Keinginan untuk pulang kampung masih saya simpan rapat-rapat. Walaupun begitu, terkadang ia meneror hingga tak tahan lagi rasanya. Ingin sekali saya pulang kampung barang sejenak. Memecah rindu, memungut kenangan.
Kenangan. Seperti kata Bagja Hidayat: Jika kenangan punya wajah, ia akan tersenyum karena manusia tak akan bisa lepas mengingatnya. Jika kenangan seperti kaset film, ia akan terputar tiap kali ada momen yang memantiknya. Kenangan seperti memorabilia dalam bawah sadar kita: ia bertumpuk dan membentuk déjà vu pada ingatan manusia.
Dengan kata lain, kenangan semacam teror yang tak lekas lekang. Ia seperti film dan buku yang bagus yang terus bercokol meski kita selesai menonton dan membacanya. Ia teror yang menyatu dalam ingatan.
Terorkenangan kian menjadi saat saya mendengarkan lagu Cedarwood Road. Ini lagu grup band U2 di album terakhir mereka, Song of Innocence. Walaupun tidak hafal liriknya, tetapi saya sangat menikmatinya.
Bono, yang menyanyikan dan menulis lagu ini, sedang mengenang kampunya di Irlandia Utara. Ia lahir dan tumbuh di Cedarwoord Road 10, perkampungan dengan jalan lurus dan sungai yang lebar, juga bunga ceri yang mekar di kiri-kanannya.
Dengan nada agak murung, Bono mengenang sungai yang mengalir sepanjang jalan pinus: “Menyeberang dari sisi Selatan ke Utara, sungguh perjalanan yang jauh.”
Tiba-tiba saya teringat kampung halaman. Rumah, sebagai tempat kembali, tempat hidup, tanah air. Seperti kata Bono, kita selamanya tak akan bisa melepaskan kampung halaman, seberapa jauh pun kita meninggalkannya, seberapa keras dan sengit pun kita berkonflik dengannya, cause it’s never dead, it’s still my head. Bono selamanya terkenang Cedarwood Road karena jejak hidupnya ada di sana.
Berbicara tentang kampung halaman tidak bisa saya lepaskan dari kata ‘Bapak’. Walapun dalam banyak variasi, kampung halaman bisa berbentuk apa saja—ia tempat yang membentuk watak dan jalan pikiran kita.
Bapak. Pada suatu masa dalam hidupnya, dialah orang yang selalu terjaga ketika Emak sedang mengandung saya. Pada suatu masa dalam hidupnya, dia yang setia mengajari saya menulis aksara dan bahasa (padahal dia SR (Sekolah Rakyat) saya tidak lulus).
Bapak. Pada suatu masa dalam hidupnya, dia yang selalu memasukkan saya dalam keranjang kemudian memikulnya ketika berangkat ke ladang saat hujan dan jalanan licin (sebelum bapak memiliki sepeda onthel).
Pada suatu masa dalam hidupnya, dia yang rela duduk di bangku belakang menemani saya belajar di dalam kelas pada saat saya masih kelas satu MI (SD). Sebab saya tidak mau sekolah jika harus ditingal sendirian. Saya bocah penakut.
Pada suatu masa dalam hidupnya, dia yang tak kenal lelah, mengajari saya mengendarai sepeda, walaupun dia harus berlari terpontang-panting untuk mengajar saya. Pada suatu masa dalam hidupnya, dia yang selalu sabar menghadapi kenakalan saya.
Pada suatu masa dalam hidupnya, dia yang selalu membelikan saya mainan (atau baksonya Pak Kasan, kadang juga baksonya Pak Derman) setelah menjual hasil panen dari ladang. Pada suatu masa dalam hidupnya, dia yang selalu merawat saya di kala sakit—dan selalu berkata: “Kuatlah, Cung! Sehatlah. Pada akhirnya, diri kita sendirilah, yang mampu menyembuhkan.”
Pada suatu masa dalam hidupnya, dia melepas saya untuk mandiri di luar Pulau Jawa, termenung setiap hari di ldang menanti saya kembali. Pada suatu masa dalam hidupnya, dia berkaca-kaca, haru, setiap saya pulan sebentar, kemudian pergi lagi.
Dalam setiap detik dalam hidup saya, saya tidak pernah merasa tidak banggsa memiliki Bapak seperti dia. [T]