Kabut mulai turun menyelimuti pegunungan Tengger sore itu. Senja mulai membayang, sang surya tampak bersembunyi di balik kabut.
“Tenang saja, Pak, jam 5 sore pasti kita sudah sampai di atas, untuk melihat sunset di Bromo,” hibur pengemudi mobil travel yang kami tumpangi ke sana.
“Melihat matahari terbenam dari puncak gunung?” gerutu saya dalam hati. Barangkali ada yang salah dengan pemahamannya tentang ilmu geografi. Atau dia sekedar menghibur kami yang terlihat kecewa, belum sampai juga ke ujung perjalanan ritual hari itu.
Hari mulai gelap saat kami memasuki kawasan wisata Gunung Bromo. Dalam hati saya berpikir, pantas saja kami mendapatkan kendaraan angkutan mobil berpenggerak ganda (biasanya jenis hardtop) dengan harga jauh lebih murah dari kabar yang kami dengar dari mereka yang lebih dulu berkunjung ke sana.
Karena kami ke puncak saat hari sudah menapak senja. Siapa juga yang datang jauh-jauh ke Bromo tanpa niat menyaksikan fenomena alam terbitnya sang surya di ufuk timur. Yang memaksa para pencari untuk berangkat dini hari dari bawah, melawan gelap malam dan dinginnya pegunungan Tengger.
Sesosok pemotor tampak mengikuti rombongan kami. Dan saat kami memasuki kawasan wisata Bromo, dia menghentikan laju kendaraan .
“Selamat sore, Pak, Bapak dan rombongan mau sembahyang ke Pura Luhur ya? Kebetulan Bapak adalah rombongan terakhir untuk hari ini, mohon berkenan menunggu sebentar di bawah nanti saya jemput pemangkunya.”
Tampak wajah yang ramah dan ketulusan sikap yang tak dibuat-buat dari bapak pemotor tadi, yang ternyata adalah pengempon pura yang ada di tengah areal lautan pasir gunung Bromo. Kemungkinan dari bawah dia sudah melihat rombongan kami dengan pakaian sembahyang , jadi dia beranikan diri untuk memberikan petunjuk.
15 menit kemudian rombongan sampai di areal pura, tampak bapak yang tadi sudah duluan sampai di sana, dan di bagian dalam Pura sudah duduk dengan khidmat pemangku untuk menghantarkan persembahyangan kami.
Sambutan bersahabat, wajah-wajah antusias untuk membantu, jamak kita temukan saat melaksanakan kegiatan tirtayatra ke Pura-Pura yang ada di luar pulau Bali, khususnya Jawa yang pernah saya kunjungi.
Saat nangkil ke pura di kaki gunung Arjuno, kami melihat komunitas Hindu disana sedang bergotong royong untuk persiapan upacara beberapa hari ke depan. Tampak mereka melaksanakannya dengan antusias dan senyum yang tak lepas dari wajah, disertai gelak canda diantara mereka. Di daerah Blambangan , Jawa timur sisi selatan sambutan serupa juga telah kami temui.
Antusiasme masyarakat Bali untuk bersembahyang keluar Bali, bukanlah hal yang baru lagi. Mungkin sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu. Seiring dengan meningkatnya perekonomian masyarakat Bali secara umum dan terutama kemajuan penyebaran informasi lewat media sosial belakangan ini.
Terlihat peningkatan yang massif dalam arus perjalanan suci tersebut. Dan sebagai seorang Komuter yang saban hari melintasi jalur Denpasar Gilimanuk, sering saya lihat rombongan dalam jumlah yang besar untuk melaksanakan ritual itu. Sedang beristirahat atau mepamit di Pura dang kahyangan Rambut Siwi yang memang berada di jalur itu.
Dan ini menimbulkan sedikit apriori di hati kecil saya saat melihatnya. “Mengapa mesti jauh-jauh mencari pura sampai keluar pulau melintasi laut, apakah Pura Keluarga atau merajan di rumah sendiri sudah rutin di sembahyangi?” Begitu gerutu saya dalam hati kalau kebetulan melihat rombongan bis yang berjajar di parkiran Pura tersebut.
Terlepas dari motivasi untuk rekreasi, dan tak ada yang salah dengan hal itu. Kesempatan untuk melihat sesuatu yang tak kita temui di Bali, merasakan kehangatan dari sesama saudara sekeyakinan seperti yang saya ceritakan diatas, barangkali juga merupakan suatu daya tarik, yang memaksa kita untuk selalu ingin kembali kesana, seperti yang kita alami.
Menjadi minoritas Hindu di tempat yang kebanyakan masyarakatnya punya keyakinan lain dengan kita, barangkali mempunyai keindahan dan tantangannya sendiri, ada onak dan durinya juga pasti.
Teringat sebuah ungkapan entah oleh siapa. “Saat menjadi minoritas, keberanian anda diuji, dan saat menjadi mayoritas, toleransi anda dinilai”.
Dari sekelebat pengalaman menengok saudara kita penganut agama Hindu di pulau Jawa, barangkali ungkapan itu terasa jauh. Sepertinya mereka tak perlu keberanian extra untuk menjalankan kewajiban dan keyakinannya tersebut di daerah mayoritas umat lain itu.
Untuk menjelaskan situasi ini, ada baiknya saya mengingatkan kembali beberapa peristiwa yang gamblang menggambarkan situasi ini.
Beberapa tahun yang lalu, Iwan Fals, penyanyi kesayangan sebagian rakyat Indonesia, termasuk saya. Pernah disangkakan hendak melecehkan agama Hindu, dengan memasang gambar seorang Dewa agama Hindu di cover depan albumnya. Dengan diplomatis dia menjawab : “Hindu adalah agama tertua di Indonesia, agama nenek moyang kita. Itu artinya dalam diri saya pun ada setidaknya ada percikan keyakinan tersebut. Jadi tak ada niat sedikitpun dari saya untuk menghina agama Hindu”.
Dan kebetulan saya sedang menyelesaikan membaca buku Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Ada sebuah dialog yang sangat menyentuh. Sandisman, seorang anggota legiun Mangkunegaran, pasukan elite Mataram waktu itu. Melarikan diri dari kesatuannya karena menolak untuk ikut berperang, melawan kerajaan Klungkung di Bali . Alasannya saat di tanya oleh tokoh sentral cerita (Minke), “Kenapa kau tak mau berangkat ke Bali bersama pasukanmu?“
Jawabnya lirih, “Yang saya tahu, nenek moyang kami, orang Jawa dan orang Bali sama, jadi mengapa kami memerangi saudara sendiri? “
Terlepas dari alasan di atas, saya sendiri meyakini dari lubuk hati terdalam sampai saat ini. Toleransi adalah watak alami masyarakat Indonesia yang sudah mendarah daging bagi kita. Dan kita berharap tetap bisa kita pertahankan sampai akhir zaman. Dan kalaupun ada beberapa orang atau golongan yang saat ini terlihat begitu gencar meneriakkan semangat intoleransi-nya. Marilah kita yakini bersama, bahwa merekalah minoritas yang sebenar benarnya di negeri ini.
Akhirnya, kalau ditanyakan tujuan, alasan, maupun motivasi mereka yang gemar menempuh perjalanan jauh untuk mencapai Pura ataupun tempat suci yang ada di seberang selat Bali itu. Mungkin akan ada puluhan alasan yang berbeda pada setiap orang yang ditanya. Tapi dari berbagai sudut pandang, tak akan ditemukan satu suara sumbang pun.
Secara ekonomi, kegiatan ini menggerakkan roda perekonomian cukup massif, pemilik travel/angkutan, penjual oleh-oleh, penjual makanan dan minuman di dekat lokasi, penginapan. Semua akan kecipratan kuenya. Secara sosial budaya pun, akan terjadi komunikasi yang intens antar budaya, karena kesamaan keyakinan walaupun beda suku ini.
Secara pribadi akhirnya saya pun tak akan alergi dengan kegiatan kegiatan seperti ini lagi. Karena saya sendiri merasakan kenikmatannya. Khusus perjalanan terakhir ini, saya merasa ada sesuatu yang cukup istimewa. Anak sulung saya memulai perjalanan dengan kondisi sakit, badannya demam dan dia mulai pilek ringan.
Kami sebenarnya sangat mengkhawatirkan kondisinya di perjalanan yang panjang nanti. Ternyata setelah perjalanan , tiga hari tiga malam. Sembahyang di beberapa pura, terpapar cuaca dingin dan padang pasir Bromo, melukat (setengah mandi) tengah malam di Gresik. Akhirnya sampai pulang kembali ke Bali pun dia dalam kondisi sehat walafiat. Barangkali saya punya dua penjelasan tentang hal ini.
Secara medis, suatu kegiatan yang menyenangkan, dalam hal anak saya bisa berkumpul dengan semua sepupunya sebaya,melihat daerah baru,menikmati situasi baru ( kami menyelingi kegiatan dengan wisata ke tempat yang indah ) akan merangsang keluarnya adrenalin dan endomorfin(morfin alami), yang berfungsi meningkatkan vitalitas dan menjaga kebugaran tubuh. Ini yang membuatnya terhindar dari serangan sakit yang lebih parah.
Dan yang kedua, saya sendiri menganggap perjalanan kami , sudah direstui oleh para leluhur, karena perjalanan inipun salah satunya bertujuan untuk memuja beliau, karena tanpa adanya leluhur kita tak kan ada di dunia ini sekarang, seperti dialog di buku Pram tadi. “ Bukankah nenek moyang orang Jawa dan orang Bali sama ?”
Kalaupun suatu saat nanti istri atau anak saya tiba-tiba menuntut, “Ayah liburan nanti, kita mau tirtayatra ke mana lagi nih?”
Pasti akan saya jawab dengan lugas: “Ayo, siapa takut?” [T]