SELALU muncul pertanyaan klise dari orang-orang seusia saya (40 hingga 60-an tahun) di seputar Hari Raya Galungan, terutama di hari penampahan: “Kenapa daging babi pada zaman kita kecil dulu lebih enak ketimbang daging babi sekarang?”
Jawabannya bisa macam-macam, tapi yang paling sering terlontar biasanya hanya dua jawaban:
Jawaban Pertama: Jarang Makan Daging
Pada masa kecil dulu, kita jarang sekali makan daging babi. Bahkan mungkin hanya makan daging pada saat Galungan saja, pada hari lain cukup uyah-sere, gerang (ikan teri), pindang kucing, pesan telengis, capung metunu, klipes, atau blauk.
Jika punya belut atau ikan (lauk yang cukup mewah dan bergizi) dari hasil tangkapan di sawah atau di sungai, justru lebih sering kita jual ke pasar karena harganya lumayan mahal. Maka kerap ada ungkapan mengejek diri sendiri: ngadep lindung meli gerang. Artinya: menjual belut yang harganya lebih mahal, kemudian membeli ikan teri yang harganya jauh lebih murah). Artinya lagi: dapat sisa uang, dapur pun tetap dihias lauk bin pauk.
Nah, dengan kondisi seperti itu, daging babi yang “wajib ada” pada setiap Galungan adalah berkah tiada terkira. Betapa enak, nikmat, gurih, dan betapa maknyus itu urutan, babi kecap, babi genyol, timungan, dan usus goreng. Citarasa saat itu secara nyata memang tak ada saingan, ya, tentu saja karena tak pernah, atau sangat jarang, merasakan daging sejenis di hari yang lain.
Jawaban Kedua: Babi Hitam dan Babi Putih
Babi dulu itu memang beda dengan babi sekarang. Dulu, yang dipotong saat penampahan Galungan, lalu dibagi secara patungan, itu adalah babi bali, babi pribumi, babi kampung. Yaitu babi hitam legam, berbulu kasar, kepala kecil, tubuh kecil dan susah bongsor, punggung melengkung dengan perut hampir menyentuh tanah, kaki pendek dan telinga kecil-tegak.
Dan yang dipotong sekarang adalah babi landrace, dibahasabalikan menjadi babi lendris. Babi ini berkulit putih, berbulu halus, tubuhnya panjang dan telinganya terkulai rebah ke depan. Sejak sekitar tahun 1980-an, babi lendris jadi primadona para peternak, apalagi peternak besar, karena babi putih seksi itu memberi untung lebih melimpah dan lebih cepat ketimbang babi kampung. Babi lendris cepat gemuk dan gampang masuk angka satu kwintal dalam hitungan bulan. Urusan beranak, si lendris lebih pengertian: sekali bunting, anaknya banyak.
Benarkah babi hitam legam lebih enak ketimbang babi putih mulus itu? Itu sih tak bisa disimpulkan. Bukankah kuliner menganut hukum relativitas?
Tapi, jika ditanya pada saya dan orang-orang seusia saya (40 hingga 60-an tahun), jawabanya mantap: si babi hitam legam jauh lebih lezat. Bayangkan saja, makanan babi hitam sangat alami. Dagdag yang terdiri dari daun-daunan, seperti daun talas, kangkung, gedebong pisang, dan sayur-mayur lain yang biasa juga kita makan. Daun-daunan itu dicampur banyu — air rendaman beras, dedak dan kadang diisi sedikit garam, lalu direbus. Terkadang, jika dibiarkan liar, babi itu terbiasa juga mencuri umbi-umbian, semacam ketela rambat, talas, dan bungkil pisang, di kebun tetangga.
Menu semacam itulah yang membentuk tubuh si babi hitam itu jadi mungil tapi padat berisi. Jika babi dipotong, daging merah, legit, dan menggairahkan, langsung menyita pandangan. Lemaknya tipis, seakan hanya dibutuhkan sebagai garis pembatas antara kulit dan isi. Nyam, nyam, daging seperti itu enak dibikin apa saja: menu berkuah, panggang atau goreng, pastilah bikin ngiler.
Nah, itu, si babi putih mulus itu, makanannya konsentrat dan produk pabrikan dengan nama yang bahkan peternakpun tak begitu hapal. Makanan itu bertugas bikin bongsor belaka, tak bikin daging jadi legit. Makanya, di hari Galungan, warga sering mengeluhkan urutan dan timungan yang baru dibikin sehari, baunya sudah mangkres.
Kalau dulu, urutan dengan daging babi hitam bisa tahan sampai sebulan, padahal hanya ditaruh di lengatan di atas tungku api, atau hanya dipanggang sinar matahari di atas atap kubu.
Ke Mana Si Hitam?
Kini babi hitam nyaris tak ada lagi. Setiap Galungan atau pada saat pesta upacara adat, hanya babi lendris yang laris. Tak ada yang mau memelihara si hitam karena tak menguntungkan. Pengusaha tentu berhitung soal duit, tak berhitung soal citarasa.
Ibu-ibu rumah tangga yang dulu memelihara babi hitam pun sejak dulu sudah beralih pelihara babi putih. Tentu agar uang diperoleh lebih banyak. Jika sudah punya uang, urusan citarasa bisa dibeli. Maka, ungkapan ngadep lindung meli gerang kini berubah menjadi ngadep celeng meli sate kambing – menjual babi membeli sate kambing.
Tapi tunggu dulu. Di sejumlah desa di Buleleng, masih banyak ditemukan babi hitam di pekarangan belakang rumah warga, meski jumlahnya tetap seiprit ketimbang jumlah peliharaan babi lendris. Babi hitam dipertahankan karena masih banyak tradisi dan upacara-upacara adat mewajibkan warga menggunakan babi hitam untuk perlengkapan upacara.
Antara lain tradisi Ngusaba Bukakak di Desa Giri Emas, Desa Sangsit, Desa Sudaji, dan sejumlah desa lain di sekitarnya. Upacara memohon kesuburan khas masyarakat agraris itu diisi dengan atraksi mengarak Bukakak keliling desa.
Bukakak berarti babi guling yang dibuat matang pada bagian dadanya saja. Babi harus babi hitam legam. Pada bagian kiri dan kanan bulu dan kulit dibersihkan sampai tampak putih. Pada bagian punggung, bulunya dibiarkan hitam seperti sediakala. Sehingga terlihat tampak kombinasi tiga warna, yakni merah di bagian dada yang sudah dibuat matang, putih di kiri-kanan, dan hitam di bagian punggung.
Selain untuk upacara, banyak juga warga atau kelompok warga yang masih fanatik terhadap daging babi hitam. Sehingga banyak yang dengan sengaja memelihara babi kampung itu untuk dipotong sendiri pada saat yang tepat.
Babi Guling Otentik
Salah seorang teman arsitek, Gede Kresna, pengelola Rumah Intaran di Desa Bengkala, Kubutambahan, Buleleng, adalah salah seorang pecinta kuliner yang tak henti-henti menggerakkan warga untuk tetap mempertahankan produk-produk alami dari desa, salah satunya ternak babi hitam.
Babi-babi hitam di Bali Utara, kata Gede Kresna, masih diternakkan dengan cara alami. Makanannya berupa dedaunan, nangka, gedebong pisang dan sebagainya. Tidak diberikan makanan berupa konsentrat, apalagi disuntik hormon supaya gemuk. Di tengah maraknya peternakan babi yang memelihara babi putih yang cepat besar dan diberikan pakan-pakan pabrikan berupa konsentrat, kesetiaan peternak-peternak babi hitam di Bali Utara layak untuk diberikan apresiasi setinggi-tingginya. “Karena dari merekalah kita mendapatkan daging babi yang berkualitas tinggi dengan rasa yang jauh lebih lezat,” katanya.
Gede Kresna mengakui daging babi hitam jauh lebih berkualitas dan tahan lama. Rasanya juga jauh lebih enak. “Tetapi saat ini barangkali sudah tidak banyak lagi orang yang pernah merasakan bagaimana rasanya babi hitam,” ujarnya.
Rumah Intaran yang dikelolanya memang dibangun sebagai ruang belajar bersama-sama, tempat menggali begitu banyak potensi-potensi alami yang bisa dikelola tanpa merusaknya.
Pada 21 Januari 2017, Pengalaman Rasa, sebuah program di Rumah Intaran, sempat menggelar acara bertajuk Otentik. Acara itu isinya membuat babi guling dengan cara yang sangat otentik. Mulai dari cara memotong dan menangani babinya, cara menggulingnya, bumbu yang digunakan, dan lain sebagainya. Tentu saja babi yang digunakan adalah babi hitam yang hanya makan makanan alami, bukan makan konsentrat.
Undangan menghadiri acara itu dilakukan lewat facebook dan media lain. Yang diundang adalah teman-temannya di seluruh Indonesia, atau siapa saja yang berminat untuk mengetahui cara mengolah babi guling, sekaligus membuktikan betapa lezatnya menu olahan babi hitam yang di Bali jumlahnya makin berkurang itu.
Kembalikan Babi Hitam Kepadaku
Program Pengalaman Rasa di Rumah Intaran sesungguhnya bisa ditiru oleh siapa saja. Jika ramai-ramai dan latah lembaga pemerintah melakukan demo makan babi guling setelah ditemukan penyakit Meningitis Streptococcus Suis di Bali, kenapa tak berpikiran juga untuk demo makan olahan babi hitam?
Tak usahlah diembeli-embeli tujuan untuk melestarikan warisan nenek moyang, atau melestarikan budaya adi luhung, atau mempertahankan nuftah babi bali agar tak punah. Tujuannya sederhana saja: agar kita bisa makan dengan enak.
Jika sudah banyak yang tahu rasa olahan daging babi hitam itu, maka ada harapan kejayaan babi hitam akan kembali menguasai pasar dan lidah, setidaknya menguasai pasar dan lidah orang Bali. Saat penampahan Galungan, babi hitam kembali hadir untuk menyumbang menu urutan tahan lama, menu babi genyol yang kenyal, atau gorengan yang kesed sekaligus renyah.
Atau setidaknya dengan meningkatnya kembali pamor babi hitam maka ada harapan muncul “Warung Babi Guling Otentik”. Atau “Warung Nasi Babi Kampung” seperti “Warung Nasi Ayam Kampung” yang sudah lebih dulu menemukan popularitasnya.
Ikuti Lokakarya Beternak Bali Hitam Rumahan
Menjelang Galungan, tahun 2020 ini, Koperasi Pangan Bali Utara (Kopabara), sebuah koperasi yang didirikan sekitar setahun lalu, di Rumah Intaran, menggelar acara Lokakarya Beternak Babi Hitam Rumahan, 15 Februari 2020.
Kenapa Lokakarya itu diadakan? Baiklah, di bawah ini adalah dari Tobing Crysnanjaya, salah seorang pendiri Kopabara, tentang lokakarya itu:
***
Pemberitaan berseliweran di jagad social media dan beberapa surat kabar ternama di pulau seribu pura, konon katanya ribuan babi mati karena virus, peternak gundah begitu juga dengan para konsumen yang sebagian besar adalah warga hindu Bali, yang dalam tradisinya tidak bisa dipisahkan dari ritual dan persembahan babi.
Analisa menyeruak, mulai dari virus hingga kondisi sanitasi, kepastian tak kunjung didapatkan oleh masyarakat, apalagi menurut informasi hasil laboratorium dari Balai Besar Veteriner Medan belum diterima.
Daripada larut dalam kubangan masalah yang tak kunjung mendapatkan kepastian dan kesimpulan, maka Koperasi Pangan Bali Utara berusaha untuk menyajikan informasi yang tertuang dalam gagasan Lokakarya Beternak Babi Hitam Rumahan.
Gagasan ini akan memberikan kita pemahaman, bagaimana para tetua kita mewariskan pengetahuan yang didapatkan dari pengamatan dan pengalaman mereka selama bertahun-tahun.
Romansa ini sengaja dibangun, kondisi meresahkan yang ada di masyarakat ini perlahan kita jadikan batu loncatan untuk membangun narasi kebangkitan babi hitam Bali yang kian hari semakin terhimpit oleh modernitas. Sebagian dari kita mungkin sudah tahu, bagaimana para tetua kita memelihara babi hitam Bali mereka, pakan yang berkualitas apalagi didapatkan langsung dari alam dan sisa organic dapur yang bisa diolah menjadi pakan, sentuhan kasih sayang juga tak luput dari perhatian, elusan ramah dari tangan empunya membuat hubungan ini semakin harmonis, tak jarang kita melihat percikan air terciprat di sekujur tubuh babi hitam Bali, inilah esensi dari keharomisan yang bisa ditangkap dari laku masyarakat peternak babi hitam rumahan.
Narasi ini lebih kuat lagi, ketika tradisi dan budaya dimasukan lagi dalam Lokakarya ini, mengingat dalam setiap perayaan upacara, babi hitam hampir selalu menjadi sarana upakaranya. Bahkan salah satu desa tua di Bali, sebut saja Desa Julah, larangan untuk menggunakan babi selain babi hitam Bali tidak bisa ditawar-tawar lagi, dari penjelasan itu tidak salah kami memberikan kutipan bahwa “persoalan babi hitam adalah persoalan hidup matinya Bali”.
Tidak cukup hanya membangun narasi saja, apalah artinya kata tanpa bukti nyata, untuk membuktikan komitmen Koperasi Pangan Bali Utara terhadap pentingnya budidaya babi hitam Bali, maka kami menginsiasi kegiatan “Mepatung Yuk”. Kegiatan ini adalah aktualiasi kami dalam memadukan bisnis kedalam konsep mepatung, kita tahu bersama mepatung itu sendiri merupakan tata cara pembagian babi secara adil dan merata, kepercayaan yang terpancar dari kegiatan ini, sebagai bukti bahwa semangat kekeluargaan sudah terpelihara dengan baik diantara peserta, dan tentunya ini modal utama untuk membangun kehidupan masyarakat yang harmonis sesuai dengan konsep Tri Hita Karana yang diyakini oleh umat hindu di Bali.
Lokakarya Beternak Babi Hitam Rumahan ini ditujukan untuk memberikan pemahaman tentang tata cara pengelolaan peternakan babi dalam skala rumahan, mulai dari karakter bibit, jenis pakan, bentuk kandang, serta kiat-kita lain yang bisa dilakukan oleh para peternak untuk meningkatkan produktifitas pengembangan usaha mereka.
Lokakarya ini akan diselenggarakan di Rumah Intaran, tanggal 15 Februari 2020 mulai dari jam 14.00 s/d selesai. Menghadirkan dua narasumber, Ketut Erawan seorang peternak babi hitam rumahan yang berasal dari Desa Julah dan Jend Oktavianus seorang arsitek Rumah Intaran yang semasa hidupnya selalu berkutat dengan peternakan babi hitam di Flores, mereka akan membagi kisah dan pengalaman menariknya kepada para peserta yang datang.
Di tengah gencarnya pemberitaan tentang ribuan babi yang mati di Bali serta hoax yang berseliweran di Sosial Media, bahwasannya babi tidak aman lagi untuk dikonsumsi, maka Koperasi Pangan Bali Utara juga ambil bagian dalam usaha meyakinkan masyarakat “BABI AMAN UNTUK DIKONSUMSI”, asalkan babi tersebut dalam kondisi sehat, tempat dan alat pemotongan bersih serta dimasak dengan matang.
Kegiatan ini dirancang dengan konsep mapatung, dengan mengambil tema “Mepatung, Yuk!!”, kegiatan ini mengambil saripati mepatung, tradisi pembagian daging babi sama rata, panitia memastikan bahwa daging yang dibagikan akan didistribusikan secara adil dan merata, serta teknis mulai dari pemilihan babi yang sehat dengan melibatkan dokter hewan serta rumah potong yang sudah terkurasi oleh Koperasi.
Disamping itu Koperasi Pangan Bali Utara juga akan mengadakan kegiatan Kesetiakawan Pangan Bali Utara, berbagi pangan sehat kepada masyarakat lansia atau kurang mampu di Buleleng, dalam kesempatan ini akan dibagikan sejumlah 70’an paket babi hitam dan tempe kepada masyarakat di 7 Desa/ Kelurahan di Buleleng.
Semua donasi ini dikumpulkan dari para donator, dan diserahkan ke masyarakat dengan dibantu Karang Taruna/ Sekaa Truna dan Tokoh Masyarakat setempat. Kedua kegitan ini akan diselenggarakan pada tanggal 17 Februari 2020 bertempat di Desa Tamblang. [T]
_____
Keterangan:
- Tulisan ini diolah kembali dari tulisan yang pernah diunggah di tatkala.co dengan judul “Kembalikan Babi Hitam itu Kepadaku – Harapan Kecil di Hari Galungan”