SEBAIKNYA arak Bali memang dilestarikan. Maksudnya, diberdayakan dengan baik, diminum secara baik-baik, dan dijual dalam usaha dagang yang baik demi meningkatkan martabat perekonomian rakyat dengan baik-baik. Tak paham saya soal alasan ekonomi, alasan budaya, apalagi alasan politik. Saya hanya paham satu alasan: arak dilestarikan agar kita bisa dengan mudah menciptakan penjor secara kreatif dan mandiri, terutama pada Hari Raya Galungan. Percayalah, ini alasan subyektif.
Begini. Dulu, saat saya kanak-kanak hingga usia ABG, pada saban jelang Galungan, kami sekawan sekampung, berlomba memburu ambu (daun aren/jaka/nira muda) ke semak-semak tegalan, lereng bukit atau tepi-tepi sungai. Dasar anak-anak kampung, dulu, memburu ambu adalah salah satu mainan mewah serangkaian menyambut Galungan. Tentu lantas diikuti mata pelajaran membuat penjor, lengkap dengan pernak-pernik hiasan dari bahan ambu. Mendirikan penjor dan menciptakan hiasan dari ambu, seperti salang waluh dan gelang-gelangan, jadi ajang kreatifitas ala kampung, yang murah, meriah, membahagiakan dan mandiri.
Kini, setiap menjelang Galungan, banyak kawan-kawan saya di kampung, paman saya, bapak saya, dan tetangga saya, mengeluh betapa susah mendapatkan ambu secara murah dan meriah. Pohon aren sudah langka bahkan nyaris punah. Jika pun pohon itu tumbuh dengan sendirinya di semak-semak, tak ada yang sudi merawat. Pohon itu dibiarkan kesepian seperti jomblo dijauhi teman, akhirnya mati perlahan dikaput semak.
Lha, kok ya susah-susah memikirkan ambu. Hidup kini serba praktis. Melamunkan punahnya pohon aren adalah kerja intelektual gagal yang sia-sia. Jangan cengeng, ambu masih mudah didapat, tentu dengan membeli di pasar. Kiriman dari luar Bali melimpah. Atau, bahkan ada penjor langsung jadi yang bisa dibeli di tepi jalan. Harganya variatif, dari ratusan ribu hingga jutaan. Hanya, mungkin hiasannya bukan dari ambu, melainkan dari daun-daun sejenis palma, mungkin dari hutan di Kalimantan yang pohonnya saja tak kita kenal.
Memelihara pohon aren, di zaman sekarang tak ada untungnya. Ia dipuji oleh orang-orang bijaksana sebagai pohon serbaguna, tapi dicampakkan karena tak menguntungkan lagi secara ekonomi. Buahnya bisa dibuat es kolang-kaling, tapi anak-anak lebih suka es krim. Batangnya bisa dibuat sagu untuk bubur ongol-ongol atau untuk menu makan bebek. Tapi bubur ongol-ongol kalah jauh dengan bubur ayam mozzarella, dan bebek kini tak makan sagu tapi makan sentrat.
Batang besar buah aren bisa disadap. Hasilnya bisa jadi tuak manis, lalu jadi gula aren, atau bisa jadi tuak wayah dan arak. Tapi siapa yang mau jual tuak manis yang usia enaknya sangat-sangat terbatas. Siapa mau bikin gula aren? Selain rumit, harganya murah. Kalau pun tuak wayah dan arak masih disukai, tapi tak banyak yang mau ambil risiko di depan hukum. Sial sedikit, bisa dicokok polisi.
Pohon kelapa yang juga penghasil tuak dan arak bernasib sama. Ia dianggap serbaguna, seluruh unsur pada pohon kelapa punya manfaat dan guna. Daunnya untuk atap dan pohonnya untuk bangun rumah, tapi rumah kini dibuat dari beton dan kayunya dari Kalimantan. Buahnya bisa dibuat minyak tanusan yang diproses secara tradisional. Tapi tak banyak yang sudi bikin minyak tanusan dengan ketekunan dan energi ekstra itu.
Soal minyak kelapa ini, saya pernah dengar cerita samar-samar. Bahwa dulu ada semacam kampanye yang mempengaruhi citra orang terhadap minyak kelapa. Minyak kelapa dikatakan tidak sehat, kolestrolnya tinggi, tak bagus untuk dikonsumsi. Kampanye berhasil, ibu-ibu kemudian beralih ke minyak kelapa sawit yang memang kemudian beredar melimpah di toko dan warung-warung.
Saya tak tahu apakah cerita itu benar, namun kenyataannya pabrik kopra yang dulu banyak dibangun di Bali kini perlahan tutup. Imbasnya, pohon kelapa pun banyak ditebang karena buahnya jadi murah, hanya dibutuhkan untuk upacara agama, dan tak begitu diperlukan oleh industri. Untunglah (jika ini bisa disebut menguntungkan), pariwisata jadi penyelamat, karena buah kelapa yang muda bisa dijual mahal di restoran, bahkan lebih mahal dari buah kelapa matang yang sebenarnya bisa digunakan untuk banyak hal.
Jadi, saya melamun lebih jauh, bagaimana kalau bahan-bahan tradisional untuk pelestarian kebudayaan adiluhung itu diselamatkan dengan memberdayakan produk-produk dari pohon tropis peninggalan leluhur itu sehingga ia bisa masuk dengan leluasa ke arena industri. Ambu dan janur, diselamatkan dengan cara memberdayakan produk gula aren dan memperjuangkan kembali citra minyak kelapa di dunia industri, setidaknya industri kecil dan menengah. Bila perlu pembuat gula aren dan minyak kelapa diberi subsidi, lalu tata niaganya dilindungi dengan cara apa pun agar tak mudah dikuasai tengkulak nakal.
Saya tahu sejumlah teman secara swadaya sudah mulai membangkitkan citra gula aren, tuak manis dan minyak kelapa tradisional di lapak-lapak modern, bahkan banyak yang dijual online. Selain itu, ada juga yang kembali memasarkan dengan amat gembira kue-kue tradisional yang masih punya kaitan erat dengan gula aren semacam laklak dan klepon, atau kue yang berhubungan dengan kelapa semacam urab ubi. Itu semua, saya pikir, adalah satu cara bagus untuk menyelamatkan ambu dan janur, agar kita bisa bikin penjor Galungan dengan kreatif dan mandiri.
Jadi, ketika Gubernur Wayan Koster melegalkan arak Bali, saya termasuk orang yang tak sadar mengangguk-ngangguk bukan karena mabuk. Karena jika arak Bali diproduksi dengan tata niaga yang baik dan aman, maka ambu pun bisa diselamatkan. Penjor Galungan bisa dibuat dengan mudah. Sekali lagi, ini alasan yang sangat subyektif dan personal, mungkin hanya pelamun seperti saya yang tak punya kerjaan ini yang menghubung-hubungkan hal-hal seperti ini
Kalau ditanya apakah arak itu minuman baik atau minuman yang punya pengaruh buruk? Saya tak bisa menjawab karena saya bukan penggemar arak. Saya penggemar tuak manis campur mujito di restoran seorang teman di Tanjungbungkak Denpasar. Tapi tunggu, saya punya teman sekaligus guru. Ia seorang petani berpikiran modern dari Munduk, Buleleng. Namanya Putu Ardana. Ia punya cerita tentang tahapan orang minum arak.
Kata dia, di Bali ada tertulis dalam naskah kuno tentang tahapan dan tata cara minum arak. Satu sloki itu menyehatkan, disebut Eka Padma Sari. Dua sloki menggembirakan, disebut Dwi Martani. Tiga sloki menaikkan rasa percaya diri. Empat sloki sudah mulai berpengaruh buruk, mulai kehilangan kendali diri. Dalam naskah kuno hal itu disebut Catur Wanara Rukem, atau setelah meminum sloki keempat itu prilaku si peminum jadi seperti monyet berebut buah. Yang lucu itu istilah sloki kesembilan, Nawa Wagra Lupa, yang artinya macan lunglai setelah muntah-muntah, dan sloki kesepuluh disebut Dasa Buta Mati atau bangkai raksasa.
Nah, jika berhadapan dengan arak, tinggal pilih, mau menyehatkan, menggembirakan, atau mau jadi “bangkai raksasa”.[T]
Catatan: