“Rambut tanda-tanda bakal gondrong,cukur nggak ya?”
Sebuah caption dalam whatsapp story kubagikan di lingkaran relasi dan dosen saat itu aku masih KKN yang menyita jatah liburan semester dan bermain dengan teman-teman yang terpisah jauh diluar Singaraja.
“Juari gati ngae story kene, tepukine jak dosen payu siapange bergas (alat cukur elektrik, senjata utama tukang cukur) di kelas perdana nyanan cai (Kamu nggak tahu malu sekali buat story ini, nanti dilihat dosen jadi disiapkan bergas di kelas perdana kamu),” komentar temanku.
“Tong sante deen, nyanan kayange maan teguran malu mare ngidih pis jak mamak ke Barbershop (Santai saja, nanti kalau sudah ditegur baru aku minta uang sama mama ke Barbershop),” jawabku dengan santainya sambil berguyon.
Aku berpikir nanti saja jika ditegur aku cukur rambut ini, toh biar dikata mirip sama bapak yang seniman biarpun anaknya ini malah jadi penekun IT.
Beberapa saat kemudian aku berubah pikiranku, bukan karena ditegur secara online oleh dosen, ini teguran oleh orang lain yang sangat powerfullwalaupun hanya menggunakan kalimat seperlunya.
“Cukur!” begitu katanya.
“Kenapa harus dicukur?” tanyaku sambil menyiapkan bahan bernegosiasi, kali aja dia tidak jadi menyarankan untuk dipotong.
“Iya biar rapi, coba cukur undercut pan!”
Aku yang bodo amat dengan jenis jenis gaya rambut tergerak untuk mencari contoh gaya itu di internet, walaupun krisis sinyal karena desa tempat kami ber-KKN-ria tidak banyak tersedia tower pemancar sinyal.
“Iya nanti sekalian ke Singaraja aku ke Barbershop,” jawabku, walau dalam hati aku ingin berkata “Siap sayang” tapi aku ingat posisiku yang hanya pantas menjadi sosok temannya saja bagi dia.
Kemudian salah satu teman dekat juga mengomentari storyku
“Depin den pang ngenah care anak Teknik sejati (Diamkan saja, biar terlihat sebagai anak Teknik sejati).”
Sebenarnya aku setuju dengan saran teman dekatku.
“I’m sorry brother, ada pengaruh yang lebih besar dan alasan yang lebih kuat untuk aku cukur ini rambut Hahaha!”
“Bucin cai (budak cinta kamu),” jawabnya sambil mengirimkan emoji terkekeh.
Percakapan kami berakhir, telepon genggamku menjadi sepi lagi seperti biasanya. Aku terdiam sejenak lalu kembali membuka whatsapp.
“Ma, kirimin bekel. Mau ke Barbershop!”.
Itu cerita saat KKN, setelah hampir 3 bulan sejak kami kembali diserahkan kepada pihak Kampus oleh Kepala Desa. Rambutku kembali memanjang, dan aku sudah menuai puluhan pertanyaan dan pernyataan dari keluarga, teman-teman, dan dia.
“Mantap nji, aku suka rambut gondrong kamu!”
“Potong nji, tampil rapi biar dapet pacar!”
“Iihhhh Panji mau Gondrong dia!”
“Kenapa gak potong aja itu rambut?”
“Cukur nji, biar rapi!”
“Geli aku liat kau njik (tentu saja dengan nada bercanda)!”
Begitulah rangkuman respons teman-teman tercinta, semenjak KKN berakhir dengan kegagalan mendapatkan hatinya, aku dijejali dengan organisasi, tugas perkuliahan dan persiapan berlomba di ajang yang cukup bergengsi di kalangan Universitas penyelenggara program studi di bidang teknologi. Aku menjadi mahasiswa sok sibuk walaupun aku benar-benar sibuk, tak ingin menghabiskan waktu luang selain untuk rebahan. Dasar mahasiswa menjelang semester tua.
Aku membiarkan rambutku tumbuh sebagaimana mestinya, aku juga lelah menambah batas pada kehidupan ini yang sudah cukup membatasiku, rambut gondrong bagiku adalah simbol kebebasan, di dalam ketidakbebasan hidup ini dimana setiap perbuatan ada aturannya. Setidaknya aku ingin membebaskan diri untuk hal-hal kecil.
Apa yang salah dengan rambut gondrong? Katanya di rezim pendahulu pria dengan rambut Gondrong identik sebagai pria yang urakan dan ekstrimis, ya aku memang urakan tapi aku bukan ekstrimis namanya juga mahasiswa TI yang jomblo, tidak ada orang kesayangan yang mengingatkan untuk makan, istirahat apalagi mencukur rambut.
Katanya juga diskriminasi tentang rambut gondrong ternyata sudah dibawa oleh belanda sejak 3 setengah abad lalu dan kata mereka diskriminasi rambut gondrong lebih menyeramkan daripada zaman now, bersyukurlah bapak ibu melahirkanku di zaman pra-milenial bukan zaman kolonial.
Setiap mama pulang dari Kupang, selalu mengingatkanku dengan kalimat seperti ini
“Dik, cukur na rambutmu panjang gitu!”
Hehehe maaf anakmu ini masih bengal Ma, jangan ditutup ya surga di telapak kaki Mama. Orang gondrong juga berhak masuk surga kan?
Bapak sih tidak mempermasalahkan, sahabat-sahabatku juga sama, “dia”? Kurasa tidak mempermasalahkan hanya sekedar menyarankan untuk menjadi lebih rapi. Aku tetap pada pilihanku, membiarkan rambut tetap panjang sampai benar-benar harus dipotong.
Kembali pada kisah KKN saat itu, setelah permak gaya rambut, aku menemui gadis pujaanku sekali lagi. Yah hasilnya sama saja, memang susah jika sudah terjebak di lingkaran pertemanan. Gondrong atau tidak gondrong memang tidak ada bedanya, tidak akan merubah apa-apa, Mengapa harus dipotong? [T]