Sebagai orang yang lahir dan besar serta hingga sekarang berada di Bali, menurut saya, orang Bali akrab dengan garuda.
Secara teologi, garuda merupakan kendaraan atau tunggangan Dewa Wisnu dalam konsep Tri Murti. Pemahaman ini diajarkan sejak sekolah dasar. Saat pelajaran agama, siswa akan diminta oleh guru untuk menghafalkan tiga dewa yang menjadi bagian dari Tri Murti.
Pada pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn diajarkan pula garuda (burung) merupakan lambang negara. Di dada burung garuda juga tertera beberapa simbol yang menerangkan tentang konsep Pancasila.
Dalam bidang seni ukir, garuda menjadi salah satu bentuk ornamen. Bentuk garuda bisa dilihat dari ukiran di Pura serta hiasan pada pintu masuknya.
Bahkan ada pematung spesialis garuda asal Tegalalang, Gianyar yang karyanya sudah mendunia, I Made Ada Astawa atau yang akrab disapa Made Ada.
Selain beberapa hal tadi, salah satu lambang garuda yang bisa dilihat yakni, Garuda Wisnu Kencana atau GWK. Patung yang berada di kawasan Jimbaran ini merupakan karya dari seniman asal Kabupaten Tabanan, I Nyoman Nuarta.
Meski sempat mandek selama 28 tahun, pembangunan patung yang konon katanya lebih tinggi dari patung Liberty di Amerika ini bisa terwujud.
Saya kira orang Bali sudah sangat akrab dengan garuda, termasuk saya. Terakhir saya menggunakan pesawat terbang dengan maskapai Garuda saat pergi ke Lombok.
Kedekatan orang Bali dengan garuda semakin nyata ketika ada petinggi BUMN yang terkait dengan garuda tersandung kasus motor Harley selundupan dari Perancis. Saya tidak mengerti, apakah semuanya ini kebetulan?
Yang pasti, perbincangan tentang orang Bali dan Garuda menjadi ramai.
Bahkan, saya amati di media sosial ada yang mengungkapkan citra orang Bali yang baik, ramah, sopan, jujur dan ulet tergerus karena ulah dari petinggi BUMN yang dikabarkan dipecat ini.
Pada titik ini saya berpikir, apakah benar seperti itu? Citra baik yang melekat pada orang Bali menurut saya adalah bagian dari promosi pariwisata.
Pariwisata adalah bisnis jasa. Jasa memerlukan servis yang membuat wisatawan nyaman.
Jika, orang Bali memang memiliki sikap-sikap yang mulia, lantas kasus pembantaian 65 itu bagaimana?
Wajah beringas manusia Bali saat membunuh saudaranya sendiri menyisakan kepedihan, tangis, kehilangan, dendam, dan ingatan yang terlupakan. Sejarah kelam manusia Bali itu hadir dalam bilik-bilik ingatan para saksi sejarah yang puluhan tahun terbungkam (Suryawan, 2010: 40).
Sekali lagi, pariwisata Bali dibentuk oleh tangan kolonial. Berawal dari dua perang puputan, Badung pada 1906 dan Klungkung 1908 pemerintah kolonial Belanda merasa malu di Eropa karena korban yang timbul begitu besar. Anggota parlemen Belanda mengkritik pemerintah kolonial karena menyebabkan korban yang besar padahal kerajaan di Bali selatan tidak bersatu. Untuk menutupi aib, pemerintah kolonial memberlakukan politik etis di Bali. Salah satunya dengan memulai promosi pariwisata (Dharma Putra, 2008: 6).
Kembali lagi ke citra orang Bali yang konon sedang rusak akibat kasus penyelundupan motor Harley, saya tidak sepakat. Sebelum kasus itu terbongkar, sudah banyak orang Bali yang menjadi pejabat di Jakarta tersangkut kasus hukum hingga vonis pengadilan.
Sadarlah, sanjungan yang mengatakan sikap orang Bali itu mulia hanya jargon politisi. Serta, sekali lagi saya ingatkan, itu hanyalah omong kosong untuk menarik simpati.
Mungkin pemikiran bahwa orang Bali itu sama dengan penduduk dari luar pulaunya harus mulai ditumbuhkan. Karena sama, makanya orang Bali harus berjuang secara sama untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. [T]