- Judul Buku : Khotbah
- Penulis : Dwi S Wibowo
- Penerbit : Alpha Centauri
- ISBN : 978-602-3092-29-1
- Jumlah halaman : 111
____
Sebagaimana diketahui, kajian mimesis memandang karya seni sebagai tiruan dari kenyataan. Maka dari itu, fenomena sosial termasuk salah satu bahan konstruksi karya seni. Menurut Aristoteles, ketika meniru realita sebenarnya, seniman terlibat dalam proses kreatif untuk menciptakan karya[1]. Dengan demikian, karya seni bukanlah sebenarnya realita, melainkan cerminan kenyataan melalui olah pikir dan imajinasi manusia. Karya seni memiliki macam kategori, salah satunya adalah karya sastra. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu[2]. Ikatan status sosial tersebut akan mepengaruhinya dalam menciptakan karya.
Mengingat bahwa dunia dalam karya sastra merupakan tiruan (mimesis) atas peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (imatitation of reality), maka sering kali dinyatakan bahwa karya sastra merupakan dokumen sosial[3]. Dalam perspektif ini karya sastra adalah sebagai manifestasi kenyataan sosial karena mencatat rekam jejak realitas sosial pada masa tertentu.
Fenomena sosial masa lalu pun bisa saja hadir dalam karya sastra sekarang ini meskipun memiliki rentang waktu panjang dengan fenomena sosial yang diangkatnya sebagai tema. Salah satu sastrawan yang mengangkat tema sosial lama pada karyanya adalah Dwi S Wibowo. Hal itu itu bisa ditemukan dalam antologi cerita pendeknya berjudul Khotbah. Namun, bukan berarti bahwa tema tersebut sudah basi dan tanpa ada hubungan lagi dengan persoalan di masa kini.
Khotbahkarya Dwi S Wibowo terbit tahun 2016. Buku yang tebalnya 111 halaman ini terdiri atas 11 cerita pendek. Beberapa tema yang diangkat dalam ceritanya berhubungan dengan peristiwa kelam negeri ini. Salah satunya, yang paling menonjol, adalah tragedi ‘65 yang sampai detik ini masih menyisakan tanda tanya. Tema tersebut dapat ditemui dalam cerpen berjudul “Terumbu Kepala” dan “Belulang Sunyi”.
“Terumbu Kepala” bercerita tentang nelayan yang menemukan tumpukan tulang kepala manusia di dasar perairan Segara Anakan saat mencari ikan. Hal itu kemudian membuatnya ditembak mati oleh polisi yang sedang patroli di tempat ia menemukan tumpukan tulang kepala manusia. Sementara itu, “Belulang Sunyi” bercerita tentang seorang bernama Sunardian Pranoto Wongso yang menemukan tumpukan tulang manusia di dasar Sungai Serayu saat menuruti mimpinya bahwa akan mendapatkan harta di sana. Kemudian Sunardian Pranoto Wongso diancam untuk tidak membuka persoalan tentang tumpukan tulang manusia yang ditemukannya.
Menariknya, dalam buku kumpulan cerita pendek Khotbah karya Dwi S Wibowo tersebut, beberapa cerita yang menyingung peristiwa terkait ‘65, tidak menggambarkan bagaimana peristiwa itu terjadi, tetapi bagaimana peritiwa tersebut disembunyikan. Hal ini berbeda dengan sastrawan yang mengalami peristiwa ’65, seperti Martin Aleida dan Putu Oka Sukanta. Karya-karya Martin Aleida dan Putu Oka Sukanta terkait peristiwa ‘65 lebih banyak mengambarkan bagaimana kejadian dan beban psikologis yang dialami korban. Sebut saja dalam cerpen “Tanah Air” karya Martin Aleida, peraih penghargaan cerpen terbaik Kompas 2016, digambarkan beban psikologi korban eksil atas peristiwa ‘65. Sementara itu, dalam cerpen “Surat Undangan” karya Putu Oka Sukanta, digambarkan proses penangkapan korban dengan dalih surat undangan. Namun, dalam cerpen “Terumbu Kepala” dan “Belulang Sunyi” karya Dwi S Wibowo yang hidup di masa setelah peristiwa ‘65, lebih digambarkan penyebab-penyebab peristiwa itu kabur dan tersembunyi.
Korban dalam tragedi ‘65 masih kabur dan tersembunyi. Angka-angka yang mencatat jumlah korban dari peristiwa itu masih beraneka ragam. Menurut Liputan Khusus Tempoedisi 1—7 Oktober 2012, dikabarkan bahwa tidak ada angka pasti tentang jumlah korban pembantaian PKI pada 1965. Pada Desember 1965, Soekarno pernah membentuk komisi pencari fakta yang dipimpin oleh Menteri Negara Oie Tjoe Tat untuk mencari tahu jumlah korban pembantain. Namun, karena tidak leluasa bekerja dan khawatir pada reaksi tentara, komisi itu menyimpulkan 78 ribu orang terbunuh. Namun, angka tersebut dipercaya terlalu kecil. Laporan dari Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menyebutkan korban tewas sekitar 1 juta jiwa. Menurut mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat, Sarwo Edhi Wibowo, setidaknya ada 3 juta orang terbunuh, sedangkan para aktivis kiri mempercayai 2 juta orang yang terbunuh[4].
Hingga hari ini dampak negatif peristiwa ‘65 tidak hilang begitu saja. Kondisi yang memprihatinkan ternyata mengikat para korban dan keluarga korban secara turun menurun. Peristiwa 1965—1966 memiliki dampak sangat merugikan bagi para korban hingga mengalami penderitaan mental (psikologis) maupun tindakan diskriminasi di bidang hak sipil dan politik serta dalam bidang hak ekonomi, sosial, dan budaya[5].
Setelah masa kekuasaan Soeharto berakhir, muncul berbagai macam kalangan dan kelompok masyarakat yang menuntut hak mereka sebagai korban dari kekuasaan Orde Baru. Salah satunya adalah International People’s Tribunal (IPT) yang merupakan badan legal-formal yang dibentuk dalam rangka menyelenggarakan Pengadilan Publik Internasional pada Kejahatan Terhadap Kemanusiaan 1965 dan kegiatan advokasi lainnya terkait kasus 1965. Yayasan International People’s Tribunal secara resmi berdiri pada 18 Maret 2014 di Belanda dan memiliki sekretariat yang berlokasi di kota Amsterdam. Yayasan IPT 65 sendiri memiliki tujuan memperbaiki kecenderungan sejarah yang menyepelekan dan mengaburkan kejahatan-kejahatan dalam peristiwa 1965 di Indonesia[5].
Fareza Rahman (2018: 35) mengatakan bahwa temuan serta putusan dari hasil persidangan publik internasional 1965 yang berlangsung pada 10—13 November 2015 dan dibacakan selang sembilan bulan pascapersidangan. Laporan dari keputusan final pengadilan publik internasional 1965 ini memuat 10 temuan tindakan pelanggaran HAM berat seperti kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Dari 10 temuan tersebut, Indonesia dinyatakan bersalah dan harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang telah terjadi. Sepuluh temuan tersebut adalah pembunuhan, pemenjaraan, penyiksaan, perbudakan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda, keterlibatan negara lain, dan genosida (IPT 65 2017)[5].
Pelanggaran yang direspon dalam cerpen “Terumbu Kepala”dan “Belulang Sunyi”, salah satunya, adalah genosida. Hal tersebut tersirat dalam ceritanya, yaitu menemukan tumpukan tulang para korban. Namun, jumlah korban masih menjadi tanda tanya karena variasi angka-angka penelitian terkait jumlah korban terbunuh. Yang diangkat dalam cerita pendek ini adalah persoalan alasan peristiwa itu masih menjadi tanda tanya sampai saat ini. Dwi S Wibowo sebagai pencipta karya meletakkan dasar bahwa semua itu tidak lepas dari upaya untuk menyembunyikan korban-korban peristiwa ‘65. Berikut adalah kutipan cerita pendek “Terumbu Kepala”.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya seorang di antara mereka, mungkin komandannya.
“Kepala, Pak! Banyak kepala di bawah sana.” Antara takut dan gugup, ia menceritakan apa yang baru saja dilihatnya di dalam air.
Dengan ekspresi dingin, komandan itu menjawab, “Ya, kami sudah tahu.” tangannya segera meraih pistol di pinggang, dan…
Membaca cerita tersebut secara utuh akan membawa kesimpulan bahwa matinya nelayan dalam cerita itu disebabkan oleh ketakutan akan terbukanya rahasia yang sengaja disembunyikan. Hal serupa juga digambarkan dalam cerita pendek berjudul “Belulang Sunyi”. Berikut kutipan “Belulang Sunyi” yang menggambarkan bagaimana ancaman untuk tidak membuka persoalan terkait korban ‘65 yang penuh dengan tanda tanya itu.
“Jangan membuka luka lama,” bentak seorang dari mereka yang memakai penutup muka, “atau kamu akan memiliki luka baru!”
Sunardian ditodong kepalanya.
Semua kutipan di atas diambil dari kedua cerpen yang sama-sama mengangkat tema terkait peristiwa kelam ‘65. Membaca kedua cerita dalam kumpulan cerpen Khotbahtersebut seakan membaca tentang bagaimana peristiwa kelam ‘65 itu sengaja disembunyikan.
Dwi S Wibowo telah mengangkat isu sosial ke dalam cerpennya. Isu sosial yang diangkat ke dalam beberapa cerpen yang memiliki rentang waktu jauh sebelum ia lahir tentunya ditempa oleh literatur dan cerita yang didapatkannya. Bahan yang didapatkan tersebut sesuai dengan yang disampaikan Aristoteles: ketika meniru realita, sebenarnya seniman terlibat dalam proses kreatif. Maka dari itu, Dwi S Wibowo membubuhi karyanya dengan kreativitas tersendiri. Kreativitas tersebut merespons mengapa tragedi ‘65 masih menyisakan ragam tanda tanya. Kemudian sampailah pada persoalan bahwa korban terkait peristiwa ‘65 sengaja disembunyikan. Pertanyaannya adalah: siapa yang menyembunyikan?
Rujukan:
- Darma, Budi. 2019. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
- Purwadi. 2009. Pengkajian Sastra Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
- Emzir, Rohman. 2016. Teori dan Pengajaran Sastra. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
- Dikutip dari Liputan Khusus Tempo edisi 1-7 Oktober 2012.
- Rahman, Fareza. 2018. Peran Internasional People’s Tribunal 1965 dalam Upaya Advokasi Korban Peristiwa 1965-1966 Indonesia. Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 7.