Sudah lama para ikan berenang dan kita tidak pernah berusaha mencari jejaknya. Jejak ikan di air bukannya tidak mungkin didapat. Kata kuncinya hanya satu, usaha. Usaha terus menerus pastilah membuahkan hasil. Yang terpenting, ingatlah bahwa usaha tidak pernah berkhiat pada hasil. Hasil itu ada dan nyata.
Agar didapat jejak ikan, barangkali jalan pertama yang mesti ditempuh adalah ikut berenang. Berenanglah bersama ikan-ikan tanpa menjadi ikan. Tujuan berenang bukan menjadi ikan, tapi mendapatkan jejaknya. Sayangnya tidak banyak yang ingat tujuan saat sudah terlalu nikmat berenang. Dalam bahasa Bali, kasus semacam itu disebut kalangen. Kalangen berarti keadaan hanyut kepada sesuatu.
Ada banyak kasus kalangen. Contohnya, dalam berupacara ada banyak orang kalangen. Tujuan berupacara bukan lagi menemukan kebahagiaan [hita], saya tidak tahu beralih kemana tujuan itu. Tapi jika mau jujur, upacara sebagai salah satu jalan mencapai kebahagiaan tidak lagi dijalani dengan tujuan itu. Upacara sudah menjadi prestise. Makin besar upacara, makin besar pula harga diri terangkat.
Saya tidak bermaksud mengatakan semuanya begitu. Saya bukan makhluk yang suka menilai sesuatu hanya dari satu kasus. Saya hanya ingin mengajak semua orang memikirkan kembali segala hal yang kita anggap selesai.
Jika upacara sudah beralih tujuan, lalu bagaimana menjalani hidup ini? Memang ada satu jalan lagi yang ditawarkan oleh tradisi. Jalan itu disebut jalan sepi tanpa sarana. Saya sendiri tidak menyetujui kalau ada jalan tanpa sarana sama sekali. Karena jalan itu sendiri adalah sarana. Dasar filsafat sekalipun adalah sarana. Sarana itu bisa berupa pikiran, bisa nafas, bisa suara. Trilogi ini yang sering disebut-sebut oleh banyak penutur kejernihan.
Jalan sepi itu pun bukanlah jalan yang sepi sama sekali. Orang tidak lagi duduk diam menyendiri. Tapi beramai-ramai. Tidak ada yang salah dengan itu. Orang mencari sepi dalam keramaian. Tapi benarkah ungkapan filsuf hanya sedangkal itu? Karena ramai bisa ditemukan dimana saja, dia kita bawa dalam pikiran. Makanya di jalan manapun kaki dilangkahkan, yang ditemukan bukanlah kedamaian tapi hiruk pikuk.
Menemukan kedamaian inilah yang dianalogikan seperti mencari jejak ikan dalam air. Kedamaian itu ada dan nyata, hanya perlu suatu usaha yang sungguh-sungguh. Kedamaian itu ada disini dan disana. Jejak ikan pun demikian, dia bisa ada di belakang ikan, atau pun di seluruh aliran air. Jejak itu akan ditemukan hanya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh menyerahkan dirinya menjadi pencari dan penemu. Seperti daun yang menyerahkan dirinya kepada bumi.
Jejak ikan terlampau halus untuk didapat hanya dengan sekali pencarian. Mpu Kanwa menyebut yang halus itu seperti api di dalam kayu. Atau seperti minyak di dalam santan. Yang halus itu juga mirip bayangan bulan di dalam telaga. Bayangan itu ada di sana, tapi begitu hendak diambil, malah ia buyar tidak jelas.
Ada perumpamaan kehalusan yang lebih halus lagi. Saking halusnya mereka sulit dipisahkan. Bagaimana caranya memisahkan panas yang ada di dalam api? Seperti itulah halusnya kebahagiaan yang selalu didambakan dan diusahakan oleh manusia.
Rumus kebahagiaan, sebenarnya pernah diberikan oleh tradisi kepada saya. Rumusnya adalah tidak marah dan tidak menyakiti. Tidak marah didapat dengan sabar. Tidak menyakiti didapat dengan mencintai. Jangan melakukan sesuatu yang dapat melukai orang lain lahir batin, jika kita tidak suka diperlakukan demikian.
Ada satu lagi yang mesti dipikirkan kembali karena terlanjur dititipkan oleh tradisi. Titipan itu adalah tentang asal dan tujuan. Saya sering kaget sendiri, bagaimana mungkin tradisi sampai pada permenungan bahwa asal dan tujuan itu sama. Tubuh ini berasal dari air, maka kepada air itu juga tubuh akan kembali. Ada juga tubuh yang berasal dari api, maka ke api pula ia kembali. Dari mana kita berasal, ke sana pula kita menuju. Ternyata “sampai” sama dengan “kembali”. [T]
Kacang [Kamus Cangak]
Sayang : yang ada dalam diri tapi tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.