BEBERAPA bulan lalu, saya sempat menulis tentang arak Bali. Artikel yang saya tulis sambil lalu, sambil meminum beberapa sloki arak Bali.
Saat melancong ke Desa Tembok, ide-ide dalam tulisan itu saya paparkan pada kepala desa muda nan progresif, Dewa Komang Yudi. Saya paparkan sambil lalu saja, karena saya tak berharap ide itu akan diadopsi.
Setahu saya, Desa Tembok ialah salah satu sentra penghasil arak Bali di Kecamatan Tejakula. Disamping Desa Bondalem yang lebih terkenal produksi araknya.
Aturan yang ketat, membuat minuman beralkohol (mikol) tradisional yang diproduksi, tak bisa disalurkan. Arak hanya dipasarkan sembunyi-sembunyi. Padahal arak yang dihasilkan punya kualitas yang bagus.
Saat bertemu dengan Ajik Mekel – begitu saya menyapa Dewa Komang Yudi, saya ngoceh agar pengemasan arak diperbarui. Minimal dikemas dalam botol kaca. Kemudian di-bundling dengan panganan khas Tembok.
Namanya mengoceh, tentu saja sekadar cakap-cakap ngelantur. Sama sekali tak ada pikiran bahwa ocehan itu akan diwujudkan menjadi nyata.
Saat saya kembali ke Desa Tembok beberapa hari lalu, ternyata ocehan saya waktu itu menjadi kenyataan. Bahkan jauh lebih maju dari ekspektasi saya.
Sebotol arak Bali dengan kemasan kurang lebih 200 mililiter, dikemas dalam botol kaca. Arak itu dikemas dengan sangat cantik. Kadar alkoholnya, hanya 40 persen. Seperti kadar alkohol wiski.
Dengan kemasan seperti itu, saya rasa arak Bali tak hanya muncul pada rak etalase toko. Tapi juga di pusat oleh-oleh, bar, maupun hotel.
Menariknya lagi, ada paket bundling arak Bali. Arak bisa dibeli dengan kacang mete produksi BUMDes Giri Arta Desa Tembok. Ada tiga rasa yang bisa dipilih. Yakni rasa bawang, rasa asin, maupun pedas manis.
Sambil menyesap arak Bali, saya mencoba tiga varian rasa kacang mete itu. Dari tiga varian, yang paling enak dijadikan pengecip adalah rasa asin.
Dengan pengemasan yang cantik dan ciamik, paket yang menjanjikan, saya yakin arak Balimade inTembok akan memiliki penggemar yang loyal. [T]
November, 2019