Tidak perlu menunggu lama, pariwisata sangat “cespleng” memberikan pengaruh terhadap kelokalan di Nusa Penida. Salah satunya ialah perkara (kosakata bahasa) penamaan suata tempat yaitu objek wisata. Misalnya, Broken Beach, Angel’s Billabong, Crystal Bay, Diamond, Thousand Island, dan lain sebagainya. Nama yang begitu keren, namun sulit diucapkan oleh lidah lokal, warga Nusa Penida. Karena hingga sekarang, lidah mereka masih “slimputan” mengucapkan deretan nama-nama tersebut.
Berbeda dengan Bali daratan, nama-nama lokal masih tetap ajeg (kukuh dipertahankan). Contohnya, Kuta Beach, Nusa Dua Beach, Sanur Beach, dan lain-lainnya. Hingga sekarang pun, kita masih menjumpai nama-nama ini di Bali Selatan. Padahal, daerah-daerah tersebut telah lama berdampingan dengan pariwisata dunia.
Saya tidak tahu, apakah penamaan asing ini sebagai trik dalam mempercepat promosi sebuah destinasi pariwisata? Entahlah. Jawabannya tentu harus dibuktikan dengan penelitian-penelitian terlebih dahulu. Harus ada bukti-bukti research yang valid untuk mempertemukan korelasi penamaan dengan kecepatan promosi.
Selama ini, saya belum pernah membaca research tentang keterkaitan ini. Jangan-jangan ada, tetapi saya tidak tahu alias belum membaca. Lalu, bagaimana dengan kecepatan promosi objek wisata di Nusa Penida? Hanya dalam tempo kurang lebih 4 tahun, beberapa objek wisata di Nusa Penida dikenal cepat ke seluruh dunia. Indikatornya, para wisatawan baik domestik maupun mancanegara terus berduyun-duyun mendatangi objek-objek wisata yang ada di Nusa Penida. Data tahun 2018 memperlihatkan bahwa jumlah realisasi kunjungan wisatawan mencapai 253.472 orang per hari dari target semula 343.979. Itulah sebabnya, tahun 2019 ini pemda Klungkung menargetkan jumlah kunjungan mencapai 543.979 (radarbali.jawapost.com).
Sekali lagi, adakah karena embel-embel penamaan asing itu? Saya pikir tidak. Popularitas objek-objek wisata di Nusa Penida dipengaruhi oleh promosi yang gencar dari berbagai pihak, baik dari pemerintah (pemda Klungkung), pihak swasta (baik secara kolektif/ individual), praktisi pariwisata, masyarakat, para wisatawan, dan lain sebagainya. Para pelaku inilah yang menyebarluaskan profil-profil objek wisata Nusa Penida secara berantai di media online.
Karena itu, sarana online juga sangat berjasa mempercepat (pesan) promosi kepada masyarakat di dunia. Pemanfaatan youtube, facebook, twitter, dan aplikasi lainnya sebagai media promosi dirasakan jauh lebih efisien dan cepat. Berbeda mungkin dengan promo awal pariwisata di daerah Kuta, Sanur, dan Nusa Dua. Zaman itu, media promosi tidak semutakhir sekarang.
Jika kita masih jumawa menyebut faktor penamaan asing sebagai pendorong kecepatan promosi, maka kita pantas menyanggahnya. Coba cek ranking prestasi objek wisata di Nusa Penida. Ranking teratas justru diduduki oleh objek wisata dengan nama nasional yaitu Pantai Kelingking. Kelingking Beach masuk daftar ranking ke-9 pantai tercantik di asia versi CNN Travel, dan ranking ke-19 pantai tercantik sedunia versi TripAdvisor (Kompas.com).
Tentu prestasi ini sangat realistis. Tidak berkaitan dengan perkara penamaan, tetapi, sesuai dengan kondisi konkret objek tersebut. Dalam konteks ini, mungkin William Shakespeare benar. “Apalah arti sebuah nama.” Tapi tunggu dulu! Nama barangkali tetap diperlukan, termasuk Anda, kan?
Lalu, mengapa harus mengusik penamaan asing yang melekat pada objek-objek wisata di Nusa Penida? Bukankah itu sesuatu yang “lebay”? Sebagai warga Nusa, saya merasa tidak nyaman dengan penamaan asing itu. Ada semacam rongrongan jati diri sebagai orang Nusa. Saya yakin beberapa warga yang lain merasakan hal sama, karena saya tahu bahwa orang Nusa Penida dikenal sebagai orang yang fanatik dalam mempertahankan jati dirinya. Contohnya, dalam hal berbahasa Nusa. Walaupun sedikit berbeda idiolek dan kosakatanya dengan bahasa Bali standar, orang Nusa tidak pernah merasa malu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Nusa. Ini adalah modal dasar untuk mempertahankan identitas orang Nusa Penida. Cuma saya tidak mengerti, mengapa ketika nama-nama objek wisata berbahasa asing tidak ada yang berani bersuara (maaf, mungkin saya baperan, ya).
Pertama, mungkin bahasa Inggris (dunia) dianggap terlalu keren, simbol global, dan simbol modernisasi. Simbol-simbol inilah yang barangkali dianggap memberikan efek pencintraan positif. Pencitraan untuk menendang stereotip terisolir yang lama disematkan kepada daerah Nusa Penida. Masyarakat Nusa Penida ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa daerah Nusa Penida sudah mengglobal sekarang, dapat bersentuhan secara terbuka dengan siapa pun di dunia.
Kedua, mungkin nama-nama asing itu sengaja dibiarkan untuk memudahkan lidah para wisatawan asing melafalkan nama objek di Nusa Penida. Meskipun terkesan dipaksakan, nama-nama asing itu menjadi akrab dilidah para wisatawan asing. Saya tidak tahu, apakah memanjakan lidah (bicara) seperti ini bagian dari sebuah servis atau ketaklukan.
Ketiga, penamaan asing-asing itu akhirnya memunculkan rasa kebanggaan baru kepada masyarakat Nusa. Kebanggaan global, melebihi fanatisme sebagai orang Nusa. Namun, tanpa disadari, kebanggaan global ini perlahan-lahan akan mengikis spirit identitas ke-Nusa-an mereka.
Kesadaran Identitas
Indikasi pengikisan identitas Nusa ini pantas dipersoalkan, mengingat bangsa-bangsa di dunia konon sedang gencar membangun identitasnya. Mereka mempertahankan karakteristiknya dari kepungan budaya global. Kondisi inilah yang mungkin mendorong lahirnya konsep ajeg Bali–respek Bali sebagai bagian dari dunia global. Terlebih lagi, Bali menjadi destinasi pariwisata dunia (nomor satu lagi di dunia) yang berkarakter (identias) dan unik, yang rawan terhadap penundukkan identitas (budaya).
Karena itu, Bali berjibaku menjaga kehormatan (identitas) itu dengan cara melestarikan dan memodifikasinya sesuai dengan dinamika zaman. Belakangan, spirit ajeg Bali ini kian mendapat penguatan dari Gubernur Bali, Wayan Koster. Pemda Bali menerbitkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali dan Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali secara serentak di seluruh Bali. Pemda memandang bahwa membangun dan mempertahankan identitas itu merupakan persoalan serius.
Dalam konteks inilah, masyarakat Nusa Penida pantas mulat sarira tentang kesejatian dirinya. Masyarakat Nusa Penida semestinya merawat kelokalannya (identitas dirinya). Salah satunya ialah identitas bahasa Nusa Penida. Kosakata-kosakata lokal itu semestinya dipertahankan, tetapi bukan bermaksud kaku apalagi menutup diri. Kosakata-kosakata asing tetap kita butuhkan untuk perkembangan (penambahan pembendaharaan) bahasa Nusa. Akan tetapi, kosakata asing jangan sampai menghegemoni bahasa lokal. Lama kelamaan, otomatis bahasa lokal tunduk dan musnah mengenaskan.
BACA ESAI DAN OPINI TENTANG NUSA PENIDA
- Pariwisata Nusa Penida, Menggeser Perspektif Ternak Kaki Empat Menjadi Roda Empat
- Menyoal Attitude Wisatawan di Nusa Penida: Dari Drama Komplain, Abai, Bengkung, Hingga Isu Moratorium
- Legenda Pasih Uug (Broken Beach), Alarm Leluhur yang Tak Pernah Tidur
- Pariwisata Nusa Penida: Antara Broken Beach dan “Broken-Broken” Lainnya
- Ekspansi Pariwisata Atas “Rompok-Rompok” (Ruang Agraris) di Nusa Penida
Promosi destinasi wisata jangan hanya mengejar rating kunjungan, lalu mengambil sebesar-besarnya dari keuntungan itu. Promosi harus dapat memperkenalkan objek-objek wisata termasuk identitas-identitas kelokalan daerah itu. Mulailah dari hal kecil, misalnya fanatik menggunakan bahasa-bahasa lokal. Penggunaan bahasa-bahasa lokal ini merupakan bentuk kesadaran untuk mengangkat derajat kita di mata dunia. Sambil promosi objek, sekaligus promosi budaya (bahasa) kita, bahasa Nusa Penida.
Fanatisme penggunaan bahasa lokal merupakan bagian otoritas kita sebagai daerah tujuan. Sebagai tuan rumah, biarkan tamu (wisatawan) menyesusaikan diri dengan karakter daerah dan budaya kita, termasuk dalam pengucapan bahasa lokal Nusa. Biarkan mereka bertamasya, sekaligus belajar ilmu kosakata lokal.
Kita membutuhkan pariwisata untuk kemajuan, tetapi tidak mengikis identitas masyarakat lokal. Kita mendukung pariwisata sebagai partner mengangkat derajat masyarakat lokal, sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita tidak membutuhkan pariwisata dalam bingkai hubungan superior dan inferior, karena pariwisata akan memberangus identitas masyarakat lokal.
Untuk menguatkan pemertahanan identitas Nusa, mesti ada dukungan dari berbagai pihak terutama pemda Klungkung. Misalnya, pemda Klungkung mengeluarkan regulasi berkaitan dengan penamaan lokal Nusa, sesuai spirit pergub Bali. Mulailah dari regulasi bahasa atau penataan nama-nama objek dengan bahasa Nusa. Ke depan, mungkin regulasi-regulasi lain yang bertujuan menjaga (integritas) identitas masyarakat Nusa Penida.
Jadi, kalau masyarakat ingin membangun stereotip modernisasi tidak mesti menjadi dia (bule/ barat). Lalu, kita menghamba dan kehilangan jati diri. Kalau memang kulit kita sawo matang, jangan memaksakan putih-putihlah. Nanti, pasti kelihatan belang-belang alias “kebule-bulenan”. [T]