14 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Drama Tragedi Komedia Absurd ala “Bangun Pagi Bahagia”: Hidup adalah (Bukan Sekadar) Kenangan

Kadek Sonia PiscayantibyKadek Sonia Piscayanti
October 8, 2019
inUlasan
Drama Tragedi Komedia Absurd ala “Bangun Pagi Bahagia”: Hidup adalah (Bukan Sekadar) Kenangan
34
SHARES

Membaca Eswe selalu membuat saya berhasil tersenyum. Bahagia. Namun bahagia bukanlah datang sendiri tanpa rasa lainnya. Bahagia justru muncul tak sendiri. Ia datang bersama rasa-rasa yang lain, pahit, getir, ironi dan kadang sedih. Bahagia itu muncul kadang ketika sedih sudah melampaui batasnya.

Bagi saya, Eswe selalu dapat menghadirkan rasa bahagia dalam pengertian yang sangat kompleks. Kita bisa saja tersenyum membaca naskahnya, atau bahkan ketika dia menulis apapun namun kita tahu Eswe tidaklah sedang bergurau omong kosong belaka. Omong kosongnya (setidaknya jika kita percaya dia hanya punya omong kosong) sangat berisi. Anehnya kita mau sepert terhubung dengan omong kosongnya.

Apa yang menghubungkan kita dengan omong kosongnya. Karena kita juga adalah produk omong kosong yang sama, namun pandai berpura-pura kita bukan omong kosong. Kita adalah kesunyian yang panjang di antara ambisi ingin dikenang.

Kita adalah si cerdik pandai yang merasa Eswe sedang membodohi kita padahal kita memang bodoh karena sombong.

Eswe membuat kita merasa perlu untuk duduk kembali menyapa pagi dengan bahagia yang jujur, bukan bahagia yang pura-pura.

Eswe ingin kita mencintai padi, seperti mencintai pagi dengan gaya seorang anak kecil bernama Komang, yang dikenalnya di Bali, tepatnya di Budakeling Karangasem, hingga lahir puisi ini.


komang menghitung bulir-bulir padi,

komang ingin memeluk padi.

komang mencintai padi.

komang ingin menjadi padi.

komang ingin mengajak padi pergi ke pasar

komang mengajak padi berangkat ke sekolah

padi-padi belajar sejarah dan ekonomi.

cericit burung datang dari barat dan utara,

burung-burung itu miskin dan terlantar

komang datang membawa masa depan.

bersama gemericik air sungai.


padi-padi belajar sejarah dan ekonomi.


Nah kurang jujur apa puisi macam ini. Puisi dalam naskah drama ini hanya satu dari banyak puisi yang ada di dalamnya, sampai saya ingin bertanya, ini buku puisi apa naskah drama. Hahaha. Tapi baiklah. Puisi ini terhubung dengan saya karena kata padi, bukan semata karena saya terobsesi pada padi atau karena nama anak saya Putu Putik Padi, namun karena saya terharu pada baris-barisnya terutama padi-padi belajar sejarah dan ekonomi

Saya terharu karena jika saja padi belajar sejarah dan ekonomi maka Indonesia tidak akan pernah mengimpor lagi beras dari negara tetangga.

Saya terharu karena Komang ingin mengajak padi pergi ke pasar, melihat betapa sedihnya bangsanya digiling sehingga berganti nama menjadi beras dan dijual tak tentu arah, menyisakan hanya kemiskinan bagi yang memeliharanya, bangsa yang bernama petani.

Simbol anak kecil yang dihadirkan menimbulkan bukan hanya kejujuran namun juga pertanyaan tentang rasa bahagia yang pahit dan ironis.


komang mengajak padi berangkat ke sekolah

–

komang datang membawa masa depan.


Seolah-olah sekolah mengajarkan masa depan, seolah-olah padi memiliki masa depan. Jika kita melamunkan puisi ini lebih lama lagi, rasanya bahagia kita akan sirna, berganti kesedihan memikirkan masa depan padi. Tapi, ah sudahlah. (saat saya menulis ini saya mendengar tivi melantunkan lagu kebangsaan Indonesia Pusaka ciptaan Ismail Marzuki  yang menjadi tanda berakhirnya siaran tv). Mendadak saya ingin menoleh ke tivi. Klipnya ada petani sedang menanam padi. Padi masuk tivi. Apakah ini semua kebetulan. Dada saya berdesir. Kok mendadak jadi mellow. Rasa nasionalisme dipadukan dengan naskah drama ini menjadi klop. Mendadak sedih, bahagia dan lain-lain.

Mari kita tengok lagi bagian lain naskah ini. Bagian bahagia lainnya. Atau bagian muramnya. Lagi pula, bahagia dan muram sama saja akhirnya. Sama sama berakhir menjadi kenangan.


Tahun 1997 adalah tahun dimana kami tumbuh menjadi seorang remaja. Masa  remaja kami ditandai dengan mengikuti kegiatan penataran P4 singkatan dari  Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Salah satu kegiatannya menyanyikan lagu-lagu daerah seperti tadi. (Jeda) Yah, kami Remaja yang asal – asalan sekolah, agak manja, tak pernah juara kelas dan mempunyai sedikit jiwa pemberontak. (Jeda) O, iya, hampir lupa, perkenalkan nama saya: Bas. Sebelah kanan saya adalah…


Naskah ini menjanjikan sesuatu yang lebih dari lamunan–lamunan tiga pemuda Indonesia yang menginjak remaja di jaman tahun 1997, karena mereka tidak hanya sekedar ada, namun berpikir dan mempunyai sedikit jiwa pemberontak untuk mendobrak, setidaknya mempertanyakan masa lalu dan memahaminya dalam perspektif mereka. Mungkin juga  mencoba menertawainya. Betapa absurdnya.


Kami adalah remaja yang tumbuh di sebuah negara bernama Indonesia. Negara yang  diproklamasikan oleh Insinyur Soekarno dan Doktorandus Mohammad Hatta pada tanggal 20 Agustus 1945 (Frank mentoyor kepala Bas hingga terhuyung. Lalu Bas kembali duduk tegap). Pada tanggal 19 Agustus 1945 (Bob mentoyor kepala Bas hingga terhuyung. Kembali Bas duduk tegap. Bas merubah mimik wajah serius lalu berucap sangat serius). Pada tanggal 17 Agustus 1945 (Bob dan Frank megelus elus kepala Bas. Lalu Bas tersenyum). Kedua orang tua dan guru-guru kami mengajarkan untuk mencintai tanah air dan bangga menjadi bangsa Indonesia. (Jeda)


Masa remaja kami tumbuh di era kekuasaan: Jen…dral Soe…har…to.


Sedang tokoh idola saya hanya dua yakni: Tan Malaka dan Soeharto. Sebab menurut saya mereka berdua sangatlah cocok. Tan Malaka adalah seorang pemikir Komunis sedang Soeharto berhasil mengkomuniskan banyak orang. Sangatlah singkron antara teori dan praktik.

Namun sesungguhnya pertanyaan penting dalam naskah ini adalah kesunyian, kesendirian, kenangan, kesedihan yang absurd.


Bu, apakah keluarga diciptakan hanya untuk menjadi kenangan?


Aku takut sendirian, Bu. Tubuhku kedinginan. Aku ingin menangis tapi aku lupa            dimana aku menaruh air mataku. (Jeda)


Absurditas manusia muncul ketika dia diuji oleh kesunyian dan kesendirian, lalu teman–teman yang senasib ‘sekesunyian’ hadir untuk memberi warna, bukan untuk mengusir kesunyian namun untuk mencari ide-ide segar absurd sekilas, lalu untuk kembali pada kesunyian.


Ya, kita akan menjadi berandalan kota. Kita akan merampok dengan riang gembira. Hmmm…Pertama, kita rampas senjata Polisi Bank, dan langsung kita tembak. Dorr! Kalian berdua masuk Bank dengan santai. Cool. Langsung arahkan pedang ke Teller. Frank segera putus kabel telponnya. Lalu kuras isi brangkasnya. Aku segera masuk dan menembaki satu persatu orang – orang yang ada dalam ruangan. Kita ambil semua harta benda yang mereka bawa. Selesai kan? 


Saya mengingat absurditas yang ditawarkan Samuel Beckett dalam naskah Waiting for Godot. Ada dua sahabat yaitu Vladimir dan Estragon yang sedang menunggu Godot, namun Godot tak pernah datang. Ada karakter Lucky dan Pozzo yang berada dalam lingkaran absurd yang lain, yang seolah hadir memberi harapan bagaikan Godot, namun ternyata bukan, memperkuat kesan penantian sia-sia. Absurditas menunggu menjadi sesuatu yang mengganggu sekaligus memantik percakapan, ide-ide baru tentang kemanusiaan yang absurd.

Jika kita bandingkan naskah ini dengan naskah Beckett maka ada beberapa hal yang tampaknya sama, yaitu konsep the theater of the absurd (istilah yang diperkenalkan Martin Eslin, 1961) yang setidaknya memiliki beberapa kekhasan. The theater of the absurdlahir pasca Perang Dunia ke-2 yang menyisakan banyak chaos di masyarakat dunia dan mempengaruhi gaya teater di Eropa dan Amerika. Kala itu Martin Esslin menggolongkan beberapa gaya teater yang non-sense ke teater absurd, sebuah istilah yang dia ambil dari The Myth of Sysiphus yang diciptakan oleh Albert Camus, filsuf asal Prancis.

Dalam konteks naskah ini, Eswe membidik masa reformasi sebagai masa absurd pasca masa Orde Baru, dimana 3 pemuda mencoba menyalakan semangat mereka menjalani masa-masa reformasi namun tetap lapar, dan menjadi manusia.


Frank  : Bas, tapi aku benar – benar merasakan kekuatan gerakan ini! 32 tahun dibutakan politik tapi sanggup melawan dan menjungkalkan tirani.


Bas      : (Bas berhenti jualan) Iya Frank, aku tahu apa yang kamu pikirkan. Kita akan tetap masuk barisan Frank. Nanti kita bergabung dengan barisan rakyat menuju alun – alun menghadiri Pisowanan Ageng (Sebuah acara dimana rakyat menghadap kepada Rajanya untuk mendengar wejangan atau kebijakan sang Raja) .


Frank  : Tapi aku lapar Bas.


Camus mengatakan bahwa dunia modern adalah absurd, tak masuk akal. Tak ada yang bisa menjelaskan ketidakadilan, inconsistencies, dan kekejaman dunia modern. Setelah perang dunia ke-2 adalah masa-masa absurd yang kemudian menginspirasi banyak penulis teater menulis naskah absurd seperti Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Edward Albee, hingga Harold Pinter. Bagian ini dijelaskan dalam buku The Theater Experience karya Edwin Wilson, 4th Edition (1988, Chap. 10).

Contoh nyata teater absurd adalah Waiting for Godot. Ada 3 kekhasan dalam teater absurd.

Pertama, karakter yang muncul adalah karakter eksistensial, yaitu karakter ahistoris, yang hadir tanpa latar belakang historis yang kuat, hanya pemantik tema absurditas belaka. Dalam konteks naskah ini, tiga pemuda hadir sebagai medium menghadirkan pertanyaan-pertanyaan dan pikiran-pikiran absurd.

Kedua, verbal nonsense.  Kekhasan teater absurd adalah pada kalimat-kalimat di luar logika yang menempatkan chaos berpikir di atas segalanya. Dalam naskah ini seringkali Bas, Bob, dan Frank mengalirkan dialog nonsense.


Bob mengarahkan parangnya kepada Frank. Bas segera menghalau dengan menjepit parang dengan dua jari tangan.

Bas                  : Bob, berjanjilah padaku jangan diulangi lagi

Bob                  : Aku tidak tahu lagi Bas.

Frank              : Berpikirlah sebelum bertindak Bob

Bob                  :  Aku sudah tak punya pikiran, Frank!

Frank              : Ah, seharusnya kamu….

Bas                  : Frank!

Bob                  : Biarkan Frank bicara, Bas

Frank              : Aku benci kamu, Bob.

Bob                  : Kamu berhak, Frank.

Bas                  : Sudah cukup!

Bob                  : Temanku hanya kalian. Dunia telah membenciku.

Frank              : Tubuhmu kotor Bob, mandilah dulu.

Bob                  : Tidak mau aku ingin mati saja.

Bas                  : Sudahlah. Sudah. Kita mesti duduk bersama.


 Dalam naskah Waiting for Godot misalnya, penantian Vladimir dan Estragon digambarkan seperti ini.


ESTRAGON
Let’s go!
VLADIMIR
We can’t.
ESTRAGON
Why not?
VLADIMIR
We’re waiting for Godot.
ESTRAGON
(despairingly) Ah!


Tidak ada yang bergerak. Karakter menunggu dalam penantian yang bodoh dan sia-sia. Namun begitulah kehidupan digambarkan, seperti lingkaran berulang-ulang, tidak berujung bertepi, penuh dengan penantian sia-sia.

Kekhasan berikutnya adalah struktur yang tidak biasa, non sequitur, awal maupun ending ending yang berupa chaos, sekaligus sunyi dan tiada henti. Absurdit percaya bahwa hidup adalah nihil, seperti kosong yang tiada ujung pangkalnya, bahkan hingga akhir kehidupan, atau hidup setelah kematian, sama saja nihilnya.


Biarkan kami membuat sejarah dari kerlip bintang dan fajar menyingsing

Sebab hari depan adalah pernyataan. Adalah kepalan tangan kami

Dan tercatat pada setiap jejak langkah:

Lupa adalah berhala. Lupa adalah binasa

Ingatan adalah senjata. Ingatan adalah nya…wa!


Maka sesungguhnya drama ini tidak pernah berakhir. Bahkan hingga ingatan selesai, drama ini akan tetap ada. Sepanjang manusia masih menerima kesunyiannya masing-masing. Demikianlah. [T]


Reference

Edwin, W. (1988). The theater experience (4th ed). New York: McGraw-Hill Book Company.  

Tags: BukuDramaresensi bukusastraTeater
Previous Post

Salah Kawitan – Catatan Harian Sugi Lanus

Next Post

Jejak Ikan Dalam Air

Kadek Sonia Piscayanti

Kadek Sonia Piscayanti

Penulis adalah dosen di Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja

Next Post
Swastyastu, Nama Saya Cangak

Jejak Ikan Dalam Air

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 13, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

Read more

Refleksi Visual Made Sudana

by Hartanto
May 12, 2025
0
Refleksi Visual Made Sudana

JUDUL Segara Gunung karya Made Sudana ini memadukan dua elemen alam yang sangat ikonikal: lautan dan gunung. Dalam tradisi Bali,...

Read more

Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

by Sonhaji Abdullah
May 12, 2025
0
Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

DI Sekolah, fenomena bullying (dalam bahasa Indoneisa biasa ditulis membuli) sudah menjadi ancaman besar bagi dunia kanak-kanak, atau remaja yang...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co