Peringatan hari anak nasional, 23 Juli kemarin di Makassar, Sulawesi Selatan, mengusung tema pentingnya kualitas keluarga dalam perlindungan anak. Tema ini seakan-akan sedang menggugat tanggung jawab keluarga terkait kasus infeksi HIV pada anak-anak. Bagaimana tidak, angka nasional prevalensi infeksi HIV pada anak-anak dan remaja hingga kini hampir mencapai tiga ribu orang.
Begitu pula jumlah kasus infeksi HIV pada balita di kabupaten Buleleng, Bali berdasarkan data tahun 2015 saja diketahui sebanyak dua puluh orang. Dan angka-angka ini mungkin selalu lebih rendah daripada angka yang sesungguhnya. Karena jumlah yang sebenarnya terbenam dalam fenomena gunung es. Bali sendiri menempati posisi ketiga di Indonesia sebagai propinsi dengan jumlah tertinggi pengidap HIV setelah Papua dan Jawa timur.
Penularan HIV hingga saat ini hanya terbukti melalui pertukaran cairan tubuh, baik darah maupun cairan kelamin dan dalam jumlah yang kecil melalui air susu ibu (ASI). Penularan melalui darah paling sering terjadi pada mereka pemakai narkoba suntik atau IDU (injecting drug user) atau junkies yang sering menggunakan jarum suntik secara bersama-sama (sharing needle).
Meski proporsi penularan melalui sharing needle jauh lebih kecil ketimbang melalui transmisi seksual namun efektivitas penularan melalui berbagi jarum suntik ini boleh dikatakan paling besar, hampir mencapai 100%, dibandingkan efektivitas penularan seksual yang sekitar 80%. Kenapa demikian? Mudah saja dipahami, karena dibandingkan aktifitas seksual, jumlah pelaku maupun frekuensi pemakaian narkoba injeksi tentu jauh lebih kecil. Sebaliknya, jumlah virus yang terkandung dalam jarum suntik yang terkontaminasi jauh lebih banyak daripada yang terbawa dalam cairan kelamin yang bertukar.
Penularan HIV melalui media darah, pun dapat terjadi pada transfusi darah yang tak diskrining, membuat tato atau tindik menggunakan jarum yang terkontaminasi. Oleh karena ASI dipandang mengandung virus HIV yang signifikan dapat menularkan pada bayi maka disepakati bayi dari ibu pengidap HIV hanya diperbolehkan menerima susu formula.
Walau penularan HIV sebetulnya tak gampang-gampang amat, namun kejadian kasus baru (insiden) infeksi HIV sedemikian progresif dan menakutkan. Masih jauh lebih mudah penularan TBC yang melalui udara atau demam berdarah karena gigitan nyamuk misalnya. Udara mengandung TBC ada di mana-mana dan kita bebas menghirupnya, tak perlu bayar.
Begitu pula nyamuk aides pembawa virus demam berdarah dengue, berkeliaran di mana-mana tanpa kita perlu ternakkan mereka. Lalu bayangkan saja, untuk menularkan atau mendapatkan HIV kita harus membeli heroin yang sedemikian mahal harganya, belum lagi dengan risiko ditangkap pak polisi. Atau perlu janjian dengan seseorang untuk melakukan seks, entah itu free suka sama suka atau harus membayar, bahkan ada yang bernilai 80 juta rupiah sekali pakai. Belum lagi perlu mencari tempat khusus yang harus disewa dan sebagainya. Namun faktanya, itu semua tak juga memberi kesulitan dalam penularannya. Kenapa?
Mungkin karena penularannya secara seksual terjadi melalui cara yang mengasyikkan yang menjadi kebutuhan biologis setiap manusia. Oleh karenanya, saat sesuatu itu tak bisa dihentikan ada baiknya diatur agar dapat mengurangi dampak kerugiannya (harm reduction). Bila moral seseorang tak bisa kita urus setidaknya kita dapat mencegahnya agar tak celaka.
Maka jika tak bisa setia pada satu pasangan setidaknya seseorang dapat kita cegah dari infeksi HIV dengan memotivasinya menggunakan kondom. Begitu pula junkies yang belum sembuh dari sakit ketergantungannya, sebaiknya diberikan edukasi menghindari kebiasaan berbagi jarum suntik. Mereka harus menggunakan jarum suntik yang baru atau yang sudah disucihamakan. Mungkin ini kelihatan terlampau permisif, namun inilah yang paling realistis sampai mereka sembuh dalam program rehabilitasi.
Jika demikian ceritanya, maka tak ada kemungkinan lain, balita yang terinfeksi HIV pastilah tertular secara vertikal dari ibunya. Vertikal bisa terjadi selama di dalam kandungan karena virus HIV dapat menembus plasenta atau penularan di saat persalinan. Entah ibunya memang seorang pengidap sebelum bertemu pasangannya sekarang atau akibat dari penularan pasangannya saat ini.
Bagaimanapun juga, prilaku orang tua yang serampangan tak hati-hati telah merenggutkan hak-hak mereka sebagai generasi penuh harapan. Itu belum termasuk besarnya anggaran pengobatan yang harus disiapkan negara menangani kasus HIV pada anak yang semakin banyak.
Begitulah pujangga masyur Kahlil Gibran dalam penggalan puisi abadinya “Anakmu Bukanlah Milikmu” … Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, Karena jiwanya milik masa mendatang, Yang tak bisa kau datangi, Bahkan dalam mimpi sekalipun… Kita semua sebagai keluarganya harus memberikannya tubuh yang sehat walau jiwanya pun bukan milik kita. [T]