Judul tulisan ini memang rada aneh dan lucu. Lazimnya kesehatan itu dikaitkan dengan kebiasaan merokok, olah raga, ras atau lingkungan. Namun tak apalah, seringkali medis itu memang unik dan lucu.
Bahkan pernah salah satu tulisan saya di kolom ini berjudul Dokter, Profesi Paling Lucu. Gagasan ini pun sebetulnya bukan murni punya saya. Ini muncul dari seorang pasien diabetes yang kontrol ke praktek saya. Saat itu saya menyampaikan kadar gulanya agak tinggi, dengan enteng ia lalu menjawab, “Iya dok, gara-gara Galungan kemaren”.
Hari raya Galungan sebentar lagi datang. Sudahkan memesan be celeng? Hehehe… Be celeng atau daging babi di hari raya Galungan adalah semacam ikon perayaan atau semacam dress code dalam sebuah pertemuan. Tanpa be celeng ia menjadi lesu kurang bergairah. Suasana lebih bergairah lagi jika tak lupa be celeng diolah menjadi lawar, kuliner yang tak kita jumpai di manapun kecuali di Bali. Kalau sate masih bisa dijumpai di daerah lain, pun tum, daging cincang dibumbui bersama parutan kelapa atau bungkil (bonggol pisang) yang dikukus dalam bungkusan daun pisang.
Masakan berbahan be celeng seakan menjadi sakral di hari raya Galungan, melebihi penganan khas Galungan lain macam tape ketan dan jaje uli. Semuanya enak, semuanya menggugah selera. Dan jangan lupa, hidangan-hidangan lezat itu umumnya berkalori tinggi dan mengandung lemak jenuh. Bahkan dalam kolom ini pun saya pernah membahas lawar getih yang menggunakan darah mentah yang tak sehat dalam tulisan, “Lawar Getih”, Menjaga Selera Mengusir Petaka. Kesehatan kita sebagian datang dari makanan kita.
Saya masih dapat mengingat romantika perayaan hari Galungan, terutama saat masih anak-anak di tahun delapan-puluhan di kampung. Bagi saya, selamanya hari suci agama itu membawa kebaikan. Jika dulu saat hidup kita sulit, saat kita tinggal berjubel serumah, hari raya Galungan membawa kabar baik akan berlimpahnya hidangan-hidangan mewah yang cuma datang enam bulan sekali.
Kebahagiaan perayaan dapat terasa hingga selama sebulan lamanya. Sekarang, saat hidup kita sudah “bergizi” karena be celeng dapat kita makan saban hari, hari raya Galungan dapat menyatukan kita dengan sanak saudara yang telah hidup terpisah tercerai berai karena mencari nafkah di tempat masing-masing. Jadi hari raya Galungan telah membuat hidup kita baik dan bergizi, atau jangan-jangan gizi berlebih!
Menurut hasil riset kesehatan dasar atau Riskesdas 2018, tingkat obesitas pada orang dewasa di Indonesia meningkat menjadi 21,8 persen. Prevalensi ini meningkat dari hasil Riskesdas 2013 yang menyebut bahwa angka obesitas di Indonesia hanya mencapai 14,8 persen. Obesitas sendiri mengacu pada kondisi di mana indeks massa tubuh diatas 27.
Begitu juga dengan prevalensi berat badan berlebih (overweight) dengan indeks massa tubuh antara 25 hingga 27, juga meningkat dari 11,5 persen di 2013 ke 13,6 persen di 2018. Indeks massa tubuh dihitung dengan rumus berat badan di bagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat. Angka kegemukan di Bali bahkan lebih tinggi yaitu sebesar 26.2%. (Pande Dwipayana dkk) Artinya, lebih dari seperlima penduduk Bali mengalami kegemukan. Kegemukan lho, bukan sekadar berat badan berlebih.
Lalu betulkah hari raya Galungan salah satu penyebabnya? Jumlah penduduk yang terus bertambah, apalagi pak gubernur mengajak kita beranak empat, telah menyebabkan semakin seringnya kegiatan-kegiatan adat tradisional. Kegiatan-kegiatan yang dipadati oleh beraneka ragam kuliner lezat. Saat hari baik untuk menikah umpamanya, kita bisa menghadiri dalam sehari tiga sampai bahkan lima undangan dan itu bisa berlangsung dalam beberapa hari.
Belum lagi undangan tiga bulanan anak teman kantor, potong gigi kerabat di desa, ngaben keluarga besar dan seterusnya. Betul ada risiko over callory intake yang mengancam di sekitar. Baik dari sisi tradisi adat budaya tradisonal seperti dijelaskan di atas maupun industri kuliner modern (fastfood) yang mengepung hingga pelosok. Kendati demikian, keputusan cerdas tetap berada di tangan kita eh mulut kita.
Secara medis, terapi komprehensif harus dimulai dari nutrisi sehat, latihan fisik yang cukup baru terakhir terapi obat-obatan. Kesemuanya harus ditopang psikologi pasien yang dibangun positif. Maka diet seimbang berada pada posisi tertinggi. Meski begitu, saya termasuk dokter yang fleksibel untuk urusan nutrisi.
Bahkan untuk pasien diabetes sekalipun dibebaskan jenis makanannya namun dengan jumlah yang dibatasi. Atau kalaupun jumlah kalori dirasa berlebih tinggal diimbangi saja dengan latihan fisik yang lebih intens. Tak baik menjalani diet yang terlampau ketat. Lebih baik makan seperti biasa saja dengan olah raga yang lebih banyak. Selamat hari raya Galungan, hari yang selalu baik dan sehat. [T]