Di kampung saya ada kepercayaan tentang kepala desa. Kepercayaan itu menurut saya agak “aneh”. Tidak salah, hanya aneh saja. Jadi begini. Orang-orang di kampung saya itu percaya, bahwa yang bisa menjadi kepala desa hanyalah mereka yang memiliki garis keturunan dari kepala desa yang dulu—atau paling tidak, orang yang memiliki kekayaan lebih dari penduduk lainnya. Bapak saya jelas tidak masuk kriteria.
Atas kepercayaan itu, jarang sekali ada yang berani untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa dari kalangan biasa-biasa saja—walaupun ia layak sekalipun. Praktis, setiap kali musim pemilihan kepala desa, hanya yang merasa punya darah keturunan dan kaya saja yang berani mencalon diri.
Kalau pun ada dari kalangan biasa yang mencalonkan diri, dan lawannya adalah salah satu dari kalangan itu, pasti tidak terpilih. Satu, dia tidak memiliki garis keturunan dari keluarga kepala desa terdahulu; dua, dia tidak punya cukup uang untuk membeli suara. Semisal jadi pun, saya yakin ia hanya akan menjadi bahan gunjingan.
Kenapa bisa begitu? Ya karena ia tidak punya cukup biaya untuk melakukan syukuran. Memberi makan, minum, dan rokok bagi mereka yang berkunjung ke rumah. ‘Endol-endol’, kami menyebutnya.
Kepercayaan ini saya dengar dari mbah-mbah saya. Memang, sependek pengetahuan saya, sampai hari ini, yang menjadi kepala desa di kampung, hanyalah orang-orang yang memiliki garis keturunan kepala desa dahulu, dan orang yang memiliki kekayaan lebih dari penduduk lainnya. Apa sebabnya, tidaklah jelas.
Seumur hidup, seingat saya, hanya sekali saya ikut nyoblos pemilihan kepala desa. Tepatnya di tahun 2014. Waktu itu tempat nyoblosnya di Kantor Balai Desa. Seingat saya, hanya satu calon. Inkambent melawan kotak kosong. Setelah mencoblos, saya dikasih amplop berisi uang yang saya lupa berapa nominalnya. Bayangkan, untuk menang melawan kotak kosong saja harus mengeluarkan uang. Padahal, dengar-dengar, inkambent ini masih punya ikatan keluarga dengan kepala desa terdahulu.
Saya meminta Anda untuk membayangkan sekali lagi, di luar sana, orang sudah ramai bicara tentang revolusi industri 4.0, artificial intelligence, big data, dan sudah memiliki kriteria-kriteria yang pantas dan layak menjadi kepala desanya masing-masing, kampung saya, masih percaya bahwa hanya mereka yang memiliki garis keturunan dari kepala desa yang dulu dan orang yang memiliki kekayaan lebih dari penduduk lainnya yang bisa menjadi kepal desa.[T]
(2019)