Sesuai data dinas kesehatan Provinsi Bali per Desember 2018, angka pengidap HIV/Aids di Buleleng sudah mencapai 3.019 orang. Angka ini membawa Buleleng menempati posisi ketiga jumlah ODHA terbanyak di propinsi Bali. Kasus terbanyak terjadi pada kelompok umur 19-34 tahun dengan faktor risiko terbesar adalah prilaku seks yang tak aman.
“Seks tidak aman” perlu digarisbawahi di sini. Ada tusukan ironi dalam maknanya. Bagaimana ceritanya seks menjadi tak aman? Bukankah seks harusnya nikmat dan menyehatkan? Yang tidak aman harusnya kebut-kebutan di jalan atau bermain-main dengan narkoba. Beda dengan narkoba dan kebut-kebutan yang melanggar hukum, seks itu jelas legal.
Mari kita bahas sedikit seks pada keadaan yang seharusnya, yang ideal. Secara alamiah, seks menjadi kebutuhan biologis yang nyaris absolut. Ada beberapa orang yang oleh karena tradisi atau pilihan hidupnya tak melakukan seks. Meski seks bagian alamiah dari setiap spesies, bahkan bagi mahluk bersel satu sekalipun, namun ia memang tak vital. Artinya manusia tetap bisa hidup sehat tanpa seks. Kendati demikian, seks selalu dikaitkan dengan kualitas kehidupan manusia. Apalagi jika merujuk pada teori psikoanalisa Sigmund Freud. Ia terutama dikaitkan dengan kesehatan jiwa.
Dalam kehidupan pada umumnya, seks adalah kebutuhan dan memiliki pola atau siklus seperti kebutuhan makan atau tidur. Seks, selain dapat membakar kalori tubuh mirip seperti melakukan olahraga, ia dapat memacu endorfin di dalam tubuh. Endorfin adalah opiat natural yang dihasilkan tubuh yang dapat memberikan rasa senang dan rileks. Oleh karenanya dapat memperbaiki suasana hati yang berimbas pada perbaikan fungsi-fungsi sistem organ dalam tubuh. Inilah kenapa aktifitas seksual sering dikaitkan dengan kualitas hidup manusia.
Menjadi sebuah kebutuhan, tidaklah membuat seks membawa masalah. Masalahnya timbul saat diikuti embel-embel “tak aman”. Seks tidak aman yaitu seks yang dilakukan berganti-ganti pasangan tanpa kondom. Ada dua elemen dalam fenomena ini. Pertama, seks yang berganti-ganti pasangan, kedua seks tanpa kondom. Berganti-ganti pasangan seks dari sudut pandang biologi semata, tentulah juga bukan persoalan. Kecuali jika pasangan itu sesama jenis atau bukan manusia. Jika sesama jenis pun kita sebut tak normal, hanya karena definisi normal adalah apa yang berlaku pada umumnya yaitu heteroseksual.
Maka sesungguhnya, terkait banyak pasangan seks, takkan ada perdebatan biologis di sana, melainkan sepenuhnya diskursus pada area moralitas. Moralitas pada akhirnya tergantung dari kultur sebuah masyarakat. Ia akan menjadi perkara yang sedemikian rumit, apalagi jika moralitas kemudian ditarik-tarik ke dalam penerapan hukum positif, terutama hukum pidana. Begitulah yang ramai dibahas saat ini, terkait berbagai prilaku seksual yang diframe ke ranah pidana (KUHP). Sebagai perbandingan, di negara-negara barat, prilaku seksual yang salah di mata hukum hanyalah seks di bawah umur dan pemerkosaan dan ini logis bisa dipahami.
Saat moral tak mungkin diatur, maka setidaknya tetaplah sehat. Ini pun harus logis bisa dipahami. Jika moral sepenuhnya dapat menjadi tanggung jawab personal maka saat terinfeksi HIV, banyak pihak yang mendapat kerepotan, terutama biaya pengobatan yang sangat besar oleh pemerintah. Belum lagi hilangnya potensi ekonomi seorang ODHA yang sebagian besar berada pada masa produktif. Maka gagasan ini sebaiknya dapat dipahami oleh semua pihak, tak hanya pelaku seks banyak pasangan, namun juga pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat terutama pemuka agama.
Selama ini, kampanye penggunaan kondom untuk mereka yang doyan gonta-ganti pasangan seks masih sering mendapat resistensi dari kelompok konservatif. Seakan-akan ide ini telah mengajak anak muda untuk melakukan seks bebas. Ini mirip dengan satu program yang disebut sebagai program pengurangan kerugian (harm reduction) pada mereka pemakai narkoba dengan jarum suntik (injecting drug user/IDU). Lantaran tingginya penularan HIV lewat jarum suntik yang dipakai bersama-sama (sharing nedle), maka kelompok IDU tersebut diajarkan cara mencucihamakan jarum suntik yang hendak dipakai lagi. Di negara-negara Eropa, kebijakan ini bahkan diundang-undangkan.
Pemakaian kondom meski tak bisa dikatakan dapat mencegah 100% risiko penularan HIV, namun berdasarka berbagai riset yang luas, dianggap sangat efektif. Badan kesehatan dunia (WHO) pun memberikan rekomendasi yang kuat untuk digunakan sebagai pencegahan penularan HIV pada kelompok berisiko. Kita tak bisa terus-menerus terbenam dalam perdebatan moral yang tak berkesudahan jika faktanya kasus HIV semakin banyak jumlahnya. Kembalikan moralitas pada individu masing-masing, lalu berikan edukasi yang baik agar generasi muda menjadi smartdan tetap sehat seperti di negara-negara maju yang tak banyak gembar-gembor soal moral namun kasus penularan HIV-nya dapat ditekan hingga mendekati nol! [T]