Ngaku saja kalau ada perasaan yang selalu kita sembunyikan rapat-rapat. Kebanyakan dari kita sering tidak jujur. Bukan hanya kepada orang lain, juga kepada diri. Tapi tidak mungkin berbohong pada “diri”, sebab ia melihat segalanya. Karena ia melihat segalanya, ia disebut sebagai salah satu saksi di antara tiga belas jenis saksi.
Kesedihan adalah kenyataan yang sering kita tepis dengan segala macam jurus. Mulai dari mencari obatnya di luar, sampai mengoreknya di dalam. Di luar dicarinya pada gunung, laut, danau, langit, bulan, bintang, buku-buku, dan seterusnya. Pencarian itu dijadikannya obat sedih, meski bukan yang paling mujarab.
Di dalam dikorek-koreklah batinnya yang bergejolak kuat seperti ombak laut. Kebanyakan orang mengorek hal yang sama, yang ingin dipahaminya adalah masa lalu yang konon jadi penyebab kesedihannya di masa sekarang. Setelah tahu lalu apa? Tindak selanjutnya adalah penyikapan. Beda orang, beda penyikapan. Tiap penyikapan diikuti resiko yang berbeda pula. Tiap resiko selalu berkembang dan menjadi suka-duka yang baru. Ini sudah seperti lingkaran yang tiada henti.
Jika orang sudah terlanjur terjebak ke dalam lorong suka-duka, ilmu pengetahuan dan agama sudah tidak lagi berguna. Suka-duka itu sumber dari segala kebingungan. Karena bingung, tidak satu pun sastra bisa dipahami dengan benar. Meskipun paham, orang bingung cepat melupakannya. Kurang sedih apa lagi kita ini?
Belum cukup hanya level kesedihan segitu, kesedihan itu dilanjutkan lagi. Kelanjutannya adalah, kita tidak tahu cara menghilangkannya. Apa sebenarnya obat sedih yang tak terperikan itu? Nirartha Prakreta menganalogikan kesedihan seperti langit malam yang hitam pekat. Di dalamnya juga disebutkan jawaban tentang bagaimana cara menghilangkan kesedihan. Caranya adalah dengan angiket lambang. Artinya membuat karya sastra.
Barangkali memang demikian, tiap-tiap penyair mengekspresikan kesedihan lewat kata-kata yang tertulis. Kesedihan itu bukan lagi hanya pada tataran kedukaan karena kehilangan, tapi lebih luas. Kesedihan bisa menjangkiti karena banyak sekali sebab. Singkatnya, karena segala yang dicari tidak ketemu. Yang ditemukan, bukan yang dicari. Segala yang dinanti tidak datang. Yang datang bukan yang dinanti. Yang dipelajari tidak dipahami. Segala yang dipahami hilang begitu saja seperti embun pagi. Tidak jelas hilangnya, antara jatuh atau menguap bersama udara.
Kita ini diibaratkan seperti katak yang hidup di telaga yang ditumbuhi teratai. Seberapa cerdasnya katak, tidak mungkin paham sari-sari teratai. Kesedihan yang dialami pun begitu. Kita yang hidup bersama dengan kesedihan, gagal paham tentang kesedihan yang dialami sendiri. Kesedihan jadi berlipat-lipat. Karena sedih adalah perasaan, jadi kita ini tidak paham pada perasaan sendiri.
Untuk menyiasatinya, carilah orang lain untuk berkeluh kesah. Sebab orang lain itu, seperti kumbang yang datang dari jauh dan paham bagaimana cara menghisap madu teratai. Sambil menghisap madu, ia akan berdenging seperti nasihat orang-orang bijaksana. Suaranya indah dan menyediakan banyak hal untuk direnungkan. Meskipun belum tentu juga, kumbang itu paham apa yang sedang dilakukannya. Tapi katak seperti kita, cukuplah menjadi lega karenanya.
Para ikan yang saya hormati dan saya banggakan. Maka dari itu, hanya kepada orang bijaksanalah semestinya kita ini memohonkan petunjuk. Orang bijaksana yang pikirannya sudah tenang hening itulah patut dijadikan teman. Orang yang demikian diibaratkan seperti surga yang menawarkan keindahan. Jangan sering marah-marah, selain kita jadi cepat tua, kemarahan membuat kita terjerumus pada kebingungan.
Agar lebih aman, jangan berteman dengan mereka yang licik dan culas. Karena kita hanya akan diberikannya kesedihan. Ada banyak kemudian janji-janji yang tidak ditepati. Tentu saja tidak ditepatinya janji karena itu tidak menguntungkan baginya. Seperti angsa yang berkawan dengan goak. Semua keluarga angsa habis dimakannya. Makanya haruslah hati-hati dan pelan-pelan.
Kita bisa berguru kepada kumbang tentang kesabaran dan pelan-pelan. Ia menghisap madu selalu pelan. Lihat juga rembulan, dari tilem menuju purnama, ia benderang pelan-pelan. Kesabaran selalu berbuah yang indah. Lihat saja pohon beringin yang besar itu. Yang kita beri saput poleng dan meneduhkan. Ia berasal dari biji yang sangat kecil. Ia tumbuh pelan-pelan.
Jadi ada banyak hal yang mesti kita lakukan dengan pelan-pelan. Belajar salah satunya. Orang tidak boleh belajar grasa-grusu. Apalagi kemaruk. Belajar satu persatu, agar satu pelajaran benar-benar dipahami. Einstein tidak mudah menyimpulkan segala pengetahuannya, ia pastilah belajar pelan-pelan. Sama seperti orang naik gunung. Haruslah pelan-pelan dan hati-hati. Meski waktu berjalan sangat cepat, dan dunia global maju pesat, kita tetap berjalan pada satu jalan dengan kehati-hatian dan pelan-pelan. Intinya adalah kemajuan, bukan kemunduran. Apalagi kemunduran cara berpikir. Biarkan saja rambut yang semakin mundur karena berpikir, bukan hasil pemikiran.
Pelan-pelan dan hati-hati juga penting dilakukan ketika melayani pemimpin. Tidak mudah melayani pemimpin, apalagi pemimpin yang banyak maunya. Kadang ia A, kadang ia Z. Hanya satu kata untuk menghadapinya: sabar. Orang sabar adalah orang sadar. Ada satu rumus lagi untuk kaum laki-laki. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Ini cukup jadi rahasia di antara kita saja. Konon, merawat hati wanita pun haruslah sabar. Hati mereka seperti biji pohon beringin tadi. Rawatlah dan lindungi. Mereka bukan makhluk lemah, tapi perlindungan tetap harus kita berikan. Jika akarnya sudah kuat dan besar, ia yang akan melindungimu dari segala cuaca. Ya kan?
Rumus itu tidak hanya berlaku untuk perlakuan laki-laki pada wanita. Ia bisa diaplikasikan pada tiap orang. Rawatlah hati orang-orang yang kita temui. Sirami akarnya dengan kejujuran. Pupuk ia dengan kesetiaan. Apalagi yang lebih menyehatkan dari itu semua? Pada gilirannya nanti, kita ini akan saling memerlukan. Entah itu dikatakan atau tidak. Tiap perbuatan orang pada kita adalah hutang. Tiap perlakuan kita pada orang lain adalah ikhlas. Biarkan alam semesta bekerja dengan caranya.
Itulah yang saya pelajari selama pengembaraan saya bertemu dengan berbagai jenis burung Cangkak di sepanjang garis waktu ini. Tentu saja ada banyak Cangak di dunia ini. Tapi kebanyakan dari mereka sangat lihai menyamar. Bahkan ia lebih lihai dari seekor musang yang meminjam bulu domba. Saking lihainya, ia pintar menyulap kambing putih jadi hitam. Orang tidak akan mampu membedakan mana Cangak mana bukan. Ia tidak perlu meminjam bulu pada siapa saja. Ia cukup membawa dirinya sebagaimana adanya, lalu banyak ikan akan percaya.
Hati-hati memberikan kepercayaan. Apalagi kepercayaan bisa mengubah kita jadi babi yang buta. Kalau sudah jadi babi buta, kita tidak lagi paham, mana sari mana tai. Kalau sudah di jalan yang salah, apalagi yang bisa terjadi kalau bukan penyesalan. Apalah penyesalan kalau bukan kesedihan. Sekali lagi, kita ini memang sekumpulan kesedihan [T]