Kebodohan akan mengakibatkan kegagalan, Benarkah hal itu? Apa kabarnya “saat ini” dengan sebuah kejujuran yang justru menjerumuskan talenta ke jurang kegagalan bahkan keterpurukan.
Sudut pandangku memang sedikit berbeda, katakan saja lain, agar kau yang merasa benar tambah senang. Saat ini yang aku lihat adalah mula keberhasilan diawali dengan senyum palsu nan bermotif bak sang mega mendung indah dengan lengkung lemuh garisnya. Aku terlanjur berjalan terlalu jujur karena ingatan dimasa lalu sebuah keberhasilan ditentukan oleh kecerdasan intelektual yang didasari sebuah kejujuran murni.
Menyesal aku mengatakan hal ini, tapi peraaan ini mengebu untuk mengungkapkan apa yang menjadi risalahku saat ini, dimana saat ini aku di kelilingi oleh-oleh yang berprestasi namun fiksi. Apa dasarku mengatakan itu? Tentu karena dalam sebuah kompetensi kewajiban, hal-hal yang dikerjakan tak kunjung tuntas bahkan terbelangkai layaknya bangkai anjing di sudut gang mawar.
Lalu kenapa mereka bisa berprestasi? Tiada lain, maafkan aku yang telah menggeser makna “Mecik Manggis” yang adi luhung tentang abdi yang hormat terhadap pimpinannya. Namun mecik manggis yang kali ini aku utarakan tanpa lagi ada diksi-diksi sindiran, aku konotasikan negatif bahwa segerombolan orang yang bermuka dua, menyanjung dan bahkan menjilat demi prestasi. Apakah sang pemimpin itu tak sadar sedang dijilat?
Sesungguhnya sadar bahkan tahu sedang dijilat, namun beberapa tipe pemimpin saat ini, malah merasa senang dijilat, mungkin rasa geli-geli itu menimbulkan birahi tinggi. (baca: haus kekuasan). Sang Mahabali sempat menuturkan pada Rahwana, bahwa selama kau haus akan kekuasan dan gila hormat, maka jiwa kepemimpinanmu akan menjadikan salah satu bahkan mengkhususkan seseorang menjadi skala prioritasmu, jika kau terlena dan menikmati hal itu, percayalah kelak kau hanya akan menjadi sebuah pilihan diantara mereka yang berjalan ke kanan dengan kejujuran yang murni.
Langkanya sebuah kebenaran saat ini tidak dapat dipungkiri, kebutuhan akan rasa nyaman, aman dan tentram membuat manusia bagaikan asura, berpikir instan dan suka memuji di depan, menikam di belakang. Mecik Manggis sujatinya sikap penghormatan yang patut untuk ditetapkan sebagai acuan hormat terhadap pimpinan, iya jika kita konotasikan positif. Namun kebenaran sifatnya sangat relatif, bahkan antara subjektif dan objektif tak ada lagi sekat-sekat penghalang, terkait kebenaran subjektif dalam konotasi negatif Mecik manggis, yakni sebuah kebenaran yang faktanya direkayasa dan bergantung dengan situasi, kondisi yang memungkinkan dengan apa yang mungkin akan diraih, tanpa toleransi terhadap pesaing-pesaing ulung yang berseragam keteguhan hati.
Masa-masa prestasi diperjualbelikan dan cukup dengan mecik manggis maka prestasi fiksi tergapai. Jujur aku merasa bersalah telah mengatakan ini, sekali lagi maafkan aku yang kosong akan tipu muslihat, mecik manggis sebagai kambing hitam dalam kobohongan sistematis yang mengingkari azas kebenaran itu sendiri. Aku cemburu dengan keadaan yang ada, dimana sebuah kejujuran tak lagi menjadi tempat utama saat ini, apakah karma kehabisan bahan bakarnya untuk menggilas manusāsura? Entahlah mungkin masih menunggu waktu.
Harapanku terhadap yang masih sadar, tetaplah menjadi apa yang kau inginkan, karena asa kebenaran semakin jauh bahkan hampir tenggelam di barat bersama matahari potensi prestasi asli, tak ada yang patut untuk dipercaya, bahkan aku yang berjalan di jalan yang berbeda, kemunafikan dan kebodohan telah bersahabat bersama hati nurani saat ini, dengan kenyamananya masing-masing. Jika kau tak nyaman dengan situasi ini bergeraklah, mari aku antar bersama, mengembalikan “Mecik Manggis” pada porosnya di sisi positif. [T]