“Resentment is like drinking poison and then hoping it will kill your enemies” (Kebencian/dendam itu seperti meminum racun dan kemudian berharap racun itu akan membunuh musuh Anda.) – Nelson Mandela
___
Peraih Nobel Perdamaian ini, dengan sangat baik melukiskan betapa kebencian itu begitu buruk. Tak butuh kalimat-kalimat yang terlalu panjang, ia merumuskan makna kebencian dengan sedemikian efektif dan menjejalkannya ke dalam akal sehat kita. Cukup mudah bagi kita untuk memahaminya, bagaimana Mandela begitu tersentuh dan peka dengan kebencian.
Ia selama puluhan tahun menjalani kehidupan yang dibangun di atas pondasi kebencian yang bernama apartheid di tanah ainya sendiri, Afrika Selatan. Mungkin kita sulit percaya, bagaimana ras putih yang terkenal realistis dan imliah itu dapat hidup lama dalam kebencian. Era kolonialisme ke sejumlah negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, masa kelam holocaustyang merenggutkan tak kurang enam juta etnis Yahudi, pembantaian muslim Bosnia dalam sebuah kampanye pembersihan etnis yang keji dan masih banyak lagi.
Apakah kebencian punya mereka saja? Beberapa hari yang lalu, pengadilan Myanmar menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Ashin Wirathu, yang merupakan seorang biksu radikal atas tuduhan penghasutan. Dia merupakan salah satu pemuka agama Buddha yang menolak keberadaan etnis Rohingya, dan pernyataannya menyulut aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas itu. Ini pun tak mudah kita pahami, bagaimana seorang biksu yang identik dengan welas asih kemudian dapat menjadi sedemikian berbeda menjadi radikal.
Lalu di negeri tercinta ini, masih jelas dalam bayangan kita, sepasang pria dan wanita dengan penampilan tak meyakinkan telah menghunus pisau dan menusukkannya pada tubuh seorang menteri. Maka potensi kebencian sebetulnya dimiliki setiap insan, bersemayam pada ruang-ruang gelap hati manusia.
Ruang-ruang gelap itulah yang kemudian menjadi tempat fusi energi kebencian dan dendam seorang Joker. Film besutan Warner Bros Picture bertabur bintang ini, mendapat apresiasi yang luar biasa di Amerika Serikat bahkan di seluruh dunia. Aktor gaek Joaquin Phoenix pemeran Joker, yang kelak akan menjadi musuh abadinya Batman, memerankannya dengan sedemikian suram dan tajam. Sangat berhasil menampilkan karakter jiwa yang telah kehilangan harapan, terpinggirkan lalu bangkit dari kegelapan menjadi sebuah entitas perlawanan yang tumbuh dari puing-puing dendam dan kebencian. Lingkungan telah mendidiknya menjadi musuh kebaikan.
Maka demikianlah, lingkungan memberi pengaruh sedemikian besar terhadap pembentukan karakter seseorang. Semakin kuat dan masif satu doktrin kebencian dijejalkan pada otak seseorang, maka seorang pembenci pun akan terbentuk. Pun orang-orang cerdas, tak semuanya bisa lepas dari “operasi” intelektual ini. Itulah kenapa Hitler berujar, “Tidak masalah seberapa banyak kebohongan yang kamu buat, tetapi yang penting adalah bagaimana kamu membuat kebohongan itu menjadi kenyataan.”
Nelson Mandela, satu contoh baik seseorang yang lepas dari perangkap kebencian. Saat keadaan telah berbalik dan terpilih menjadi presiden Afrika Selatan, ia memilih jalan rekonsiliasi dengan tokoh-tokoh politik kulit putih yang pernah menindasnya. Maka ganjaran Nobel Perdamaian menjadi relevan dalam kisah menggetarkan ini.
Dan lebih relevan lagi untuk dijadikan sebuah role model bagi bangsa kita yang tengah berlumur kebencian saat ini. Mengutip pemikiran lain seorang Mandela, ia mengemukakan gagasan yang begitu indah namun realistis, yaitu membenci itu tak semudah mencintai. Karena untuk membenci, seseorang perlu belajar dan berlatih, sementara sifat mencintai telah terbawa sejak lahir, karena manusia diciptakan atas dasar cinta. Maka seharusnya manusia tak sulit mencintai yang lain, bukannya membenci dan memusnahkan.
Dari layar lebar yang sangat menarik perhatian dunia, Jokerseakan sedang melontarkan pesan untuk kita semua, “Tetaplah hidup dalam kebencian jika kau ingin negerimu muram dan menjijikkan seperti Gotham!” [T]