Desakan gambar kutipan (quote picture) tentang joker yang bertebaran di sosial media cukup memantik rasa penasaran untuk ikut segera menonton.
Salah satu kutipan paling santer diposting oleh pengguna sosial media adalah “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Berbekal rasa penasaran sebaik apa Arthur Fleck sebelum ia menjadi Joker dan juga kesempatan yang tepat untuk dapat menggapai bioskop yang lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal saya, akhirnya Sabtu lalu saya menonton filmnya juga.
Arthur Fleck digambarkan sebagai pria baya yang berkarir menjadi badut. Impiannya adalah menjadi seorang komedian tunggal. Namun akan sulit baginya untuk menggapai impiannya tersebut, karena ia tidak bisa melucu. Disamping itu, ia menderita kelainan syaraf yang menyebabkan ia akan selalu tertawa ketika merasakan emosi kesedihan. Bahkan ketika ingin menangis sekalipun, ia malah tertawa terbahak-bahak. Kondisi ini menyulitkannya berkomunikasi dan menyampaikan ide-ide komedinya.
Melihat Arthur menderita kelainan syaraf seperti itu, hati saya terenyuh. Sungguh kita harus bersyukur bahwa kita bisa menangis dan tertawa semau kita, sesuai dengan kondisi hati. Bisa dibayangkan ketika mengalami kesedihan, namun tubuh justru merespon dengan tawa tak terkontrol, tidak ada emosi kesedihan yang bisa dilepas keluar. Seluruh emosi mengendap dalam hati, menumpuk beban-beban psikologis yang sangat potensial membuat tertekan.
Dalam tayangan-tayangan awal, terlihat bahwa Arthur tidak memiliki bibit kejahatan dalam hatinya, namun meski begitu, ia juga bukanlah orang yang cukup stabil untuk memilah mana tindakan benar dan salah. Didalam film digambarkan bahwa selain menderita kelainan syaraf, ia juga menderita depresi atau tekanan psikologis sehingga harus mengonsumsi sembilan jenis obat dan rutin berkonsultasi dengan dokter.
Belakangan kita juga akan menemukan fakta bahwa Arthur diasuh oleh ibunya yang ternyata mengalami gangguan mental sehingga sering bersikap delusional bahkan semenjak Arthur masih anak-anak. Kondisi pengasuhan seperti ini tentu sangat rentan menimbulkan ketidakstabilan dan ketidakmatangan pola pikir.
Kondisi dasar seperti ini pun diperparah dengan adanya tekanan dari lingkungan yang sering merendahkan dirinya, pengalaman dianiaya, difitnah, serta pemberhentian asupan obat dan oleh lembaga pemasyarakatan kota Gotham karena alasan pemotongan anggaran. Puncaknya adalah ketika Arthur malah diberikan senjata api oleh teman kerjanya, sehingga hanya tinggal menunggu waktu bagi dirinya untuk ‘mencoba’ mainan barunya, dengan dalih awal sebagai ‘upaya perlindungan diri’ seperti yang dikatakan temannya.
Setelah kasus penembakan pertama, ia justru merasakan kebebasan untuk kali pertama. Karena untuk kali pertama, ia mampu memenangkan pertarungan atas tindakan intimidasi terhadap dirinya. Ia merasakan ketakutan. Sekelebat. Namun karena rasa bebas lepas dirasakan lebih dominan, rasa takut menjadi tidak begitu terasa. Ia menjadi sungguh-sungguh berbahagia, sehingga ia menari dengan penuh kegembiraan atas tindakan kriminal brutal pertamanya.
Kondisi-kondisi lain kemudian muncul, menyebabkan ia berpikir untuk membunuh lagi dan lagi, hingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa dia merasa bahagia ketika membunuh. Dan membunuh berubah menjadi kesenangan tersendiri baginya.
Setelah menonton, saya paham, Joker bukanlah orang baik yang kemudian menjadi jahat karena terus tersakiti. Dari awal ia telah tersesat, larut dalam kondisi yang salah tanpa ia sadari. Ini bagaikan racun manis yang sangat enak untuk dinikmati, tidak terasa menyakitkan, namun perlahan mematikan akal sehat, mematikan perasaan serta rasa kemanusiaan.
Pesan paling dalam yang bisa saya rasakan atas pembuatan dan penayangan film ini adalah, jangan menciptakan kondisi yang bisa membuat kita melahirkan Joker-Joker lain.
Jangankan Joker yang memang menderita kelainan mental semenjak kecil, bagi kita yang hidup normal pun, tetap menjadi waras dalam kondisi dunia seperti sekarang benar-benar menjadi tantangan. [T]