Jika berkeliling memperhatikan ribuan relief batu di Borobudur, mata yang dipenuhi pikiran peperangan, mungkin melihat semua sosok pada relief di sana memegang pedang dan pisau.
Pada gambar pertama yang dipegang adalah lontar. Bukan pedang. Namanya lontar berjenis embat-embatan. Lihat gambar 2 dan 3. Panjangnya sampai 72 cm. Bahkan ada yang lebih dari semeter.
Lontar embat-embatan umumnya dipakai kebutuhan harian di kelas terbuka atau pengajaran. Isinya catatan tembang dan pengajaran tata bahasa, disebut juga “maarti”, atau kalender “wariga” dan perhitungan pertanian dan pengetahuan terapan. Jenis lontar ini berbeda dengan jenis keropakan yang jadi koleksi formal.
Jenis embat-embatan umumnya bukan untuk koleksi perpustakaan kerajaan yang dipakai dalam acara kebesaran kerajaan atau upakara. Lontar jenis ini berfungsi mencatat pengajaran dan catatan yang sewaktu-waktu mudah dibuka. Biasanya digantung di dapur atau balai keluarga, sebab berisi pengajaran dan petunjuk yang bersifat pedoman harian seperti kalender.
Rakyat kebanyakan kalau tidak punya lontar dengan kotak penyimpanan yang mewah biasanya punya jenis embat-embatan, baik untuk catatan tembang, obat-obatan, pedoman atau petunjuk pembuatan sesaji, juga doa-doa bersifat umum.
Bagaimana menuliskan atau mengambarkan ajaran pada lontar-lontar tersebut? Apa alat tulisnya? Namanya, di Bali, “pangrupak”.
Pangrupak dari kata “rupa”. Alat gores untuk mengambar rupa. Baik “rupa suara” (aksara) atau “rupa bentuk” (gambar), serta “rupa tubuh” (anatomi). Dengan pangrupak semua rupa pikiran, suara, perasaan, filsafat, kegaiban, disalihrupa dalam rupa aksara dan rupa bentuk. Gores rekamannya bernama “rupa” dan kandungan maknanya adalah “nama”. Pangrupak menyurat “rupa” yang mengandung “nama”.
Pada gambar 4 adalah pisau-pisau pangrupak yang dipakai menulis pada lontar. Berabad-abad dalam tradisi Asia Tenggara dan Bharatawarsa.
Pisau dalam kapasitasnya sebagai alat tulis menduduki posisi istimewa dalam perjalanan peradaban manusia. Ia memberi hidup pada suara lewat aksara. Ia bukan alat potong atau alat tusuk, tapi alat toreh. Menorehkan ingatan dan pemikiran. Menorehkan kemuliaan pikir dan ajaran-ajaran yang bisa menjadi penuntun untuk bercermin agar kita tidak sembarang saling potong dalam kehidupan, agar kita tidak gegampangan saling tusuk hendak mencabut kehidupan.
Catatan Harian Sugi Lanus, 12 Oktober 2019.