‘Pak, bagaimanakah pandangan bapak tentang tabu di Bali?’
Jika pertanyaan semacam itu yang terlontar ketika melakukan wawancara, percayalah kita takkan pernah mendapat informasi apapun yang diinginkan. Mendengar pertanyaan sensistif semacam itu, apalagi dengan narasumber yang lekat dan terkungkung dengan pola pikir tradisi kolektif masyarakatnya, tentu akan sama kualitasnya seperti mendengar dengung tawon, yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar kita. Alih-alih menanggapinya sebagai bagian dari eksistensi yang hidup berdampingan di luar tubuh-diri, kehadiran pertanyaan atau dengung tawon ini bisa dianggap jadi gangguan yang mengancam. Tinggal menunggu waktu saja, saat sapu lidi terbentang mengayun di udara, lalu… ‘Plak!’.
Tawon mati. Tanpa pernah tahu di mana letak salahnya. Pun demikian dengan nasib pertanyaan yang diajukan kepada narasumber. Maka kemampuan memilih metode riset dengan strategi yang tepat menjadi indikator penting sesungguhnya untuk mencapai hasil yang diinginkan. Riset tak hanya melulu soal membaca literature, observasi dan wawancara. Ada kerja-kerja disiplin lain yang mesti dibarengi dalam menentukan strategi riset, penerapannya ke lapangan, hingga pada eksekusi yang dihadirkan dalam panggung pertunjukan.
Bagaimanakah kerja semacam ini menemukan alur kreatifnya? Pentas kolaborasi ‘Tabu’ yang digelar pada 6 dan 7 Desember lalu di Cushcush Galery, Denpasar dalam rangka Program Hibah Kolaborasi Yayasan Kelola ini, barangkali menjadi bahan penting untuk digunakan sebagai studi kasus.
Tabu Sebagai Kerja Kolaborasi
“Seorang anak perempuan lahir dan tinggal dalam dunia rekaan Swoofone, Siji, Gumatat Gumitit Gospel, Agung Indra dan Ninus. Melalui kolaborasi film, video mapping, fashion, musik dan tari, TABU akan membagikan perspektif subjektif ketika hal yang dikira tabu, dipertanyakan dan ditelusuri kembali.”
Demikian kira-kira pengantar pentas yang tercantum pada poster Tabu tersebar di media. Sebagai sebuah kerja kolaborasi, tabu barangkali satu dari sedikit pertunjukan di Bali yang dengan tegas mempercayai sisi-sisi disiplin ilmu para kolaboratornya. Pada adegan pertama, penonton sudah digedor dengan dentuman musik elektrik komposisi Gumatat Gumitit Gospel, dibaur dengan film dari Agung Indra pada layar putih berbentuk lingkaran belakang panggung. Sementara di sisi kanan kirinya, kain putih terjulur seperti lidah rangda, dibalur video mapping bernuansa rajah merah karya Swoofone.
Film sendiri lebih banyak memunculkan bentuk solo tari. Diperankan oleh Ninus yang mengeksplorasi kostum karya Siji. Mengisahkan perjalanan kelahiran-kematian perempuan Bali dengan segala hal tentang tabu yang menyertainya. Meski tema yang diangkat begitu rentan akan tegangan konsep kultur adat Bali, baik dari segi konstruksi simbol-simbol atas perempuan dalam praktik budaya patriarki hingga ulang alik tegangan konsep tabu antara budaya urban dan budaya lokal, menariknya pentas tabu tak lantas menjebakkan diri ke dalam bentuk-bentuk tradisi.
Idiom-idiom yang biasa hadir dalam lingkungan sosial masyarakat Bali justru dimunculkan dengan menggunakan konsep defamiliarisasi melalui pengasingan bentuk dan makna. Guwungan ayam misalnya, yang biasa digunakan sebagai tempat kurungan ayam sekaligus sebagai simbol kelahiran dalam upacara, diasingkan bentuk dan makna asalnya, menjadi topi yang dilekatkan di kepala penari. Ada pula rambut perempuan dalam upacara adat Bali yang biasa diikat sanggul, sementara dalam film dibiarkan tergerai. Pun simbol ayam jago yang biasa dibawa oleh lelaki, kini begitu saja dipasangkan dengan perempuan.
Tegangan atas bentuk defamiliarisasi ini tentu saja menjadi hal unik untuk dikuliti lebih lanjut. Sayang, pengasingan bentuk dan makna yang berjubel banyaknya ini malah tak diimbangi dengan penyajian narasi yang matang. Struktur narasi yang dibangun dalam pentas tabu dengan tak menjadikannya cerita linier, membuat pentas jadi kehilangan fokus narasi. Kata-kata seolah berhamburan keluar begitu saja, meski dalam pentas sendiri lebih banyak menyajikan bahasa visual dan gerak tubuh tanpa satupun kata di dalamnya. Hal ini rupanya diamini oleh Ninus sendiri pada diskusi, bahwa tabu, dengan begitu banyak data dan perspektif yang diperoleh, membuat para kolaboratornya tak bisa menemukan simpulan tunggal atas apa dan bagaimana sebenarnya tabu itu. Maka tabu hanya menyajikan fragmen-fragmen data yang dikritisi dengan konsep defamiliarisasi tadi.
Tak ada analisis. Tak ada refleksi lebih lanjut. Menjadikan defamiliarisasi yang semula menjanjikan untuk dikorek nilainya, jadi kehilangan daya pantulnya di benak penonton. Semacam rangkaian mercon tahun baru yang memekarkan bunga api namun tak kunjung meletup di langit-langit kepala. Yang berhasil barangkali hanya gerak tubuh Ninus dalam film. Ia lapangkan tubuhnya yang notabene tergolong kecil dan mungil untuk diberi teks, menampung narasi-narasi tentang tubuh perempuan Bali dengan segala macam tabu persoalan.
Anehnya, tubuh Ninus yang putih, kecil dan mungil ini, yang timpang dengan kesan perempuan Bali umumnya, mampu memberi daya tawar lebih akan pembacaan terhadap tubuh perempuan Bali yang tak kunjung tumbuh karena tabu yang membelenggunya. Maka tabu dalam tarian Ninus dapat diterjemahkan sebagai batasan yang mengekang dan membelenggu tubuh.
Tabu dengan Segala Potensi yang Menyertai
Sebagai sebuah ide, tabu adalah salah satu fenomena yang menarik untuk digali dan diperbincangkan. Di Bali khususnya, yang kental memegang adat budaya tradisi, tabu seperti sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Tabu adalah pantangan atau larangan terhadap satu hal yang dianggap suci sebagaimana yang terkandung dalam makna leksikalnya. Dalam konteks ini, dapat kita rasai pengaruh irasionalitas begitu lekat hadir dalam kerangka menjelaskan eksistensi suatu objek/fenomena yang dianggap suci.
Irasionalitas inilah yang dalam pentas tabu tampak hendak dipertentangan dengan kerangka pikir rasional. Boleh jadi, tabu bisa dibaca ulang sebagai kelatahan akan pembatasan struktur berpikir suatu masyarakat dari generasi ke generasi tentang suatu fenomena, yang mengerak jadi pakem di kepala orang yang memercayainya. Maka tabu bukan soal pembatasan akan suatu objek yang ada di luar tubuh saja, melainkan juga pembatasan akan tubuh serta pikiran-pikiran kita sendiri.
Alih-alih merefleksikannya sebagai tema, konsep tabu sebagai sebuah pembatasan ini malah bocor, merasuk dalam kerja-kerja tim produksi dalam menyusun pertunjukannya. Mungkin karena saking percayanya pada disiplin ilmu sendiri, para kolaboratornya justru terasa begitu tabu untuk keluar dari pakem kerjanya masing-masing. Alhasil yang tersaji adalah kerja-kerja tekhnikal pertunjukan. Seperti komposisi Gumatat Gumitit Gospel yang hanya sebagai ilustrasi musik pertunjukan, serta video mapping Swoofone yang menyajikan mapping dengan jenis dan bentuk yang hampir tak ada bedanya dengan yang biasa dihadirkan pada setiap karyanya. Jika saja ada riset dan pembacaan lebih dalam tentang tema tabu, dua bentuk seni ini sejatinya punya daya tawar lebih, di tengah minimnya bentuk pertunjukan menggunakan mapping dan musik sebagai penggalian artistik.
Jika boleh dikata, pentas tabu sesungguhnya lebih condong pada bentuk film-tari ketimbang pertunjukan panggung. Dengan porsi dan durasi film karya Agung Indra yang cukup panjang, penonton disuguhi banyak data-data riset, temuan-temuan, sampai eksplorasi nilai tabu dalam film. Menjadi persoalan kemudian ketika perspektif film hanya berorientasi jadi karya film semata tanpa pertimbangan, bahwa film sendiri akan berhadapan dengan panggung pertunjukan. Tawar menawar bentuk film, pengambilan gambar, penyajian warna, penempatan layar film setidaknya menjadi hal yang mesti dielaborasi lebih lanjut dalam rangka memaksimalkan film sebagai tontonan dalam panggung.
Hal ini dibarengi pula dengan kerja koreografi Ninus dalam panggung, yang berkebalikan dengan film. Jika dalam film, Ninus cukup berhasil membangun narasi perempuan Bali hanya dengan solo tubuhnya, namun dalam koreografi panggung, yang semestinya paling berperan memberi esensi pertunjukan, justru tak menampilkan tarinya sebagai teks. Para penari lindap dan senyap begitu saja sebagai tubuh-tubuh yang hanya merespon film.
Andai saja kerja kolaborasi dibarengi dengan kerja-kerja dramaturgi, tentulah apa yang dipentaskan punya pengaruh besar bagi penontonnya. Sebab pada kerja dramaturgilah, terbuka ruang buat membedah, mencari kemungkinan potensi dan ditata strateginya untuk sampai menemukan konteksnya di ruang publik. Ragam kostum yang dibuat Siji berdasar riset tentang cara berpakaian orang Bali, misalnya mungkin adalah yang paling berpeluang besar untuk dijadikan dasar pijak pertunjukan. Bagaimana tubuh-tubuh masyarakat Bali yang terperangkap tabu lantaran mesti menyesuaikan dengan baju adat tradisionalnya. Pun sebaliknya, bagaimana desain baju adat tradisional Bali hari ini, ingin lepas dari kungkungan tabu adat tradisinya sendiri.
Di tengah lingkungan sosial masyarakat Bali yang secara tak langsung dipaksa untuk terbuka dengan kehadiran anasir-anasir luar kebudayaan primordialnya, tabu merupakan salah satu hal yang paling rentan berhadapan secara langsung dengan lintas kebudayaan yang saling bersilangan ini. Tak jarang, tabu kian hilang dari ingatan sosial masyarakat pemeluknya, sebagaimana hilangnya eksistensi sawah, ladang, sungai, hutan yang notabene menjadi rumah reproduksi terhadap nilai-nilai tabu itu sendiri.
Maka kolaborasi pentas tabu, di luar segala kekurangan dan kelebihannya telah menjadi ruang renung tersendiri bagi para penontonnya buat membaca, mengkritisi, atau paling tidak sekadar mengenang, bahwa dulu pernah ada tabu yang begitu tabu untuk dilupakan apalagi jika tak dihiraukan.
Demikianlah, semoga saja ada tabu-tabu lain yang menyusul untuk dipentaskan. Semoga saja tak dilarang karena dianggap tabu. [T]
Denpasar, 2019