Saya berani bertaruh, orang-orang di kampung saya tidak cukup berani memaki-maki orang yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi daripadanya—walaupun orang itu tabiatnya durjana sekalipun. Paling-paling, mereka hanya akan ngomong di belakang. Kalau itu sudah pasti. Sudah menjadi tabiat kita itu.
Orang-orang yang dianggap memiliki derajat lebih tinggi itu, disebut: Priyai. “Priayi itu sebangsa manusia juga, tapi tidak setiap manusia bisa disebut priayi,” kata Mahbub Djunaidi dalam esai ‘Priyai’-nya (1988). Biasanya, hanya seorang abtenar atau orang berdarah biru yang disebut priyai. Mahbub mengibaratkan: Ibarat jambu, priyai itu “jambu bangkok”. Ibarat ikan lele, priyai itu “lele jumbo”.
Entah orang-orang kampungku yang memang menganggap priyai ini punya martabat berlebih, atau priayi itu sendiri yang mempunyai ke-pede-an tingkat tinggi—yang merasa punya martabat berlebih. Tetapi demikian, priayi-priayi itu, tetap dihormati dan disanjung-sanjung di kampung—walaupun terkadang sikapnya…. ah, tak sampai hati saya mengatakannya!
Di kampung saya, masih banyak sekali mental-mental priayi. Masih banyak yang merasa punya martabat berlebih. Biasanya, mental itu terbangun sebagian dari prestasi, pendidikan, kekayaan, jabatan, sebagian malah tidak disebabkan apa-apa, ngaku-ngaku saja. Kultur budaya hirarkis-feodal-tradisional, dan opini yang sudah berbentuk dari dulu, menobatkan priayi itu di atas anjungan, berbeda dengan orang kebanyakan. Lebih terhormat, katanya.
Walhasil, mereka yang mengganggap dirinya sebagai priayi, merasa tidak layak bekerja berat saat kerja bakti (gotong royong). Biasanya, mereka hanya datang sebentar, berdiri, bersendekap, ngibul-ngibul dikit, lalu menghilang entah ke mana. Tidak hanya itu, biasanya, priayi juga tidak suka demokrasi, karena itu berarti menyamakan kedudukan sekalian orang. Maka, setiap ada masalah di kampung—atau dalam hal pengambilan keputusan—mereka lah yang berhak untuk menyelesaikan dan mengambil semuanya. Orang-orang kampung yang tidak pernah makan bangku sekolahan, diam saja. Cukup tunggu hasilnya saja.
Tetapi situasi ini bisa berubah, seandainya orang-orang kampung saya mau untuk mengubahnya. Zaman sudah berubah, sudah seharusnya priayi model lama ini lenyap. Seandainya orang-orang di kampung saya tahu Revolusi Prancis—yang berhasil menendang feodalisme dan bangsawan. Atau setidaknya tahu Revolusi Oktober di Rusia—yang menyapu Tsar dan kaum bangsawan sampai tunggang-langgang. Atau tahu gagasan Nikita Khruschev tentang de-Stalinisasi, dengan mengusir rayap-rayap yang mengganggu tiang penyangga rumah. Atau mau berkenalan dengan Mikhail Gorbachev dengan gagasan “perestroika” dan “glasnost”-nya.
Waduh, masalah baru. Siapa pula yang sudi berkenalan dengan orang yang namanya susah sekali diucapkan. Bagaimana memanggilnya. Jangankan diucapan, dipikiran saja tidak terbayang susahnya. Ya sudah! Tidak apa-apa. Yang penting padi, pala pendem, pala gantung, dan pala sempar tentap subur tertanam. Pangan, sandang, dan papan tercukupi. Aman. Biarkan saja priyai-priyai kecil itu begitu. Tabiat priyai memang begitu. Terus apa yang harus kita lakukan? Cuek saja. Yang penting, tetap gotong royong membangun kampung halaman. Itu saja sudah lebih dari cukup! [T]
(2019)