Aku bukan Soe Hok Gie, aku bukan Munir, aku bukan Wiji Thukul, aku bukan Che Guevara aku juga bukan mereka yang berlipat ganda dan aku bukan aku. Aku adalah pertanyaan yang masih mencari peng’aku’an. Aku mencari-cari, aku bertanya-tanya. Sebab pencarianku belum usai. Sebab jawaban dari pertanyaanku yang telah aku dapat tak terjawabkan dengan nilai-nilai. Nilai kebenaran dan kejujuran. Apa mungkin kebenaran juga bagian dari perspektif masing-masing individu dan kelompok,lantas kejujuran ikut serta dari bagian itu? Lalu seharusnya aku memandang kehidupan dari sudut yang mana? Bisakah aku mendefinisikan kehidupan adalah pilihan perspektif?
Aku memikirkan kehidupan, untuk apa semua ini. Kehidupan secara tidak langsung memaksa generasi ke generasi untuk saling berhubungan tetapi juga memutuskan tali hubungan itu sendiri. Apakah kehidupan adalah penghancuran itu sendiri? Ada yang mempertahankan, ada yang berusaha untuk mendapatkan dan ada juga yang kehilangan. Ini akan terus-menurus terjadi siklus kehidupan yang tiada henti. Rasanya rutinitas-rutinitas biasa ini justru menjerumuskan diriku menuju ketiadaan pengertian tentang arti sesungguhnya kehidupan. Apa yang harus aku lakukan di tengah rasa gelisah dan tak tahu arah ini.
Aku hidup dalam kemunafikan, dimana orang-orang hidup dengan penuh kepura-puraan. Seolah-olah mereka menyukai, tapi di hatinya memungkiri. Seolah mereka dalam kebahagiaan tapi mereka dalam kesengsaraan. Mereka tidak lagi wujud dari keniscayaan yang dihadapi. Mereka mencari keamanan mengorbankan keberadaban. Mereka mencari kenyamanan mengorbankan kawanan.
Hari ini kita bukanlah manusia yang bisa menghidupi, tapi kita wujud dari ancaman. Ancaman bagi mereka mahluk hidup lainnya. Ini bukanlah keberlangsungan hidup manusia saja, hanya kita yang terlalu serakah dan ingin hidup mewah dalam penindasan yang terus-menerus kita wariskan. Apa yang kita hari ini rayakan, dengan dosa-dosa yang telah kita perbuatan dengan alasan memenuhi perut. Perut manusia tak pernah kenyang karena makanan, dihatinya bersemayam keingianan untuk menguasai, mengendalikan, memanfaatkan dan memperkosa.
Manusia bukanlah Tuhan yang bisa mengatur kehidupan mahluk lainnya, tetapi yang terjadi sedemikian. Manusia memperalat mahluk lain, mengatur jumlah populasi yang diinginkan agar harga tidak anjlok merosot turun. Manusia membabat, menentukan hak hidup tanaman dan juga binatang. Rasanya terlalu kejam menjadi manusia, justru masalah menjadi manusia. Ekologi tak lagi dimengerti, penjarahan alam semakin menjadi-jadi nilai-nilai leluhur sirnah dari semayamnya hati nurani. Hari ini kita merayakan dengan gelar bahwa mahluk pintar dan cerdas itu bernama manusia. Kita menyebut mahluk lain tidak berbudi dan tidak berarti hanya bisa dinikmati. Ini yang dilakukan manusia agar tetap hidup dan memenuhi keinginan yang tak terbatas.
Aku cukup bosan dengan apa yang kita perbuat hari ini, kita disibukkan oleh material, kita lupa merawat dan memberi asupan akal menuju berpikir rasional. Entahlah hari ini kita hanya mesin penggerak ekonomi global atau mesin-mesin tak berfungsional bagi peradaban. Seharusnya kita berkontribusi untuk peradaban menyadarkan dan menyembuhkan peradaban yang telah lama dibutakan. Kita disibukan mencari uang sebanyak-banyaknya, menyembah kenikmatan yang berlebihan, popularitas dan kekayaan seakan menjadi nomor satu dalam meperlihatkan dan memamerkan.
Kini popularitas dan ketenaran tidaklah muncul dari perjalanan prestasi. Dengan membodohi diri, berbuat aneh, khonyol, mencari sensasi masalah kesana-kesini dan membahayakan diri bisa viral danberlagak sebagai selebriti. Lalu orang-orang menyebarluaskan kebodohan, menyebarkan asumsi-asumsi pertikaian dan perseteruan hingga saat ini dilarutkan oleh kebiasaan-kebiasaan tak berarti. Hari ini ketenaran hanya perlahan-lahan menyeret kita dalam lingkar kenaifan dan rasa ketidakpedulian. Dan mereka yang berkarya, berkesenian dan berprestasi tidak dapat pengakuan apa-apa di zaman ini.
Bentuk apa yang akan menyadarkan kita ditengah dilemanya dunia, ditengah abstraknya dunia. Aku rasa bukan pupolaritas, eksistensi, kesuksesan atau karir bukan juga jabatan kekuasaan terbih bukan juga doktrin-doktrin agama. Tetapi aku lebih percaya manusia disadarkan dengan petualangan berkelana masa pencarian, rasa ingin tahu, kebebasan liar dalam berekspresi imajinasi.
Apakah aku terlalu serius dan amat serius menyikapi hidup ini. Memang suka-duka silih berganti datang dan pergi. Tetapi aku mengalami titik kejenuhan dalam kehidupan dan rutinitas-rutinitas manusia, seakan aku berfikir tujuan hidup itu sebenarnya untuk apa. Hari ini aku masih tetap mencari-cari tentang hidup, ilmu pengetahuan yang mutlak dan sejati.
“Aku bernama persepsi hari ini, arah tujuanku tidak sangatlah jelas untuk dimengerti. Tapi orang-orang terus menasehati agar aku terus berani menghadapi dan tegak berdiri.“