Kamu sama denganku. Sama-sama manusia yang lahir dari kandungan ibu dan kebingungan mencari ayah. Ibu adalah bumi, tempatmu berpijak. Ayah adalah langit, tempatmu bergantung. Jika tempatmu bergantung belum kamu temukan, kamu cukup minta dipangku ibumu. Jadilah anak dari ibumu, agar diakui ayahmu. Pangkulah aku ibu, lindungi aku ayah. Begitu harusnya katamu. Selama ini, ternyata kita tetap jadi kanak-kanak.
Siapa bilang kita ini sudah dewasa? Ada shastra yang mengajarkan, bukan karena jenggot yang panjang seseorang disebut tua. Bukan juga karena kulitnya yang keriput. Tidak juga karena sudah menikah atau karena usia. Orang disebut tua, jika sudah bijaksana. Bijaksana artinya selalu melihat dari sudut pandang yang tepat. Tidak hanya melihat, tapi juga mengambil keputusan dengan cara yang tepat. Hidup ini pilihan.
Bukan rahasia lagi, kalau kita suka pura-pura bijaksana. Kebijaksanaan tidaklah lahir begitu saja. Tidak cukup hanya dengan membaca. Tidak cukup hanya dengan mendengar keluhan. Kebijaksanaan adalah hasil tempaan. Makin keras tempaan, mestinya makin bijaksana hasilnya. Apa ciri kebijaksanaan jika dicari-cari dalam banyak pikiran manusia? Dalam beberapa studi singkat saya, kebanyakan orang menganggap kebijaksanaan ada di dalam kata “penerimaan”.
Masalah datang bertubi-tubi. Berbagai jurus bertahan dan menyerang juga sudah dilakukan. Lebih lagi jurus-jurus berkelid, juga sudah mafhum. Semua sudah di tingkat praktik. Sayangnya masalah lebih sakti dan cekatan, dan kita kalah. Setelah kekalahan, muncullah kata “penerimaan”. Samakah menerima dengan putus asa? Saya belum sama sekali tahu bagaimana membedakannya. Bolehlah kita tanya kepada penutur kejernihan atau pendharma wacana.
Merenung-renung di tingkat itu juga penting, agar didapat sari-sari hidup. Gunanya, agar hidup tidak hanya sekadar lewat menunggu mati. Karena ada rumus menarik yang diberikan oleh Bhagawan Wararuci. Konon masa muda dinanti oleh masa kanak-kanak. Masa tua, dinanti oleh masa muda. Setelah masa tua ketemu, yang dinanti adalah mati. Bayangkan, ternyata hidup ini adalah penantian.
Apalagi yang lebih mendebarkan dari penantian? Kita dihadapkan pada situasi yang sangat sulit untuk diterka. Akan jadi apa hasil penantian ini nanti. Agar hasilnya berkualitas, maka jadilah penanti yang memiliki kualitas juga. Seperti sedang menjebak burung, pancing jugalah dengan burung. Masak iya, menjebak burung pancingannya naga. Jelas itu tidak nyambung. Kecuali burungnya sebesar galaksi dan naganya sebesar ibu jari, mungkin saja.
Melalui tulisan ini, saya ingin mengatakan sekali lagi, kamu itu daku. Kita sama dan berbeda di saat yang sama. Dalam beberapa lontar, kita ini disebut sisa-sisa. Kenapa sisa-sisa? Karena konon, dahulu kita sempat hidup lalu mati. Semasa hidup dahulu, konon kita ini banyak kerjanya. Semua kerja itu ada hasilnya. Hasil kerja itulah yang tidak habis kita nikmati dahulu, maka saat ini kita lahir untuk menikmati sisa-sisa. Singkatnya kita ini hidup untuk sisa-sisa. Bahkan kita ini adalah sisa-sisa.
Saya sendiri belum tahu, bagaimana menjelaskan tentang kehidupan dahulu. Tidak ada sedikit prosen pun ingatan yang bisa saya katakan untuk membuktikan hal itu. Barangkali di luaran sana, ada yang bisa kita tanyakan untuk menjelaskan tentang kehidupan di masa lampau. Tanyakan saja, untuk apa kita hidup di dunia?
Saya pikir, salah satu kalimat dari Ida Pedanda Made Sidemen ada benarnya. Kita adalah pangresek jagat [penyesak dunia]. Saya tidak bisa berhenti membayangkan, kalau kehidupan kita yang konon utama ini dalam pandangan Ida Pedanda Made adalah menambah sesak dunia yang sudah sesak ini. Barangkali kita hidup hanya untuk menghabiskan oksigen bumi. Untuk terbebas dari pengertian itu, sepertinya kita haruslah melakukan sesuatu. Sesuatu itu tentu saja yang berguna untuk semesta. Yang bermanfaat untuk kita.
Mungkin ini saatnya kita menyeberang dari telaga ini. Mari kawan-kawan! [T]