Seorang Sir Thomas Stamford Raffles, yang pernah memegang kekuasaan singkat di wilayah Indonesia, menulis sebuah buku berjudul The History of Java—atau Sejarah Jawa. Dalam bukunya yang sarat informasi itu, Raffles menulis: bahwa orang pedesaan Jawa adalah bangsa terbahagia di dunia yang pernah ia temui.
Betapa tidak, para petani Jawa yang laki-laki dari berbagai usia memulai harinya di pagi buta, dengan bernyanyi-nyanyi (nembang atau ngelenggeng) membawa kerbau-kerbau (atau sapi) mereka ke sungai untuk dimandikan. Setelah itu dengan bernyanyi-nyanyi ia bekerja membajak dan meluku sawahnya yang subur. Memasuki pertengahan hari, kala mentari pas berada di atas kepala, mereka akan berhenti sejenak untuk makan siang. Sebelum melanjutkan pekerjaannya, biasanya mereka nembang sambil memainkan gambangan yang terbuat dari bilah-bilah bambu yang disusun berdasarkan nada.
Meskipun mereka hanya makan sekali atau dua kali sehari, kehidupannya penuh dengan produksi kesenian, minimal nyanyian spontan yang secara tradisional dinamai ‘uro-uro’ dan tidak dianggap sebagai kesenian.
Sedangkan perempuan Jawa, sambil menjadi petani, ibu rumah tangga, untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sandang, di sela-sela kesibukannya, mereka masih menyempatkan diri untuk memintal benang sendiri; kemudian menenunnya; lalu membatiknya.
Maka tak salah, jika seorang Soekarno, pejuang, Bapak Proklamator Indonesia, Presiden pertama Republik Indonesia berkali-kali mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah Het artisten volk, suatu bangsa yang artistik, suatu bangsa seniman.
Tetapi di zaman yang kacau ini, kesenian rakyat atau budaya/kearifan lokal, mengalami kemerosotan yang serius. Tak terkecuali budaya memintal benang, menenun, dan membatik di desa saya, Desa Gaji, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban. Padahal, budaya memintal, menenun, sampai membatik adalah budaya adiluhung yang seharusnya dilestarikan sampai sekarang.
Generasi muda sekarang ini tampaknya tidak bisa membedakan antara mana yang menjadi “kekayaan” dan mana yang dianggap sebagai “ketertinggalan”. Terkadang, kita terbalik dalam menilai itu. Apa yang seharusnya menjadi “kekayaan”, tapi dianggap sebagai “ketertinggalan”.
Memintal benang, menenun, dan membatik adalah kekayaan. Bukan suatu ketertinggalan. Ini adalah identitas kita. Identitas bangsa. Harusnya kita bangga dengan itu. Sungguh sayang jika nilai-nilai adiluhung seperti ini, hanya tinggal cerita-cerita saja nantinya.
Terkadang saya membayangkan, seandainya di setiap sekolah formal menengah atas di seluruh Kabupaten Tuban—atau paling tidak di Kecamatan Kerek saja—menjadikan budaya memintal benang, menenun, dan membatik sebagai salah satu ekstrakulikuler mereka. Setiap siswi yang memilih ekstrakulikuler ini, pastinya akan memperoleh tambahan uang saku atas produk kain tenun atau kain batik yang dihasilkan; dan akan terus menjiwai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Selain melatih kreativitas tangan lebih terasah, juga mendiri (atau berdaulat) atas ekonomi. Sekolah yang bertugas memfasilitasi dan memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh siswi-siswinya pun, juga akan mendapat beberapa persen pendapatan dari penjualan itu.
Saya juga membayangkan, bagaimana—paling tidak pemerintah desa—mengadakan festival kecil-kecilan dalam rangka pelestarian budaya memintal, menenun, dan membatik. Membuat pelatihan-pelatihan atau pameran-pameran ditingkat kabupaten juga sangat penting dalam hal ini.
Tentu saja masih banyak cara untuk melestarikan budaya adiluhung ini. Yang intinya, semua bertujuan untuk menjaga budaya ini tetap lestari.
Apalagi dalam hal ini, Desa Gaji, Kecamatan Kerek, sebagai desa dengan kultur agraris yang padat penduduk, persoalan utama yang akan dihadapi adalah persoalan tekanan kepada lahan pertanian.
Kebutuhan untuk bertahan hidup dan memperjuangkan kesejahteraan dengan cara mengeksploitasi lahan semampu-mampunya membuat pembantalan lahan sulit dikendalikan; dan penghutanan lahan bekas jarahan di lahan hutan menjadi terkendala. Belum lagi permasalahan persengketaan tanah dengan pabrik semen yang berlarut-larut—yang sampai sekarang tak ditemukan benang merahnya.
Masyarakat petani—khususnya petani Desa Gaji—perlu mengembangkan sumber-sumber ekonomi lain sehingga lahan bukan satu-satunya sumber kehidupan. Salah satu kemungkinan adalah mengembangkan wisata desa dengan segala efek ekonomi turunannya. Beberapa daya tarik pedesaan yang dapat dijual adalah kebersihan, kesenian, dan tradisinya, bilamana ketiga hal itu dapat dihidupkan, saya yakin, perekonomian di desa tidak hanya bertumpu kepada hasil pertanian semata.
Sekarang, pertanyaannya adalah: mau atau tidak? Semua tergantung kita sendiri. [T]