Seniman lukis dan topeng Batuan yang tergabung dalam Kelompok Baturulangun berpameran bersama di Bentara Budaya Bali (BBB) merujuk tajuk “Ibu Rupa Batuan”. Pameran yang menghadirkan karya-karya generasi pendahulu hingga yang terkini ini adalah sebentuk penghormatan terhadap ibu. Eksibisi dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Dr. I Wayan Adnyana, pada Minggu (08/09), pukul 18.30 WITA di BBB. Adapun pameran akan berlangsung hingga 18 September 2019. Ini adalah catatan dari kurator Wayan Jengki Sunarta.
___
Ibu adalah kosa kata yang sangat akrab dengan kehidupan kita. Secara biologis, ibu adalah sosok yang melahirkan kita. Ibu juga adalah sosok yang mengasuh dan membesarkan kita. Ikatan batin antara ibu dan anak merupakan suatu keniscayaan yang tidak akan luntur digerus waktu.
Dalam konteks sosial-budaya-religi di Bali, ibu juga dimaknai sebagai suatu pusat, ikatan, atau muasal. Maka orang Bali mengenal istilah “pura ibu”, “paibon”, atau “kawitan” yang menandakan bahwa pura itu terkait dengan ikatan keluarga besar dari satu trah atau satu keturunan. Dalam mitologi Hindu juga dikenal sosok-sosok dewi yang dipuja sebagai ibu, seperti Saraswati, Laksmi, Uma, Gangga, dan sebagainya.
Pada tataran yang lebih luas, bumi (tanah dan air) sering disebut “ibu pertiwi” di mana setiap penghuninya saling terhubung dalam satu kesatuan kosmologi. Kehancuran “ibu pertiwi” berarti kehancuran bagi semua mahkluk hidup. Maka, menjaga ibu pertiwi adalah merawat ikatan buana alit (manusia) dan buana agung (bumi dan semesta) demi keberlangsungan kehidupan.
Pameran seni lukis dan topeng karya seniman Batuan ini adalah bentuk penghormatan terhadap ibu. Sebagai sebuah wilayah komunal, bisa dikatakan Desa Batuan adalah ibu yang melahirkan dan memelihara aneka ragam kesenian yang bisa dinikmati hingga kini. Selain seni lukis, di Batuan juga lahir seni pahat topeng, ukiran, dan dramatari Gambuh. Bahkan seni lukis tradisional gaya Batuan telah diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2018.
Kegiatan seni di Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali, telah ada sejak zaman kerajaan Bali kuna dan menjadi bagian dari ritual keagamaan. Buku Prasasti Bali I (1954) yang disusun R. Goris menyebutkan bahwa dalam Prasasti Batuan yang dibuat tahun 944 Saka (1022 M) pada masa pemerintahan Raja Marakata dari Dinasti Warmadewa telah termuat kata citrakaradan sulpika. Citrakara bisa ditafsirkan sebagai keahlian menggambar, sedangkan sulpika adalah keahlian memahat. Catatan sejarah itu membuktikan bahwa kegiatan seni di Batuan telah berusia hampir seribu tahun.
Dalam buku Inventing Art, The Paintings of Batuan Bali (2012), Bruce Granquist mencatat bahwa ada dua mahaguru seni lukis di Desa Batuan, yakni I Dewa Putu Kebes (1874-1962) dan I Dewa Nyoman Mura (1877-1950). Dari kedua mahaguru inilah seni lukis gaya Batuan bermula. Pada awalnya mereka memperkenalkan seni lukis wayang gaya Kamasan, kemudian berkembang menjadi seni lukis gaya Batuan seperti yang kita kenal sekarang. Dalam buku tersebut Bruce Granquist juga memuat diagram pohon “guru-murid” dalam konteks pewarisan ilmu melukis dari generasi ke generasi.
Kegiatan melukis di Desa Batuan menemukan eksistensinya dan dikenal luas ketika antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson melakukan penelitian di desa itu pada masa pertengahan 1930-an. Kedua antropolog tersebut banyak mengoleksi dan mempromosikan seni lukis Batuan. Pada masa itu, lukisan Batuan cenderung menampilkan tema kehidupan sehari-hari, cerita rakyat, mitologi, dan cuplikan kisah pewayangan, dengan nuansa magis yang sangat kental.
Seni lukis Batuan mampu bertahan dan berkembang hingga sekarang karena adanya sistem pewarisan pengetahuan dan keterampilan seni dari generasi ke generasi. Sistem itu dulunya bersifat informal dan berlangsung dalam keluarga, kerabat, atau lingkungan terdekat. Metodenya pun berbeda-beda. Ada dengan cara meniru atau mencontoh. Ada dengan memberikan teori dan teknik.
Untuk terus menjaga dan merawat seni lukis tradisional gaya Batuan, pada tahun 2012 didirikan Perkumpulan Pelukis Baturulangun yang beranggotakan para pelukis Batuan. Salah satu bentuk program Baturulangun adalah membuat pelatihan melukis untuk anak-anak bekerja sama dengan Sekolah Dasar di Batuan. Selain itu, Baturulangun juga menggelar pameran bersama, seperti pameran Endih Baturan di Taman Budaya Bali pada tahun 2018.
Pameran karya-karya seniman Desa Batuan lintas generasi kali ini tergolong akbar. Tidak hanya menampilkan karya generasi terkini, namun juga karya generasi terdahulu. Pameran ini bertajuk “Ibu Rupa Batuan”, digelar di Bentara Budaya Bali, tanggal 8 hingga 18 September 2019.
Untuk seni lukis dari generasi terdahulu diwakili oleh karya-karya Ida Bagus Made Widja, Ida Bagus Made Togog, Nyoman Ngendon, Ketut Tomblos, Wayan Punduh, Wayan Regug, I Wayan Taweng, I Wayan Kabetan, Mangku Made Budi, Mangku Nyoman Barak.
Untuk generasi kelahiran 1940-an, 1950-an, dan 1960-an, diwakili oleh karya-karya Made Tubuh , I Ketut Manggi, I Wayan Rajin, Ketut Reta, I Wayan Bendi, I Ketut Murtika, Ida Bagus Asta, Gusti Ngurah Muryasa, I Wayan Warsika, Ketut Suarnawa, Dewa Putu Arsania, I Made Nyana, I Made Renanta, I Wayan Malik, Gusti Ayu Natih Arimini, I Made Sujendra, Dewa Ketut Tilem, I Nyoman Toyo, I Nyoman Marcono, Nyoman Sudarsana, I Ketut Sadia, Pande Made Martin.
Sementara itu generasi kelahiran 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, diwakili oleh karya-karya I Nyoman Kastawa, I Ketut Balik Parwata, Ida Bagus Putu Padma, I Wayan Dana Wirawan, I Nyoman Selamet, Dewa Nyoman Martana, I Wayan Diana, I Nyoman Sudirga, I Made Griyawan, I Made Karyana, Dewa Made Virayuga, I Gede Widyantara, I Wayan Eka Mahardika Suamba, Nyoman Nurbawa, Gusti Ngurah Agung, Ida Bagus Ketut Karunia, Wayan Win, I Made Suteja, I Wayan Aris Sarmanta.
Selain seni lukis, pameran ini juga menampilkan seni pahat topeng dari Desa Batuan. Untuk seni pahat topeng diwakili oleh karya-karya I Made Regug, I Made Sama, I Made Degus Armawan, I Made Rudi, I Nyoman Koto, I Nyoman Jaya, I Ketut Mujiarta, I Nyoman Selamet, I Made Muji, I Nyoman Ruka, I Wayan Murda, I Wayan Dawig, Made Warja, Dewa Made Sumerta, I Wayan Suwija, I Made Wirda, I Ketut Mendra, I Made Ardita, I Wayan Sudiarsa, I Nyoman Lanus, I Nyoman Budi, I Nyoman Maji, Ketut Wirtawan, Dewa Made Virayuga.
Karya-karya dalam pameran ini mampu memberikan gambaran umum tentang seni lukis dan topeng di Batuan. Dari perbedaan generasi itu kita bisa melihat dan menilai bagaimana perkembangan dan pertumbuhan seni lukis dan topeng gaya Batuan. Dalam bidang seni lukis, perkembangan tersebut tampak pada upaya-upaya eksplorasi tematik yang beraneka ragam.
Secara umum, generasi tua sangat kuat mempertahankan teknik, visual, dan konten yang mengakar pada tradisi seni lukis gaya Batuan. Nuansa magis masih terasa kental pada karya-karya mereka. Sementara generasi terkini cenderung berupaya melakukan eksplorasi tematik namun tetap mempertahankan teknik tradisi.
Upaya-upaya eksplorasi tematik sebenarnya telah dilakukan oleh I Nyoman Ngendon. Pada awalnya Ngendon belajar melukis gaya Kamasan pada Dewa Nyoman Mura sekitar awal tahun 1930-an. Kemudian dia mengembangkan tema dan gayanya sendiri. Ngendon termasuk tokoh berpengaruh dalam seni lukis Batuan dan memiliki banyak murid. Dia fasih berbahasa Melayu, Belanda, dan Inggris. Pada masa pendudukan Jepang, Ngendon pergi ke Yogyakarta, dan bertemu dengan Soekarno, Affandi, Sudjojono, dan ikut bergabung dalam Persagi. Selain dikenal sebagai pelukis, Ngendon adalah tokoh gerilyawan di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai yang turut mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Ngendon ditangkap tentara Nica di Ketewel dan disiksa hingga meninggal pada tahun 1947.
Dalam pameran ini karya Ngendon yang ditampilkan adalah sebuah lukisan potret laki-laki. Lukisan ini tentu jauh berbeda secara teknik dan tematik dari pakem standar lukisan gaya Batuan yang kita kenal selama ini. Ngendon memang sosok pelukis Batuan yang cerdas dan sangat gelisah untuk mengembangkan diri dalam seni lukis. Selain melukis dengan gaya Batuan, Ngendon memang banyak melukis potret dengan teknik modern.
Ngendon adalah sosok guru melukis yang sangat idealis dan visioner. Bagi Ngendon, setiap murid harus mampu menggambar bentuk-bentuk yang berbeda, tidak hanya menjiplak hal-hal yang sudah ada. Ngendon melahirkan generasi pelukis Batuan yang mampu menggali dan mengembangkan tematik secara kuat.
Sementara itu, pelukis-pelukis Batuan yang berguru kepada Made Djata, misalnya, cenderung berkutat dengan tematik dan corak naturalis tradisional. Djata menimba ilmu melukis gaya Kamasan dan topeng dari Dewa Putu Kebes sekitar tahun 1930-an. Sekitar tahun 1946 Rudolf Bonnet kembali ke Bali dan meminta Djata menjadi guru melukis di Batuan. Murid-murid Djata sangat banyak. Karya-karya Djata dikenal sangat halus, elegan, dengan komposisi dan pewarnaan yang harmonis. Dalam beberapa dekade gaya melukis Djata sangat berpengaruh di Batuan sebab diikuti oleh banyak muridnya.
Jika tradisi dimetaforakan sebagai ibu, maka teknik melukis gaya Batuan adalah ibu yang terus dijaga dan dirawat oleh anak-anaknya. Teknik melukis gaya Batuan memang dikenal sangat rumit, mengandalkan keterampilan, kesabaran, dan ketekunan. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yakni ngorten(membuat sketsa), nyawi (memberi kontor pada sketsa), ngucek (membuat gradasi secara bertahap), manyunindan ngidupang (menampilkan kesan kedalaman dan membuat fokus pada objek tertentu), dan ngewarna (memberi warna). Teknik yang rumit itu menyebabkan pelukis Batuan memerlukan waktu relatif lama untuk menyelesaikan sebuah lukisan.
Dalam pameran ini, secara umum, tema ibu tidak hanya dimaknai secara harfiah. Di tangan beberapa pelukis tema ibu menjadi metafora atau simbolisasi terkait spirit penciptaan, olah batin, untuk menghasilkan suatu karya yang memesona dan membuka ruang renung bagi khalayak pecinta seni. Ibu dalam pengertian fisik dan spirit menjadi saling berkelindan dan dimaknai dengan berbagai cara oleh para pelukisnya. Dalam konteks pameran ini, penafsiran dan pemaknaan tema ibu menjadi sangat beragam. Beberapa pelukis mengaitkan tema ibu dengan cerita kehidupan kekinian, cerita rakyat, mitologi, dan sebagainya.
Secara umum, pelukis Batuan memang sudah terlatih dan terbiasa melukis cuplikan kisah yang bersumber dari pewayangan, mitologi Hindu, cerita rakyat, dan kehidupan sehari-hari. Hal itu seolah menjadi mata air inspirasi bagi sebagian besar pelukis Batuan. Maka, tak heran, sebagian besar pelukis Batuan memetik tema ibu dari sumber-sumber tersebut. Misalnya, tampak pada lukisan-lukisan yang menampilkan sosok Dewi Saraswati, Calonarang, Dewi Durga, Dewi Gangga, Jagat Karana.
Penafsiran tema Ibu yang dikaitkan dengan “Ibu Pertiwi” juga menjadi subject matter yang menarik perhatian. Hal itu tampak, misalnya, dalam lukisan Made Karyana yang berjudul Tangisan Ibu Pertiwi. Lukisan tersebut berangkat dari keprihatinan pelukisnya tentang berbagai kerusakan dan kehancuran alam akibat ulah manusia yang durhaka pada ibu pertiwi.
Pelukis Batuan generasi terkini, Aris Sarmanta, misalnya, mengolah cerita rakyat Men Brayut menjadi lukisan yang surealistik dan terkesan menyempal dari pakem standar seni lukis gaya Batuan. Meski tetap menggunakan teknik tradisi, Aris secara mencolok berupaya melakukan eksplorasi visual dan pewarnaan. Upaya-upaya itu juga tampak, misalnya, pada lukisan Sujendra, Griyawan, dan Karyana.
Sementara itu, dalam seni pahat topeng, secara umum seniman Batuan masih tetap mempertahankan pakem-pakem lama. Sebab topeng dalam konteks religi di Bali masih terkait dengan persembahan kepada Hyang Widhi. Hal itu terbukti dari beberapa seniman Batuan sering diminta membuat topeng sakral untuk keperluan berbagai pura di Bali.
Dalam pameran ini ada berbagai jenis dan karakter topeng yang ditampilkan, seperti topeng tua, demung, patih, topeng dalem, hanoman, penasar dan wijil, telek, naga, rangda, celuluk, lenda-lendi, barong bangkal, barong landung, barong ket, barong macan, singanana. Pahatan dan ukiran serta pewarnaan topeng tampak halus, berkarakter, dan memancarkan aura magis yang kuat. Ini menunjukkan bahwa seni dan keterampilan membuat topeng di Batuan ditekuni dengan sangat serius dan telah mencapai tahap artistik yang sangat tinggi. Apalagi dalam proses membuat topeng, terutama yang jenis sakral, seringkali mengikuti kaidah dan aturan ritual tertentu.
Di tengah gempuran modernisasi yang melanda Desa Batuan, pameran ini membuktikan bahwa seni tradisi di Batuan masih tetap tumbuh dan berkembang. Selain itu, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam seni tersebut telah diwariskan secara masif dari generasi ke generasi. Upaya-upaya pewarisan itu sangat memungkinkan terjaganya spirit penciptaan seni tradisi di Desa Batuan. Sebab seni tradisi adalah salah satu ibu yang mesti terus dijaga dan dirawat oleh kita semua. [T]