Sebagai dokter, saya punya pengalam sangat menarik terkait dengan bahasa Bali. Suatu hari saya visite pasien ruangan yang kebetulan seorang pemuka agama Hindu atau sulinggih, kalau tidak salah seorang Bhagawan, tepatnya Ida Bhagawan. Saya kurang begitu paham pengklasifikasian pemuka agama dalam budaya Hindu di Bali, karena selain Bhagawan ada pula Pandita, Sri Empu, Bhawati dan Peranda. Mungkin kita perlu bahas ini lain kali saja, karena yang ingin saya bahas saat ini adalah pengalaman praktek sebagai dokter menggunakan bahasa Bali.
Terus terang, bertemu dengan seorang sulinggih bagi saya rasanya seperti bertemu seorang polisi, ciut nyali, berdebar seakan bakal kena tilang saja. Ini semua gara-gara saya merasa tak mampu bicara bahasa Bali halus yang semestinya menghadapi seorang sulinggih. Jika salah, apa tak celaka saya nanti, bukankah mereka orang suci? Apalagi, selama ini saya lebih sering bicara dalam bahasa Bali kasar gaya Buleleng. Bahasa sehari-hari dengan teman-teman akrab, yang bertaburan kata-kata, maaf, “cicing” atau anjing. Sampai-sampai ada joke di antara kami, jangan-jangan kasus rabies di Buleleng masih saja terjadi lantaran banyaknya “cicing” yang keluar dari mulut kami.
Kembali pada kisah saya mengunjungi pasien seorang sulinggih tersebut, saya telah mengumpulkan segala keberanian dan kemampuan. Dengan gestur penuh wibawa namun tetap ramah, saya tersenyum kepada Ida Bhagawan yang berbaring di atas tempat tidur pasien dan bertanya, “Rahajeng semeng, Atu, punapi indik ngajeng iwawu?” Artinya “Selamat pagi, Pak, bagaimana tadi makannya?”. S
aya merasa hebat mantap telah menyampaikan pertanyaan dalam bahasa Bali yang pantas untuk seorang sulinggih, perawat yang menemani saya ikut tersenyum, sepertinya kagum dan tak menyangka saya mampu bicara bahasa Bali halus. Sang sulinggih tersenyum dan menjawab, “Nggih becik-becik!” Artinya, “Ya baik-baik!”
Namun beliau kemudian meluruskan,“Raos sane patut, nenten ja ngajeng, nanging ngerayunang, hehehe.” Artinya, “Kata yang tepat bukanlah ngajeng untuk makan, namun ngerayunang.” Tawa beliau di akhir kalimatnya bagai sentilan jari-jari jahil pada telinga saya, memberi campuran rasa panas dan perih. Tak ada pilihan lain bagi saya selain mengangguk, walaupun kedua kata tersebut punya arti sama, lalu melanjutkan percakapan dalam bahasa campuran Bali Indonesia. Saat meninggalkan ruangan pasien, senyum perawat yang menemani berubah menjadi cekikikan.
Akhirnya teman-teman paramedis pun berbagi cerita, mereka juga pada stres menghadapi pasien Ida Bhagawan, bukan apa-apa, karena boleh dibilang semuanya tak bisa bicara bahasa Bali halus. Demikian juga saat mereka bicara menggunakan bahasa Indonesia dan menghindari berbahasa Bali karena kuatir salah, Ida Bhagawan melontarkan kritik. Inti kritik beliau adalah, kok generasi muda zaman sekarang cenderung kurang peduli dengan bahasa ibu?
Kami jadi agak malu dengan situasi ini, apalagi saat ada seorang dokter dari Solo, Jawa Tengah datang bergabung bekerja di RSUD Buleleng. Pasalnya, dokter ahli paru cantik itu sangat giat berusaha belajar bahasa Bali. Setiap selesai memeriksa seorang pasien, ia selalu menutup pertemuannya dengan kata-kata “Sing kengken!”, yang artinya “Tidak apa-apa”.
Ungkapan ini telah menyejukkan perasaan pasien-pasien yang umumnya diselimuti perasaan cemas akibat penyakit yang dideritanya. Apalagi itu disampaikan dalam bahasa daerah pasien yang bersangkutan. Jadi betul sepertinya, dengan bahasa kita akan dapat menguasai suatu bangsa.
Bagi seorang dokter, menguasai bahasa daerah akan dapat memberi dampak psikologi positif bagi pasien-pasien yang ditanganinya. Seorang dokter sebaiknya menemukan padanan istilah-istilah medis dalam bahasa daerah di mana ia bekerja. Selain manfaat psikologi, bahasa setempat pun memberi dampak positif dalam aspek edukasi karena pasien akan lebih mudah untuk memahami informasi medis yang disampaikan dokter. Tidak sedikit kejadian dan pengalaman, komunikasi dokter dengan pasien dan keluarganya tak nyambung karena sulit memahami istilah-istilah medis yang ruwet dan membuat lidah keseleo. Bicara dengan pasien, bukanlah sebuah pertemuan ilmiah, maka sedapatnya seorang dokter menggunakan bahasa daerah yang sederhana namun memberi makna yang kuat.
Satu contoh, satu penyakit dalam bahasa Bali yang dikenal dengan nama “tilas naga” dalam bahasa medisnya adalah Herpes zooster. Maksud keduanya sama, yaitu satu penyakit yang disebabkan oleh sejenis virus yang menyerang sistem saraf hanya di satu sisi tubuh, dengan memberikan gejala bintil-bintil berair. Konfigurasi bintil-bintil berair atau yang dalam istilah medisnya disebut bula itu, menyambung memanjang seperti bentuk seekor ular atau naga. Jika menggunakan istihah Herpez zooster, apalagi untuk pasien lansia dari pegunungan, memang betul-betul akan bisa membuat lidah mereka keseleo saat ingin mengucapkannya. Namun jika kita bilang tilas naga, itu sudah menjadi kosa kata yang jamak didengar oleh masyarakat Bali.
Dulu, di desa Bantenan, di wilayah kecamatan Sukasada, saya pernah mendengar istilah yang sangat unik dan lucu untuk kata berobat, yaitu “ngalih jaum”. Ngalih jaum adalah bahasa Bali yang artinya mencari jarum. Istilah ini sekaligus akan memberi kita makna yang lebih luas, akan sebuah tradisi dan budaya. Secara harfiah ngalih jaum atau mencari jarum merujuk pada seorang pasien yang datang ke puskesmas atau ke dokter untuk disuntik obat.
Lebih luas istilah ini telah menggambarkan sebuah persepsi dalam masyarakat setempat, bahwa berobat itu identik dengan mendapatkan suntikan. Jika dokter tak memahami hal ini, maka ia takkan pernah memberi suntikan kepada pasiennya. Jika paham, walau suntikan itu tak betul-betul diperlukan, maka setidaknya dokter akan memberi edukasi yang memuaskan untuk pasiennya yang selalu minta suntikan itu. Akan menjadi kisah teramat konyol, jika pasien datang ke puskesmas bilang ngalih jaum, lalu dokternya menunjukkan toko alat-alat kerajinan tangan kepadanya! [T]