Edisi 4/11/2019
KOPLAK duduk terdiam di ruang kerjanya. Sambil memandang dengan serius wajah Presiden dan Wakil Presiden yang baru saja dilantik. Beban berat terasa terurai dan terkuras dari pikiran Koplak. Pertarungan politik memperebutkan kursi orang nomor satu di negeri ini benar-benar menguras energi. Berita-berita isinya makian-makian saja. Koplak tidak habis pikir, kok bisa masyarakat Indonesia selama ini kan terkenal karena kesantunanya. Masyarakat yang “konon” menjunjung tinggi budaya, angtiba-tiba karena masalah kontestasi jadi terlihat begitu “barbar” menakutkan. Koplak sering bergidik jika membaca beragam berita-berita, dan percakapan yang datang kepadanya seperti tsunami.
Sebagai lelaki desa, dibesarkan di desa, dan tumbuh di desa Koplak tidak habis pikir dengan narasi-narasi yang dibuat orang-orang di media sosial. Sebagai lelaki desa yang kebetulan memiliki sedikit wewenang dan “kekuasaan” Koplak jadi tidak habis pikir, padahal orang-orang yang hidup di kota itu memiliki fasilitas dan akses yang begitu luas. Jaringan internet juga bagus. Koplak saja baru tahu, bahwa nonton film bisa dilakukan di komputer bukan di TV, bahkan belakangan Koplak diajarkan oleh Kemitir bisa memilih dan mendengarkan lagu-lagu masa lalu tanpa memerlukan tape, cukup dengan telepon genggam dan alat yang ditempel di kuping. Jadi tidak menganggu orang lain. Ah, hidup di jaman modern ini kadang-kadang memang membuat Koplak gelagapan. Seperti ditenggelamkan ke sungai.
“Teknologi berkembang begitu pesat, lihatlah acara TV, cucu-cucuku pun tidak ada yang tertarik menonton TV, waktu luang diisi melihat telepon genggam. Di dalam telepon itu konon sudah ada beragam hal yang bisa dinikmati cucuku. Makanya saat ini kita tidak akan menemukan anak-anak yang berkeliaran di lapangan berdebu. Anak-anak yang tumbuh dengan keringat dan debu seperti kita sudah tidak ada lagi, Koplak. Anak-anak sekarang hanya sibuk dengan gawai, tidak bisa dilarang. Jika dilarang terus menerus biasanya mereka stres. Kau pernah baca kan di koran lokal, hanya karena tidak dibelikan telepon gengggam seorang siswa SMP kelas tujuh sudah bisa meniatkan dan melakukan bunuh diri, dengan menggantung lehernya dengan selendang di atas pintu kamarnya. Saat ini memang jaman sudah gila.” Keluh sahabat Koplak sungguh-sungguh.
“Bukan jaman gila, kita saja yang tua yang tidak paham perubahan.” Sahut suara yang lain.
“Bisa jadi seperti itu. Tetapi aku juga tidak habis pikir, bukan anak-anak saja yang aneh saat ini. Para tokoh politik juga kulihat aneh-aneh. Lihatlah, bagaimana mereka rebutan untuk menjadi pembantu presiden. Dari berita yang kubaca, para tokoh partai itu telah menyetor 300 nama untuk dipilih oleh presiden menjadi pembantu presiden. Nunas iwang , mohon maaf sebesar-sebesarnya ini, kok aneh juga mereka berebut jadi pembantu. Mana ada beberapa yang main paksa minta jadi pembantu dibidang ini-itu dengan sedikit memaksa. Katanya menjadi pembantu presiden itu hak hak prerogatif presiden, faktanya presiden mumet dan ruwet juga menyusun kabinet. Katanya tidak minta, katanya bebas dan terserah presiden. Setelah terbentuk 34 orang kok banyak yang nyinyir, walaupun dengan kalimat yang dibungkus-bungkus. Tidak kecewa, tetapi bersuara sedikit nyelekit. Jadi jangan disalahkan jika anak-anak milenial itu asik dengan pikirannya sendiri. soalnya contoh di depan mata belum ada,” Sahut sahabat koplak yang lain.
Koplak kembali menatap foto baru yang baru saja dipasang sekretaris desa di depan mejanya, jadi jika Koplak bekerja di kantor desa, hal pertama yang dia lihat adalah foto terbaru presiden dan wakil presiden.
Dengan keluguan seorang lelaki desa Koplak berusaha sedikit berbisik kepada foto presiden yang tergantung rapi di depan mejanya, jadi siapa saja yang masuk ke dalam ruangan Koplak, akan disambut oleh dua buah foto berukuran cukup besar itu. Presiden dan Wakil Presiden yang kelihatan lebih fresh dan segar. Bahkan Koplak merasa foto presiden tahun ini terlihat lebih gaya dan presiden juga terlihat lebih santai, agak berbeda dengan foto tahun lalu, wajah presiden seperti menyorotkan dan memberi kabar bahwa beliau sedikit linglung dan bingung. Semoga ini bukan pikiran koplak saja, karena Koplak bisa membayangkan ada 300 pembantu yang disiapkan partai, harus diperas jadi 34. Bayangkan saja? Apakah itu bukan pekerjaan yang mengerikan? Alangkah hebatnya presiden mampu bertahan dengan beragam “kenyinyiran” tentu ada saja kata-kata yang mendengung seperti tawon. Koplak menarik nafas sambil berdiri meregangkan tubuhnya dan menatap mata sang presiden.
Ajarkan saya memilih orang-orang tepat untuk saja jadikan pembantu Pak Presiden. Koplak berkata pelan setengah berbisik, berharap foto yang diajak bicara mengeluarkan tips untuknya sebagai Kades sebuah desa yang meminta petunjuk bisa memilih pembantu yang bisa diajak kerja.
Satu jam, dua jam, tiga jam foto di depn Koplak belum menunjukkan tanda-tanda memberi petunjuk. Koplak menguap. Sambil menutup mulutnya cepat-cepat, Koplak merasa malu mengantuk. Koplak masih berdiri sampai kakinya pegal. Petunjuk belum juga datang. Pawisik belum juga terurai.
Saya pulang dulu pak Presiden, kantor mau tutup. Mohon diperhatikan permintaan saya. Koplak berkata sangat pelan, lalu Koplak berdiri kemudian mengangguk memberi hormat. Hampir saja tasnya tertinggal. [T]