Rabu, tanggal 22 januari 2020 tepatnya pukul 13 lewat 29 menit, saya ditelepon oleh pemilik Mahima Institute yaitu Pak Ole. Kaget karena saat ditelepon saya sedang menguji proposal mahasiswa. Tambah kaget karena tetumben bos tatkala.co menelepon karena biasanya saya yang menghubungi via wa jika akan mengirim tulisan yang nantinya akan diterbitkan di tatkala.co.
Selesai menguji mahasiswa, saya menelepon balik, ternyata Pak Ole menyampaikan berita bahwa akan ada acara bedah buku. Buku yang akan dibedah berjudul “Rakyat Bukan Papan Begesting (esai-esai dari facebook dan ruang ilmiah) karya sang rektor Universitas Panji Sakti yaitu Pak Gde Made Metera. Acara Bedah buku diadakan hari Selasa, 28 januari 2020 yang diselenggarakan di Dinas Arsip dan Perpusatakaan Pemkab Buleleng.
Saat berkomunikasi via telepon, Pak Ole menyampaikan bahwa penulis buku meminta agar saya menjadi salah satu pembedah buku tersebut sedangkan pembedah yang lain boleh bebas ditentukan oleh Pak Ole dan Dinas Arsip dan Perpusatakaan Daerah. Ini surprise buat saya, karena dipercaya langsung oleh sang penulis untuk membedah bukunya terlebih ini adalah pengalaman pertama dalam melakoni tugas ini.
Tentu ini sebuah tantangan. Saya terima tantangan ini sebagai bekal untuk menyelam lebih dalam ke dunia tulis menulis. Pada kesempatan yang baik ini, saya akan membedah atau membahas 2 hal terkait buku karya Pak Rektor. Pertama, saya akan membahas penulisnya yang kebetulan saya pernah menjadi “sopir pribadinya” dalam 2,5 tahun terakhir dan kedua, saya akan membahas karyanya yang memuat 12 topik yang berbeda.
Membedah Sang Penulis
Perkenalan awal dengan Pak Rektor dimulai awal tahun 2017 saat saya baru bertugas kembali ke Undiksha setelah menjalani tugas belajar studi doktor. Pak Metera adalah salah satu anggota dewan pengawas (Dewas) BLU Undiksha. Ketua Dewas dijabat oleh Kabiro Kementerian Ristekdikti Jakarta dan anggota lainnya adalah Kakanwil Perbendaharaan Provinsi Bali.
Saya sendiri dipercaya sebagai sekretaris Dewas. Alasan menjalankan tugas sebagai sekretaris, membuat intensitas komunikasi relatif sering hal ini dikarenakan Dewas adalah unit baru di kampus Undiksha. Kegiatan rapat sering dilakukan, malah kegiatan tersebut lebih sering diadakan di Denpasar sehingga saat bertugas kerapkali mengambil tugas ganda yakni sebagai sekretaris sekaligus menjadi “sopir” Pak Rektor.
Perjalanan Singaraja-Denpasar kembali lagi ke Singaraja bahkan pernah menemani sampai ke Kota Makasar dan Jakarta membuat hubungan kami makin dekat. Kedekatan kami tercermin dari obrolan yang kadang serius, kadang “kangin-kauh” kadang juga membicarakan hal-hal yang teramat serius yakni tentang kehidupan (sekala-niskala).
Dari obrolan tersebut banyak hal yang dapat saya gali dari Pak Rektor. Pak Rektor adalah seorang Rektor yang gaul dan milenial. Hal ini dibuktikan dengan keaktifan beliau bermedia sosial seperti facebook. Tidak banyak pimpinan perguruan tinggi di Bali yang aktif di media sosial.
Uniknya, jumlah kalimat pada status facebook Pak Rektor jumlahnya relatif banyak untuk ukuran status di media sosial. Disamping itu topik yang dibahas juga sangat unik, bisa berupa materi saat menjadi narsumber seminar, saat menjadi moderator atau saat mengikuti acara mukernas. Ini sangat berbeda dengan perilaku umum di dunia maya dimana status ataupun foto yang diunggah kebanyakan yang berbau hedonis.
Banyak pelajaran hidup yang didapat dari diri Pak Rektor. Nyak-nyak dogen (mau-mau saja) itulah jawaban yang keluar ketika ditanya alasan kenapa bisa dan mau mengambil pekerjaan di tempat yang berbeda dan terkesan jauh dari bidang keilmuan yang didalami. Kondisi ini kerap membuat Pak Rektor mendapat banyak sebutan seperti, konsultan, penggarap proyek pemda, narasumber, pengamat ekonomi, pengamat politik, pengamat pembangunan dan banyak lagi sebutan yang lain seiring pekerjaan yang dilakoninya. Saya pun pernah berkelakar bahwa Pak Rektor adalah ahli di banyak bidang, iya karena memang demikian adanya.
Hal lain yang membedakan dirinya dengan kebanykan orang adalah, saat menerima pekerjaan baik dari Pemda, KPU, Bawaslu atau tempat lain, Pak Rektor tidak pernah bertanya imbalan/upah/gaji atau apalah namanya. Pak Rektor akan langsung menyanggupi. Ini sebenarnya mengingkari prinsip dalam ilmu manajemen yakni cost and benefit. Pak Rektor sangat yakin bahwa pemberi pekerjaan sudah memikirkan harga yang pantas untuk pekerjaan yang ditawarkan kepadanya.
Pak Rektor juga siap menerima dengan ikhlas jika dalam menerima pekerjaan dibayar dengan harga murah. Alasannya adalah bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan jauh lebih singkat jika dibandingkan dikerjakan oleh orang lain.
Sehingga Pak Rektor beranggapan bahwa hanya sedikit pengorbanan yang dilakukan sehingga wajar jika menerima imbalan yang kecil. Tapi pengalamannya bertutur bahwa Pak Rektor selalu mendapat imbalan melebihi dari apa yang diperkirakan di awal sehingga rasa syukur selalu menjadi tamu dalam kesehariannya.
Terkait mendapat pekerjaan, Pak Rektor belum pernah mengajukan proposal ke pemberi kerja. Pak Rektor selalu diminta untuk membantu mengerjakan pekerjaan, tentu ini sangat berbeda dengan kebanyakan orang. Saya meyakini bahwa Pak Rektor mengikuti sesuluh tetua Bali “eda ngaden awak bise, depang anake ngadanin”.
Terakhir saya juga mendapat bahan renungan yang mendalam terkait sikapnya tentang imbalan dari sebuah pekerjaan. Sekali lagi kenapa Pak Rektor tidak pernah mempertanyakan imbalan di awal maupun saat menerimanya di akhir pekerjaan.
Pak Rektor dengan gamblang menyampaikan bahwa karena kebutuhan dan atau keinginannya sangat sedikit sehingga membutuhkan uang sedikit untuk memuaskan itu. Tentu ini jauh berbeda dari kebanyakan orang di era yang penuh dengan pragmatisme. Mungkin karena sikap tersebutlah, Pak Rektor layak dan akhirnya dipercaya menjadi ketua PHDI Kabupatan Buleleng.
Membedah Karya
Buku ini menarik dibaca dikarenakan sumber tulisan ini berasal dari status-status facebook. Status facebook yang dibuat oleh kebanyakan orang terutama anak muda terkesan ringan, minim kalimat sehingga menimbulkan multi tafsir. Anak muda hanya meyakini bahwa “saya bermediasosial dan oleh karena itu saya ada”. Sehingga untuk alasan eksistensi semata terkadang mengabaikan hal-hal yang bisa bertentangan dengan norma maupun koridor hukum.
Fakta yang mencengangkan bahwa beberapa kasus kriminal yang terjadi di dunia maya salah satunya disebabkan oleh tulisan yang tertuang dalam status facebook. Pembuat status sudah ada yang dipidanakan dan masuk penjara. Status facebook bisa membuat seseorang mendekam di jeruji besi tapi di tangan orang yang bijaksana status facebook bisa menjadi cikal bakal lahirnya sebuah buku. Inilah yang dilakukan oleh Pak Rektor.
Ulasan tentang media sosial pun ada di buku ini, tulisan tersebut diberi judul “bermedia sosial secara sehat dan aman”. Pada tulisan tersebut, Pak Rektor menyampaikan manfaat bermedia sosial. Pertama, media sosial dapat dipakai sebagai sarana belajar, mendengarkan dan menyimpan gagasan, dan kedua, media sosial dipakai sebagai sarana dikumentasi. Kedua manfaat itu sudah dirasakan oleh Pak Rektor salah satu hasilnya adalah sebuah buku.
Variasi topik membuat buku ini layak dan penting untuk dibaca oleh berbagai latar belakang pembaca. Ada 12 topik yang disajikan, tentu hal yang tidak mudah dilakukan oleh kebanyakan orang apalagi yang minim pengalaman. Pemilihan topik yang dibahas juga mengalir seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi terkini. Pada beberapa tulisan akan ditemukan bahwa sumber inspirasi tulisan tersebut adalah bersumber dari respon atas sebuah kejadian, misalnya pada tulisan yang berjudul mengapa kaum milenial tertarik menjadi ASN?.
Sumber inspirasi tulisan tersebut adalah sebagai respon terhadap situasi pembukaan formasi CPNS. Terkait gaya Bahasa, pemilihan gaya bahasa yang digunakan sangat sederhana tetapi tetap mempertahankan kedalaman analisa yang mencerminkan bahwa penulis adalah seorang inteletual mapan yang sudah memiliki jam terbang yang tinggi. Hal ini pula yang menjadi sebuah kelebihan sehingga beberapa OPD tidak bisa “melepaskan diri” dari sentuhan tangan dingin Pak Rektor.
Hal lain yang cukup unik dari proses terciptanya tulisan-tulisan ini adalah bahwa tulisan ini tidak tercipta dari atas meja kantor melainkan saat berjemur di ex pelabuhan Buleleng sehabis jalan santai di pagi hari atau saat berendam di bak kamar mandi sekitar jam 11 malam menjelang tidur. Ini adalah sebuah hal yang unik sekaligus lucu. Tetapi itulah proses dan ritual untuk melahirkan sebuah tulisan yang sederhana tapi sarat akan kebermaknaan sebuah situasi.
Terakhir sebagai penutup ulasan, tentu pembaca dan saya mempunyai sebuah pertanyaan, apa sebenarnya rahasia dibalik semua itu, apa rahasia Pak Rektor kenapa mampu menyelesaikan pekerjaan di berbagai jenis OPD yang berbeda tupoksi dan berbeda bidang keilmuan, apa rahasia kenapa beberapa OPD tidak berani melepaskan diri dari “ketergantungan” dengan Pak Rektor. Jawabannya adalah bahwa Pak Rektor menekuni dan menguasai bidang kajian budaya yang menjadi disiplin ilmu yang dipelajarinya saat studi program doktor di Universitas Udayana.
Pak Rektor berkeyakinan bahwa tidak ada persoalan yang berurusan dengan manusia yang tidak membutuhkan kajian budaya. Keyakinan tersebut disampaikan saat Pak Rektor diminta memberikan testimoni mahasiswa magister dan doktor kajian budaya dalam seminar yang dilaksanakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. [T]