Jika misalnya saya bertanya kepada orang-orang di kampung saya—khususnya pemuda sampai yang semi tua—tentang Facebook, maka hampir semua orang di sana pasti tahu. Tetapi jika saya bertanya siapa pembuat facebook, saya yakin, yang ada mereka hanya garuk-garuk kepala. Atau mereka hanya akan jawab: yang pasti orang luar negeri. Itu saja. Nama Mark Zuckerberg tidak pernah ada di benak mereka. Apalagi ejaan namanya susah sekali.
Ya. Belum lama ini, saya memang sedang mengamati geliat dunia perfesbukan orang-orang di kampung saya. Sepertinya, grafik pengguna facebook di kampung saya sedang mengalami peningkatan yang sangat drastis—tentu ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Darimana saya tahu kalau pengguna facebook di kampung saya meningkat? Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permintaan pertemanan di akun facebook saya. Dari mulai anak-anak, remaja, hingga orang tua. Dan setelah saya cek profilnya, mereka adalah orang-orang yang sama—yang dulu pernah bertegur sapa dengan saya di kampung.
Fenomena berfesbuk di kampung saya terjadi baru-baru ini saja. Diawali dari sebuah obrolan pagi di warung kopi Mbok Rondo. Obrolan yang berbuah pertanyaan, berlanjut, mewabah menunjukkan pernyataan untuk diakui—ejawantah dari sifat narsis, deklarasi diri. Dan berlanjut dengan fonomena untuk eksis kapan saja, di mana saja: di dapur eksis; di sawah eksis; di ladang eksis; di warung kopi eksis; di cangkruk eksis, di kamar mandi? belum ada yang eksis; anak sakit eksis; panen padi eksis; panen jagung eksis; minum tuak eksis; makan nasi jagung eksis; kerja di pabrik eksis; ngarit eksis; ngrawat sapi eksis; malam pertama? nggak berani eksis. Pokoknya kapan saja, di mana saja eksis.
Semenjak fesbuk masuk kampung saya, kisah-kisah baru bermunculan: ada yang lucu, dramatis, melankolis, mengharukan, romantis, hingga yang tidak berguna sama sekali. Orang-orang—tua-semi tua, muda-semi muda, remaja-semi remaja, pejabat, petani, guru, murid, semuanya—di kampung saya berbondong-bondong menyerbu toko henpon. Mereka rela hasil panennya—yang tidak seberapa—ditukar dengan benda asing yang pintar itu.
Kemudian budaya baru terbentuk. Karena fesbuk menuntun kita (fesbuk itu candu) untuk terus eksis, maka orang-orang di kampung saya jadi doyan jalan-jalan, mengunjungi tempat-tempat wisata; mulai pantai, hutan, sampai kolam renang. Bahkan, hampir-hampir semua tempat dikomodifikasi menjadi tempat wisata. Tampaknya kita memang sedang demam pariwisata. Semua tempat ingin dijadikan sebagai pariwisata. Hanya berbekal plang (atau papan) kayu yang diberi tulisan-tulisan ngejreng dengan cat warna-warni.
Tidak hanya budaya jalan-jalan saja. Semenjak fesbuk masuk kampung halaman saya, orang-orang di kampung tampaknya juga sudah tidak ketinggalan isu-isu terkini. Beberapa dari mereka bahkan secara drastis berubah menjadi pengamat politik yang getol mengomentari macam-macam isu perpolitikan di Indonesia. Padahal, seumur-umur tidak pernah bergelut secara akademis atau punya pengalaman di dunia politik. Yang penting ikut berkomentar, biar tidak dikira kudet, kata salah seorang warga kampung. Selain mendadak menjadi pengamat politik, banyak juga yang tiba-tiba berubah menjadi pakar bukan-bukan.
Dari berbagai perubahan yang terjadi semenjak fesbuk masuk tanah kelahiran saya, satu hal yang membuat saya senang, beberapa orang memanfaatkan fesbuk sebagai alat untuk jualan. Ini sangat positif. Di fesbuk, mereka jualan apa saja yang bisa dijual—dan halal tentu saja. Budaya—transaksi jual-beli—baru ini, secara tidak langsung telah meningkatkan perekonomian orang-orang kampung halaman saya (walaupun mungkin hasilnya tidak seberapa).
Selain itu, dengan adanya fesbuk, pelan-pelan, keterbukaan pikiran tampaknya juga sudah tidak terlalu mengkhawatirkan. Tetapi, meskipun begitu, saya tetap was-was kepada mereka yang tidak selektif dalam menerima luberan informasi dari fesbuk—yang per hari ini, tidak baik bagi kesehatan jasmani dan rohani.
Ya, kampung halaman saya yang kecil mungil itu, tanah air yang sedikit demi sedikit mulai bergerak lebih maju, bergerak dari kesengsaraan, sedang dilanda virus bernama fesbuk. Semoga budaya baru ini membawa kesejahteraan—dan bukan kesengsaraan. [T]
(2019).