlalu jauh. Oke, mari kita perkecil lingkupnya. Anggaplah, pada pada tahun 2024 tersebut, Bangli memiliki brand yang trending sehingga orang-orang dari luar daerah mau berduyun-duyun untuk berkunjung dan bermalam di sana. Atau adanya sebuah ikon kota atau daerah yang terurus dengan baik seperti lumba-lumba di Lovina Buleleng atau tebing tepi pantai di Nusa Penida.
Anggaplah setelah empat dekade, pemerintah masih menjaga dan merawat Balai Seni Toya Bungkah milik Sutan Takdir Alisyahbana (STA), niscaya, Bangli atau Kintamani khususnya memiliki ikon budaya dan sastra. Balai seni itu berdiri setelah kunjungan beliau bersama Sastrawan Anak Agung Pandji Tisna pada tahun 1938 ke Toya Bungkah. STA diantar oleh orang hebat. Bagaimana tidak, Panji Sakti adalah sastrawan angkatan Pujangga Baru yang sekaligus adalah keturunan raja dan pernah menjadi Raja Buleleng.
Dengan usahanya, STA bersama kawan-kawan masa itu berhasil mengadakan pertemuan budaya tingkat internasional di sana. Yang datang pada acara tersebut juga bukan orang-orang sembarangan. Sayang, apabila Balai Seni Toya Bungkah masih terawat, tentu, kunjungan kampus-kampus yang terdapat jurusan bahasa dan sastra Indonesia tidak akan absen singgah ke Danau Batur jika studi dan wisata ke Bali.
Bangli mesti memiliki ikon yang unik dan tidak duanya. Anggaplah festival yang dilaksanakan tahun lalu itu adalah sebuah festival yang bukan hasil produk dan pemikiran orang Bangli. Festival yang muncul dari ketiadaan dengan niat yang tidak benar-benar tulus dan serius. Ikon yang dibuat tersebut tentu janganlah sampai menjadi pengganjal mata. Bayangkan, seperti sebuah rumah yang dibuat dengan tampak depan yang elok dan megah, kita paksa pasang sejejer kabel tiang listrik yang membentang begitu saja. Kabel-kabel yang tidak tahu aturan itu menodai keindahan yang layak disebut mahakarya. Akan lucu kalau Kawah Batur ternodai kabel-kabel tidak estetis nan sembarang begitu.
Tentang Kintamani, Kaldera Batur dapat dikatakan unik. Gunung dan danau yang dikelilingi benteng batuan keras dan kering itu tampak kokoh. Juga danau yang mirip seperti bulan sabit itu. Keunikan juga terkabar dari tutur banyak orang yang selalu mengaitkan daerah kawasan Gunung Batur dengan peradaban Bali Mula. Masa yang begitu otentik dan misterius.
Jika boleh mengarang, saya akan bangun sebuah Museum Peradaban Bali Mula di Kawasan Kecamatan Kintamani. Lokasi bangunan tinggal dipilih di desa mana saja, tentu, asalkan terus dirawat dengan baik. Atau bahkan bisa saja dibangun di seluruh desa di kecamatan itu agar tidak ada keributan dan keirian antardesa.
Apa saja isinya? Oh, kalau saya dibolehkan mengarang tentu saja akan berisi banyak hal. Bayangkan, sebuah Museum dengan langit-langit yang tinggi. Ketika baru masuk gedung, pengunjung harus dihadang dengan bangunan rumah tradisional. Rumah itu beratap pipih-pipih bambu. Di samping kanan, dipamerkan prasasti (jikalau memungkinkan) atau dapat berupa foto prasasti besar dengan kualitas bagus, tentu juga beserta deskripsinya. Selanjutnya, ada pameran audio-visual yang berisi informasi bahasa-bahasa unik – yang dapat dianggap sebagai peninggalan hidup bahasa Bali Mula – tiap desa. Banyak desa di Wilayah Kecamatan Kintamani memiliki dialek yang unik misalnya variasi vokal akhir /o/ di Desa Manikliyu atau variasi vokal akhir /a/ di Desa Pinggan. Profil kekuatan kuliner, budaya, dan ekonomi tiap desa juga penting untuk dimasukkan. Sebelahnya, ada pameran tradisi. Di sana akan dipaparkan semua tradisi kuno yang masih dijalankan hingga kini. Tidak lupa, mitos dan cerita tiap desa yang diturunkan secara lisan. Ada banyak pendongeng yang akan disewa untuk menyampaikan kisah-kisah unik dari tiap desa. Akan saya karang juga deretan pajangan tentang pura-pura bersejarah dan unik di sekitar Kawasan Gunung Batur. Semua konten berasal dari Kawasan Kaldera batur.
Dengan ambisi yang serius, saya gambarkan pula bahwa museum itu akan terus “oper bola” dengan Museum Geopark Batur dalam hal pengunjung wisata. Museum peradaban kuno Bali tersebut menjadi ikon wisata yang dapat mencerdaskan pengunjungnya. Ikon wisata yang membuat orang merasa menyesal untuk tidak datang ke sana, khususnya pelajar, mahasiswa maupun umum. Tentu karangan saya tentang daerah itu akan begitu kaya dan menarik.
Tapi tunggu, mungkinkah endingcerita saya ini tidak seperti di atas? Bagaimana kalau ternyata keadaan Bangli sama seperti sediakala dan tidak ada perubahan? Bangli masih bukan menjadi idola yang diidam-idamkan. Bangli dengan kota tuanya yang masih terkesan biasa-biasa saja.
Hari sudah gelap ketika saya belum menyelesaikan karangan ini. Namun, ada pikiran yang mengganjal. Jangan-jangan, apa yang saya tulis ini adalah perbuatan sia-sia? Sebab, semua karangan ini, mungkin, tidak akan pernah terjadi. Apalagi di daerah saya sendiri, sebab konon mengarang – katanya – akan dilarang. [T]
Singaraja, 02-02-2020