21 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Cerpen
Lukisan karya Gusti Sura Ardana yang dipemarkan dalam Pameran Seni Rupa di Undiksha Singaraja, November 2019. [Foto: Mursal Buyung]

Lukisan karya Gusti Sura Ardana yang dipemarkan dalam Pameran Seni Rupa di Undiksha Singaraja, November 2019. [Foto: Mursal Buyung]

Pulang

Geg Ary Suharsani by Geg Ary Suharsani
February 8, 2020
in Cerpen
28
SHARES

Cerpen: Geg Ary Suharsani []


Aku mencakupkan tangan di ubun-ubun. Kenanga, cempaka dan teratai putih menyembul dari kedua ujung jemariku yang bertemu satu sama lain. Inilah jalan satu-satunya yang bisa aku tempuh, memohon padaMu.

***

Sudah dua bulan ibuku menahan sakit di tubuhnya. Kadang di perut, kadang di dada. Kata ibu, jika perutnya sakit maka yang dia rasakan adalah pelintiran yang luar biasa. Aku membayangkan ketika aku memelintir baju yang usai aku bilas. Mungkin serupa itu.

Jika dadanya sakit, maka yang dirasakan adalah panas yang menampar. Menyengat dada dan menjalar ke tubuh yang lain. Saat panas itu datang, ibu memintaku menempelkan es di dadanya. Es yang dingin itu membuatnya merasa lebih nyaman.

“Ibu lelah.” Wanita yang kini berusia sembilan puluh enam tahun itu memandangku sambil berujar lirih. Suaranya hampir saja tidak bisa aku dengar andai aku tidak melihat gerak bibirnya. Ketika itu ibu terbaring di ranjang rumah sakit. Sudah lebih dari lima kali ibu bolak-balik rumah sakit dan rumah. Opname kemudian pulang kemudian opname kembali kemudian pulang lagi. Begitulah beberapa kali.

Ibu tak kunjung sembuh. Bisik-bisik mulai terdengar. Aku mendengar semuanya namun aku memilih diam. Mereka bilang, ibuku terlalu banyak ilmu. Saat tubuh ibu makin lemah, ilmu itu tetap kuat tak rela sirna. Kata mereka, ilmu itulah yang membuat ibu masih hidup meski penuh dengan rasa sakit.

“Ibu ingin pulang. Pulang,” rintih ibu, terbaring lemah dan menatapku penuh harap. Dadanya yang tipis bergerak naik turun, tersengal. Sebagai anak satu-satunya, aku tentu sangat menyayangi ibu. Melihat ibu kesakitan seperti ini sungguh menyiksa hati.

Ilmu itu akan hilang jika ada tubuh lain yang siap menerimanya. Begitulah bisik-bisik lain yang kemudian aku dengar. Tapi ilmu apa? Ibu hanya seorang pedagang kopi yang menjajakan kopinya dari kampung ke kampung. Berjalan kaki seharian penuh, kadang hingga berhari-hari. Melewati malam hanya bersinarkan lampu minyak kecil, kadang sekumpulan daun kelapa kering yang dibakar. Meninggalkan rumah, menjauh dari bapak yang menikah lagi dengan wanita kembang desa yang lebih muda dan lebih cantik.

Ibu selalu mengajakku dalam setiap perjalanannya. Aku melihat bagaimana ibu melewati malam yang dingin berangin dan hujan lebat yang membuat badan menggigil. Aku menyaksikan bagaimana ibu melalui malam demi malam, memilih bungkam bersama gurih biji kopi yang dijajakannya.

Hingga kemudian ibu mulai menghasilkan uang yang cukup sehingga mampu membeli kebun kopi. Ibu  berangsur-angsur mengurangi aktivitasnya berjalan kaki dari satu kampung ke kampung yang lain. Kami kemudian menetap di kebun kopi yang dibeli oleh ibu.

Ibu tidak pernah pulang, sudah tentu aku juga tidak. Bapak tidak pernah mengunjungi kami. Kami makin menjauh, meski  masih satu desa. Namun seolah ada kesepakatan untuk tidak saling mengunjungi antara bapak dan ibu. Mereka berdiam diri dalam kesepakatan yang sunyi. Bapak sibuk dengan istri mudanya, ibu sibuk dengan kebun kopinya. Sedangkan aku, bagiku ada ibu saja sudah lebih dari cukup.

“Aduhhh … aduhhhh ….” Ibu mengaduh, ranjang rumah sakit berderak, saat ibu bergeser sambil mencengkeram perutnya. Keringat dingin bercucuran di antara pelipisnya yang keriput. Aku hanya mampu memegang pundak ibu, sambil sesekali mengusap keringat yang bercucuran itu. Perutnya pasti sakit lagi. Betapa gigiku terasa ngilu, membayangkan rasa sakit yang sedang dirasakan oleh ibu.

Siapa yang akan diberikan ilmu, akan didatangi melalui mimpi. Seolah tongkat estafet, ilmu itu harus dioper ke tubuh selanjutnya. Jika tidak, dia akan bersemayam dan membiarkan sang pemilik tubuh mengunyah rasa sakit, meski hati telah menyerah pasrah.

“Berdoalah untuk ibumu, Sulastri,” ujar salah seorang uwakku di suatu hari yang dingin, di antara rimbun daun kopi. Uwakku sama berumurnya dengan ibuku. Diam-diam dia menemuiku meski dengan tertatih. Keluar dari rumah yang tidak pernah aku datangi.

“Pulanglah ke rumah. Sembahyang kepada leluhur, mohon jalan terbaik,” desaknya sambil menatapku tajam dengan matanya yang kelabu sebagian berkatarak.

“Kasihan ibumu.” Sebelum berpisah, uwak masih sempat mengucapkan kalimat ini, sambil menggenggam tanganku. Aku menatap uwak dengan mata dipenuhi genangan air. Begitupun uwak. Kami berkaca-kaca atas sesuatu yang kami pahami dalam diam.

Pulang. Sudah lama aku mengubur kata ini. Bertahun-tahun kata pulang mengendap jauh di tumpukan terbawah kenanganku. Bagai ampas kopi, dia ada di dasar gelas dan terbuang tiap kali gelas dicuci. Aku melupakan satu demi satu kenangan. Aku lupa kenanga di pojok halaman, yang selalu menguarkan wangi tiap kali sore menjelang serta bagaimana nyamannya duduk di bangku dekat dapur bersama bapak. Aku lupa gemerisik kerikil di halaman jika kaki melangkah dan bagimana damainya duduk di halaman sanggah, pura keluarga kami.

Jika aku pulang, untuk memohon di hadapan kemulan, tempat pemujaan terhadap leluhur, aku akan kalah. Segala yang telah aku lupakan bertahun-tahun akan muncul kembali. Segala upaya yang ibuku lakukan, tertatih di tengah gelap malam bersama biji-biji kopi itu akan menjadi keping, tak ada gunanya. Ampas kopi itu akan hadir. Oh, sungguh menyakitkan. Belum lagi tatap mata tajam dari seluruh penghuni rumah. Dari istri muda bapak. Apakah aku akan sanggup?

“Sakit … sakit ….” Kembali kudengar erangan lirih ibu. Wajah ibu kini berkerut menahan sakit. Sungguh perjuangan yang seolah tak berujung. Sampai kapankah? Kembali tanya ini menyeruak di benakku.

Jika benar yang membuat ibu bertahan saat ini adalah ilmu yang ada di tubuhnya, betapa jahatnya ilmu itu. Parasit egois itu memaksa tubuh inangnya untuk tetap bertahan hidup. Mungkin semacam balas jasa atas apa yang telah diberikan pada masa lalu. Mereka menanti tubuh selanjutnya yang akan ditunjuk oleh inangnya.

“Sebagai anak satu-satunya, doakanlah ibumu. Memohon pada leluhur. Pulanglah, Sulastri.” Kembali aku teringat ucapan uwakku. Aku bergetar, tanpa sadar tanganku meremas tangan ibu yang sedari tadi sibuk mencengkeram perutnya. Keputusan kini ada di tanganku.

***

 Dini hari yang teramat dini. Uwak membuka pintu gerbang dengan hati-hati. Begitu pelannya hingga tidak ada bunyi derit sedikitpun. Aku menunggu hingga gerbang terbuka dengan celah yang cukup untuk tubuhku menyelinap masuk. Wajah uwak terlihat samar, karena hanya satu lampu yang menyala di halaman. Suasana di beberapa bagian halaman rumah yang luas ini begitu gelap. Tidak ada yang menyadari kedatanganku, kecuali uwak. Uwak berjanji membukakan pintu ketika aku bilang aku tak tega melihat ibu kesakitan.

“Selepas tengah malam, aku akan pulang, Wak,” ujarku kemarin siang, di perempatan jalan dekat rumahku. Uwak mengangguk dan tersenyum penuh pengertian. Kembali dia menggenggam erat tanganku.

            Bersimpuh di sanggah, dalam gelap yang mengitari. Aku mencakupkan tangan untuk ketiga kalinya.

“Hyang Dewata, Ibu ingin pulang. Terimalah, berilah jalan. Jika ada yang harus ibu lepaskan, biarlah saya yang menerimanya,” bisikku lirih bersama sebutir air mata yang berjaga di pelupuk.

Angin semilir. Wangi cempaka dan kenanga berpadu. Terdengar suara cicak entah dari mana. Samar kulihat senyum ibu melalui kelopak mataku yang terpejam. Betapa dekat jalan pulang.

*****

Denpasar, November 2019

Tags: Cerpen
Geg Ary Suharsani

Geg Ary Suharsani

penulis karya jurnalistik dan sastra

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Suamba (Śivamba) kuno dari tembaga. Tergolong unik dengan kakinya berjari empat, jari cicak, lambang Pengetahuan Suci, Hyang Saraswati, yang dimuliakan para pandita, bhujangga, rsi dan empu. (Foto: Sugi Lanus)
Esai

Śivamba – Catatan Harian Sugi Lanus

Śivamba (Foto: Sugi Lanus) Istilah Śivamba (lidah masyarakat umum menyebutnya 'Suamba'), wadah air suci di kalangan Pedanda di Bali untuk ...

September 3, 2019
Yuli Supriandana, anak muda yang penuh gairah melestarikan bangunan tua dengan segala isinya di Desa Pedawa
Khas

Pedawa: Desa Tua, Rumah Tua, dan Anak-anak Muda yang Bergairah

Apabila ditanya, bagaimana bayangan saya tentang Bali, saya akan menjawab ayam dan anak-anaknya di samping dapur yang mengepul, halaman dengan ...

May 20, 2019
Foto-foto koleksi penulis
Esai

Cara Asyik Mengajar Sejarah bagi Anak Paud – Imajinatif Tanpa Melenyapkan Fakta

PRAMOEDYA Ananta Toer menyatakan bahwa, Negara yang tidak tahu sejarah adalah negara budak, budak di antara bangsa dan budak bagi ...

February 2, 2018
Ilustrasi: Surya Pratama
Cerpen

“Tikus Tanah Mencari Api” – Dongeng Pendidikan tentang Api, Udara, dan lain-lain

TERIK sang surya menyinari hutan cemara. Burung-burung berkicau menghibur binatang-binatang lainnya yang sedang sibuk mengumpulkan makanan. Para binatang itu mengumpulkan ...

February 2, 2018
Foto situasi hari ini sebuah warung di Munduk yang sudah menjalankan protap, pembeli tidak masuk, hanya menyebut kebutuhan yang hendak dibeli untuk diambilkan penjaga warung, pembeli membuat antrean dan diluar disiapkan hand sanitizer.
Esai

Protokol Penanganan Covid-19 Desa Munduk, Buleleng – [Bisa Ditiru]

Ketika saya menulis tentang pembuatan draft protokol penanganan Covid-19 di desa saya, banyak sekali teman yang men-japri untuk meminta copy-nya ...

April 1, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Foto : Dok. Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan
Acara

Lomba Tari Bali dan Lomba Busana | Festival Budaya XI Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan

by tatkala
January 20, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

KEMUNCULAN SERIRIT DALAM PETA BALI UTARA | Kilas Balik Kemunculan Desa-Desa Bulelang Barat

by Sugi Lanus
January 21, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1354) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (309) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In