/1/
Kau masuki relungku
Kau daki gigir bukit di punggungku
Seperti memikul isi bumi dan isi langit
Kau buat kasih
Menjadi beban dalam pilu nasibku
(Mencari Kubur Baridin, Riki Dhamparan Putra)
___
Menjelang Hari Raya Idul Fitri, jalan-jalan di kampung saya di Indramayu (juga daerah di sekitarnya), ramai oleh obrog: tradisi musik keliling yang konon sudah ada sejak zaman raja-raja. Mereka kurang-lebih sama dengan ondel-ondel di Jakarta.
Obrog terbagi menjadi pelbagai grup. Masing-masing grup terdiri dari beberapa orang yang bertugas sesuai tupoksinya. Adapun pekakas musik yang mereka bawa itu berbeda-beda dan karenanya, memiliki komposisi musik yang tak semua sama. Gendang, kecrek, bahkan ember bekas, adalah pekakas paling sederhana dari sebagian grup obrog. Sedangkan sebagian lainnya, tak sedikit yang menggunakan alat musik modern seperti organ atau gitar.
Beberapa grup obrog memilih tidak pakai pelantang, sementara lainnya rela memakai seperangkat sounds system. Sebagian kecil grup obrog, cukup memakai simbol-simbol yang menjadi ciri dari grup mereka—contohnya dengan cara mengenakan sandangan yang sama—, namun sebagian besar mereka menambah maskot berupa hantu-hantu seperti buta dan tuyul. Hantu-hantu itu bisa ngigel: berjoget ala biduan dangdut, terutama jika ada lagu dangdut yang dinyanyikan atau sekadar diinstrumentalkan oleh grup obrog.
Tetapi pada hari itu ada yang banyak berbeda dengan grup obrog. Mereka sebetulnya tetap disebut sebagai grup obrog, tapi mereka lebih mirip dengan grup tarling: seni drama-musik yang popular di Cirebon dan Indramayu itu. Pekakas musik yang mereka bawa berupa gendang, gitar, organ, seruling, gong, kenong, kecrek, dan lain-lain: lebih lengkap ketimbang grup obrog pada umumnya. Mereka membawa sounds system. Mereka bawa pelantang.
Mereka melantunkan lagu-lagu dangdut atau tarling klasik sepanjang jalan. Mereka punya Bi Taswen yang bersuara merdu. Karena itu semua, mereka kerap disawer (ini yang saya tunggu) untuk mementaskan lakon drama-drama tarling. Dua lakon yang akrab pada kita yakni Saedah-Saeni dan Baridin-Ratminah. Sementara di sekitar rumah saya sendiri, paling banter lakon Baridin-Ratminah.
Saat Bi Taswen dan kawan-kawannya bersiap mementaskan cerita rakyat hasil saduran salah satu putra terbaik Cirebon sekaligus maestro tarling bernama Abdul Adjib itu, orang-orang, juga saya, akan meriung, terutama ketikatetalu dikumandangkan. Mereka yang berada dekat, kian merapat. Yang berada di kejauhan, akan datang menjinjit kemben atau memikul pacul. Kita akan mendengar kesyahduan alunan gitar. Nada seruling, meliuk menyayat hati. Gendang yang rampak itu, sesekali ber-ritme sangat cepat, kadang tiba-tiba sangat lambat. Mata dan jiwa kita perlahan terseret pada lakon ini: Baridin-Ratminah.
Dilakonkan, bahwa Baridin yang berasal dari keluarga kere, buruh tani, jatuh hati pada anak gedongan bernama Ratminah. Ia kemudian memohon Mbok Wangsih, ibunya, untuk segera melamar Ratminah. Sayangnya, lamaran tersebut bukan saja ditolak, tetapi juga dihina, di hoek cuh-kan oleh Ratminah, anak dari Bapak Dam. Hati Baridin seperti terbakar. “Terbakar” bukan saja karena penolakan, tetapi utamanya karena ibunya yang direndahkan.
Cerita tentang cinta berujung amarah dan dendam itu kemudian memanjang dan meluas, dan menemukan puncaknya pada pertemuan Baridin dengan temannya, Gemblung; meruncing ketika Baridin melakukan tirakat selama 40 hari 40 malam; menajam ketika musik berhenti. Sunyi suwung, melangutkan siapapun di sekitar pementasan. Baridin, menembang pelet Jaran Goyang: Niat isun arepan maca kemat jaran goyang/dudu ngemat-ngemat tangga/ dudu ngemat wong liwat dalan/ sing tek kemat anakeng Bapa Dam: bocah gembeleng keceluk kang aran Suratminah. (Saya niat ingin baca kemat Jaran Goyang/ bukan mengemat-ngemat tetangga/ bukan mengemat orang yang lewat di jalan/ yang dikemat anaknya Bapak Dam: bocah sintal yang dikenal dengan nama Suratminah.
Saudara, sesungguhnya kali ini saya tak hendak mendedah seluk-beluk obrog atau tarling dan lakon-lakon yang diusungnya. Tapi perhatikanlah ini: jalan kampung; di sini, ketika ada pementasan drama-tarling, selalu membeku. Ia menjelma semacam panggung teater. Orang-orang tua, pemuda-pemudi tanggung, remaja, mengisi sepotong jalan itu. Anak-anak berlarian kesana-kemari, berjingkrakan seiring hentakan gendang. Kulit-kulit kacang, dikupas berkali-kali oleh bapak-bapak. Mulut ibu-ibu mengeltus kutu milik rambut tetangganya. Puja-puji dan misah-misuh, gelak tawa dan sedih bersengguk, membalut babak demi babak lakon tersebut.
Sebetulnya bukan hanya tarling. Juga, bukan hanya bulan Ramadan. Pentas apapun yang kiranya dianggap menarik, bisa membuat sepotong jalan kampung membeku, sebutlah pentas ini: topeng monyet, sulap, singa depok, juga berokan kepet. Tetapi pentas kesenian saja tak cukup. Para penjual bakso, sate, bakmi, ikan, ayam, terasi, remot, jam, lemari, gentong, golok, hingga pacul, bisa saja membekukan jalan kampung.
Orang-orang dengan begitu santai dan merasa aman untuk membeli dagangan apa saja di tengah jalan, atau di dekat jalan. Para penjual-nomaden itu pun dengan begitu rileks dan merasa baik-baik saja ketika memarkir dagangannya di tengah jalan, atau di dekat jalan. Dari sinilah kita mengerti, jalan kampung bisa mudah sekali terkelupas dari fungsi transportasi.
Jalan kampung begitu eklektik, bisa menjelma bukan saja panggung teater, tetapi juga pasar pagi. Di sanalah kita berkomunikasi. Ya, di jalan kampung. Karena kita bisa bertegur sapa di sana, maka jalan kampung adalah juga sebuah pesinggahan, atau malah, sebuah rumah. Ia bisa berubah jadi apa saja, tak hanya satu fungsi baku. Ia bisa tentatif, tentu lantaran di sana kita mampu membentuk konsensus.
Oleh karena itu pula, jalan kampung, adalah ruang yang tidak dihegemoni oleh satu wacana. Ia terbuka sebagai ruang diskursus. Uniknya, organisme jalan kampung semacam ini, mengada secara natural. Ia berwajah demikian tanpa mesti diatur oleh sebuah otoritas tertinggi. Sebab tak ada otoritas tertinggi di jalan tersebut. Ia murni demokrasi.
Sebagai konsep ruang, keplastisan jalan kampung tak ubahnya penegasan bahwa manusia tak harus hidup sendiri. Manusia boleh berbagi dengan sesamanya. Manusia boleh berbagi duka dengan sesamanya. Manusia boleh berbagi suka dengan sesamanya. Manusia boleh memberitahu harapan-harapan kepada sesamanya. Manusia boleh memberitahu kekandasan-kekandasan kepada sesamanya.
Manusia boleh menyatakan cinta kepada sesamanya. Manusia boleh menyatakan tak cinta kepada sesamanya. Kita butuh kemungkinan-kemungkinan itu: untuk privat dan untuk publik. Jalan kampung memberi kemungkinan bagi para pengguna jalan untuk sekadar melintas, tetapi jalan kampung juga memberi kemungkinan bagi mereka untuk berhenti dan berbagi.
Jika Anda percaya bahwa manusia adalah mahluk sosial, maka jalan kampung mengandung ruang tersebut. Tetapi jika Anda mau lebih, bahwa manusia bukan semata-mata bergantung dengan manusia lain, bahwa manusia adalah juga mahluk ekologis yang bergantung terhadap alam, maka jalan kampung memiliki ruang tersebut. Di mana ruang bagi manusia sebagai mahluk ekologis?: pada daun-daun yang merimbun di sisi kiri-kanan jalan kampung, pada tangkai-tangkai yang menjuntai dan menudungi jalan kampung.
Tetapi satu hal yang muskil di dalam konsep jalan kampung, yakni kemungkinan bagi Anda untuk menjadi manusia yang nelangsa, yang teraleniasi dari hidup ini. Perasaan teraleniasi pada diri seorang anak manusia, tidak lain diakibatkan oleh ruang sekelilingnya yang tak mampu memanusiakan manusia. Manusia-manusia yang teraleniasi itu, seakan tersempal dari kehidupan yang dingin, yang tak mau mengerti.
Orang yang merasa teraleniasi akan mengalami hidup yang disorientasi. Dipandanginya kehidupan ini dengan perasaan cemas. Dilihatnya orang-orang dengan hati was-was. Ia merasa pesimis terhadap masa depan, sementara masa lalu menghantuinya, tetapi masa kini tak punya arti. Ia, manusia-teraleniasi, tak punya tempat pijakan, tak punya gagang untuk bergantung: ia tak punya sesuatu yang mana telah diberinya kepercayaan, apakah itu hewan, alam, maupun manusia.
Bahkan pada tingkat keakutan yang luar biasa, ia tak percaya pada “tangan” Tuhan, atau barangkali, Tuhan itu sendiri. Dari segala yang tak terengkuh oleh dirinya, ia pun marah pada diri sendiri. Juga, tak dimungkiri, bahwa diam-diam ia meragukan dirinya ada, sebagai manusia; pada titik ini, manusia dengan perasaan teraleniasi itu seakan telah menjadi “layang-layang yang tak tahu arah”. Di tengah keadaan yang tak tertebak, tak terkontrol, ia bergantung pada angin. Angin itu bernama nafsu buruk. Segala yang diberangkatkan oleh angin semacam itu, akan mencederai diri dan bahkan, orang lain. Saudara, jalan kampung mengerti betapa rawannya perasaan manusia!
Barangakali konsep jalan kampung inilah yang bisa kita lihat pada ruang-ruang pedestrian di beberapa kota besar. Ia telah menjadi inspirasi bagi dua jalan di kota—Jalan Braga (Kota Bandung) dan Malioboro (Kota Yogyakarta). Konsep jalan kampung inilah yang dipakai, khususnya, oleh sebagian besar negara-negara di Benua Eropa dan Amerika. Bahkan konon, jika kita jauh ke masa lalu, kota-kota Eropa di zaman peradaban Romawi dan Yunani, juga kota-kota abad pertengahan, jalanan merupakan ruang interakasi dan komunikasi yang cukup intens, dengan segala motif di dalamnya: dari mulai ekonomi, sosial, seni, sastra, bahkan politik. Sementara jalanan di kota Tamil Nadu, di India, kerap dikaitkan dengan ritual-ritual tertentu. Pun, kota-kota di puncak kejayaan Islam, jalanan dipakai sebagai tempat bersosialisasi dan kegiatan keagamaan.
Memang, kota-kota di dunia sempat mengadopsi pemikiran Le Corbusier. Seorang arsitek berkebangsaan Perancis itu pernah berkata: No pedestrian will ever again meet a high-speed vehice. Ia menginginkan jalan yang hanya memiliki satu nalar: percepatan lalu lintas. Berangkat dari pemikiran tersebut, kendaraan pun diprioritaskan. Jalan-jalan diperlebar, highways terus dibangun. Namun pedestrian entah kemana. Tapi itu bukan berarti Le Corbusier tidak peduli pada para pejalan kaki. Ia hanya hendak membuat tempat-tempat yang tidak tercampur aduk antara satu dengan yang lainnya.
Bagi Le Corbusier, para penjalan kaki itu tak boleh berada di dekat mobil dan motor. Hal tersebut dapat membahayakan para pejalan kaki. Salah satu solusinya adalah dengan memindahkan pedestrian di gedung-gedung tinggi. Tentu saja dirinya kemudian dicecar oleh arsitek-arsitek lain. Dikatakan oleh mereka, bahwa Le Corbusier adalah salah satu arsitek hebat di dunia, terutama soal vila-vila indah yang dibangunnya, tetapi soal rancangan kota, ia merupakan “mesin pengancur” kota. Idenya untuk memindahkan pedestrian ke gedung-gedung pencakar langit adalah ide yang dianggap utopis, konyol, bahkan tak manusiawi.
Tapi logika Le Corbusier tentang pedestrian di atas gedung ini sudah mulai dianggap usang. Kota-kota besar mulai kembali membangun ruang-ruang pedestrian.
Saya beranggapan bahwa mereka yang meyakini konsep jalan menurut Le Corbusier, adalah mereka yang khawatir bahwa ruang-ruang pedestrian akan menghambat laju transportasi, tepatnya: ekonomi. Padahal—seperti apa yang saya katakan di atas—, sepanjang sejarah, justru jalan menjadi ruang multi-motif. Sementara kebauran motif tersebut, malah membuat kota berdenyut. Bahkan, pada situasi-situasi tertentu, ruang-ruang interaksi-komunikasi, tepatnya: pedestrian-lah, yang membangkitkan ekonomi kota tersebut; ia kerap menjadi jantung sebuah kota.
Oleh karena itu sampai di sini, saya ingin menegaskan kembali bahwa ruang pedestrian itu penting. Ia bukan parit-parit-hambatan. Ia bisa jadi potensi. Ia pun menjadi salah satu ejawantah dari seberapa demokratis, seberapa manusiawi, seberapa religius, dan tentunya, seberapa bermartabat sebuah kota. Sekali lagi, beberapa kota besar di Indonesia dan dunia telah tercerahkan akan hal tersebut.
Pertanyaannya kemudian, sudah sampai di mana Kota Cirebon dalam kesadaran ini? Apa Bi Taswen dan teman-temannya bisa mementaskan lakon Baridin-Ratminah di jalanan atau di pedestrian sana? Bi Taswen dan teman-temannya hanya akan pentas di jalanan yang mengandung ruang kolektif atau di pedestrian yang ramah. Maaf, saya tak menemukan mereka di Kota Cirebon. Di kota ini, hanya ada jalanan padat tergesa, sedang trotoarnya duri-duri bandeng mati. [T]